Part 8 : Santi hilang, Nindi menggila

1.2K 291 34
                                    

Santi hilang, Nindi menggila

Matahari sedang senang hati dengan menampakkan dirinya di atas pucuk kepala bersama sinarnya yang menggosongkan kulit, apakah air sudah punah? Sampai matahari tak dapat melakukan evaporasi yang otomatis menyebabkan pula awan menghilang. Ke mana angin ringan itu? Akankah rintik-rintik pembawa kenangan itu tak jatuh lagi dalam waktu dekat? Musim kemarau membawa penghujan dan kenangannya pergi jauh, lalu menghadirkan suasana baru, kenangan baru. Namun kenangan lama dengan sang terkasih masih abadi di memorie.

Mulut berceloteh kasar menyumpahi matahasi seiring langkahnya, meski tahu matahari tidak akan berbaik hati dengan tiba-tiba terbenam, dan ia pun tahu menyumpahi matahati sangatlah tidak berguna, namun ... entahlah, suka saja mengumpat. Menurutnya, mengumpat itu bisa melepas sedikit beban hidup.

Ketiak basah, rambut lepek, punggung mandi keringat, bau asem sekujur tubuh, kulit kusam. Pagi tadi seperti princess, siangnya sudah seperti gembel. Pantas saja mantan tak jua tertarik padanya, rupanya ia cantik pada pagi hari saja, menjelang siang sudah berubah jadi siluman babi.

Sampai rumah, segera copot sepatu, kaus kaki, lempar sembarangan, dan langsung ngibrit ke kandang yang menyerupai kandang babi pula. Saat pintu cokelat itu terbuka, maka detik itu pula ia bersemangat merukiah anak dan bapak itu. Andai ada klinik khusus rukiah kucing, Nindi siap membayar semahal apa pun agar kucingnya tak bertingkah seperti kucing kecurupan.

"Please, muka gue udah kayak sepanduk pecel lele, mau cepet-cepet skincare-an. Eh, si dua keset musala membuat ulah," omelnya sembari meremas kuat roknya sampai urat tangannya menyembul.

Makanan kucing yang biasa teronggok di atas meja belajar, berserakan bersama toplesnya di lantai, agaknya terjatuh. Box pasir tempat membuang sisa-sisa bertabolisme berserakan di luar box bersama kotorannya yang baunya membuat jiwa melayang ke khayangan, buku-buku sekolah berserakan di atas meja, lemari terbuka sekaligus isinya yang sudah tak rapi lagi, dan meja rias itu. Jiwanya menjerit melihat skincare-skincare-nya berserakan, serta raganya yang mengamuk sebab netranya menangkap botol kaca itu pecah di lantai.

"Apa-apaan nih!" Nindi melangkah dengan hentakan kaki kasar menuju meja riasnya, dan memunguti botol beling itu.

Mata tajam setajam silet itu melirik bapak Santoso yang asyik rebahan di kasur.

"Gue capek ya, San! Lo sama anak lo betingkah mulu! Lama-lama depresot nih, gue!" Ia tahu, mengomeli kucing tidak ada gunanya, namun, setidaknya dirinya puas dengan mengomel.

"Nih, parfum mahal monyet! Bahkan kalau lo jual diri sekali pun, tetep nggak akan kebeli nih, parfum! Lebih mahal juga dari makanan lo selama lima bulan. Ah, monyet mah!"

"Ini lagi! Kenapa botolnya dari kaca sih?! Rawan pecah lagi!"

Parfum mahal harusnya botolnya juga harus tahan banting, Nindi curiga, jangan-jangan ia tertipu barang palsu.

"Ulah siapa nih? Anak lo yang bejat mana?"

Menoleh ke sana- ke mari, ia baru menyadari semenjak ia menginjakkan kaki ke kamar ini beberapa menit yang lalu, tidak nampak batang hidung Santi di matanya. Masih bergumul dengan rasa kesalnya, Nindi memeriksa kolong kasur, isi lemari, dan tempat-tempat yang mungkin digunakan Santi untuk bersembunyi, namun tak ia temukan juga kucing betina itu. Sejak detik itu, Nindi berubah panik dan berangsur melupakan kekesalannya. Mustahil Santi keluar dari ruangan ini, karena pintu kamar selalu tertutup, dan tak pernah Nindi mengeluarkan Santi dari kamar kecuali saat sedang berjemur, tentu saja tetap dikurung dalam kandang. Karena apa? Karena Nindi khawatir Santi hilang, bisa saja Santi kepincut kugan (kucing ganteng) di luar sana, dan akhirnya jarang pulang seperti Santoso.

GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang