Part 24: Yang tidak Nindi tahu

941 223 98
                                    

Part 24: Yang tidak Nindi tahu

Hanya suara detak jarum jam yang mendominasi di ruangan itu setelah Abel menjeda sedikit penjelasan perihal dirinya yang tak mampu menolak gairah ketika di sentuh, meski otak berpikir itu menjijikkan.

Misel dan Nindi saling melemparkan tatapan gamang. Karena kepalanya yang berat, Nindi segera merebahkan tubuhnya di kasur, sementara Misel berusaha mengalihkan kecanggungan dengan mengelus-elus tubuh Santi, kucing Nindi.

"Kalian pernah di gelitik 'kan? Ketawa nggak?" Abel melempar pertanyaan yang segera membuat Nindi bersusah payah meneguk saliva.

"I-iya, terus?" Misel menjawabnya gugup.

"Kenapa lo ketawa? Padahal nggak ada yang lucu ketika digelitik."

"N-nggak tahu." Kembali Misel meresponnya, dia tetap gugup dan takut.

"Itu karena respon tubuh yang nggak disengaja."

Nindi berusaha menyimpulkan dengan pemahamannya sendiri setelah Abel menjelaskan panjang lebar sebelumnya. Jadi, maksud Abel, dia tak menolak gairah dan orgasme karena tubuhnya secara alami merespon setiap rangsangan, dan itu tidak disengaja? Apa setiap wanita jika disentuh merasakan kenikmatan meski ia tak ingin? Nindi belum paham secara keseluruhan.

"Walau sekuat tenaga lo nolak, tapi tubuh lo bakal mengkhianati apa yang sebenarnya lo mau. Itu bener-bener respon tubuh. Di satu sisi, gue merasa apa yang gue lakuin sama orang-orang itu menjijikkan."

"Lo menikmati Bel?" Nindi melempar pertanyaan setelah beberapa menit memilih diam.

"Nggak, orgasme bukan berarti menikmati." Dan di manik mata sayu itulah, Nindi menemukan sosok Abel yang benar-benar lemah, bukan sosok yang biasanya berdiri angkuh, sombong dan licik. Sisi ringkihnya mulai terasa menyapa simpati Nindi, aura kesedihannya menguar kuat, hingga Nindi yang berada di dekatnya pun merasakan hal yang sama.

"Gue selalu merasa di perkosa, gue nolak, tapi orang-orang itu terlanjur nganggep gue jalang. Cewek yang dapet uang dengan cara melayani mereka. Ketika gue nolak, selalu dianggap akting jual mahal yang semakin bikin mereka tertantang."

Air mata yang sedari tadi menumpuk pun mulai meluruh perlahan, tanpa isakan. Namun melihatnya menangis, hati ikut teriris, ikut berbaur merasakan kepedihan yang dirasakan Abel.

Sejenak, Nindi membayangkan dirinya berada di posisi Abel. Ia akan menolak keras sentuhan itu, meski setelah mendengar penjelasan Abel, hal itu tak akan semudah ketika mengucapkannya.

"Karena respon tubuhlah, para pelaku pemerkosaan berdalih kalau korbannya cukup menikmati. Padahal nggak sama sekali," imbuh Abel, praktis membuat dada Nindi sesak seiring dengan napasnya yang naik-turun kasar.

Otaknya kembali memutar peristiwa bersama Tio di toilet beberapa pekan yang lalu. Ia tak yakin bisa menolak kalau saja Tio berhasil mencumbunya.

"Gue takut." Dua kata itu lolos dari bibir Nindi, teramat serak dan bergetar, hingga Abel dan Misel pun bingung, mengapa jadi respon Nindi yang kedengarannya memilukan.

"G-gue bukannya nakut-nakutin lo, gue cuman ngelurusin biar lo nggak nganggep gue enjoy sama pekerjaan gue, hanya karena dapat uang banyak."

"Iya Bel, gue ngerti."

Detik berikutnya, Nindi bangkit dan memeluk Abel. Menumpahkan segara rasa bersalahnya karena sebelumnya ia berasumsi yang tidak-tidak pada Abel.

"Maafin gue ya? Gue pernah nilai lo rendahan banget," lirih Nindi, sedikit terisak.

"Emang gue rendahan 'kan?"

"Nggak sama sekali."

Pelukannya terurai, punggung tangannya menyeka air mata yang luruh, juga berusaha tak meninggalkan senggukan.

GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)Where stories live. Discover now