Part 47: Mimpi buruk yang terlalu nyata

693 166 54
                                    

Part 47: Mimpi buruk yang terlalu nyata

Walau pada awalnya ia terpaksa berpacaran dengan Dimas, namun ternyata berpisah merupakan pilihan yang berat. Ia mengerti sekarang, dirinya bukan tipe perempuan yang suka mengakhiri hubungan, meski tahu hubungan yang dijalani hanya buang-buang waktu. Agaknya sampai kapan pun mereka tak akan bersatu, kalau pun di masa depan Dimas rela meninggalkan agamanya, ia tak akan setega itu membiarkannya. Lagi pula itu tak 'kan mudah dilewati bagitu saja, apalagi Dimas ternyata orang yang religius, walau dari luar terlihat sesat. Lantas dengan cara apa lagi? Atau ia yang log out? Tidak semudah itu Wati! Sesat-sesat begini, dirinya takut neraka.

Ia melangkahkan kakinya di koridor dengan perasaan berkecamuk takut, isi kepalanya sangat bising dengan kalimat-kalimat yang akan ia ucapkan sebagai salam perpisahan, ya jika kalimat itu berhasil ia ucapkan. Bisa jadi malah ia mengalami otak loading saat berhadapan langsung dengan Dimas.

Bagaimana hatinya tak berat, ini kali pertama dirinya memutuskan hubungan, sebab siapa pun tahu, seorang Nindi hanya pernah pacaran dua kali, ia tak berpengalaman perihal jadian, lalu putus. Diam-diam palung hatinya menyimpan sedikit ketidakrelaan akan hubungannya yang harus kandas, karena setelahnya ia akan kembali kehilangan. Putus dengan Dimas memang tidak sehampa ketika putus dengan Mahes, ini perihal rasa nyaman yang perlahan ia dapatkan, ia mulai tak peduli dengan kenyataan bahwa di luar sana banyak perempuan yang lebih menyayangi Dimas, atau bahkan sedang mencari-cari sosok itu karena dianggapnya menghilang.

Kalau dipikir-pikir menjadi pacar Dimas merupakan privilege, disaat para penggemarnya merasa kehilangan, justru ia menjadi salah satu orang yang tak mengenal jarak dengan Dimas, ia salah satu perempuan asing yang bisa setiap hari mencium aroma parfumnya meski dari jarak jauh, ia yang selalu digandeng ke mana-mana tanpa peduli cemoohan dari teman-temanya, dan ia merasa dicintai meski kadang suka naik tensi.

Sebetulnya ia jarang datang ke area kelas-kelas IPA, mungkin ada sekitar 4 atau 5 kali selama hampir 3 tahun menimba ilmu di sini. Itu pun jika ia memang mengharuskan untuk datang, semata hanya untuk Mahes, dan sekarang untuk Dimas. Kebal dengan tatapan menyelidik dan tak suka, ia berlenggang begitu saja melewati mereka, berdiri di samping pintu kelas yang ia tahu merupakan kelas Mahes dan Dimas. Tak ada niatan untuk masuk atau mengintip, ia merasa tak pantas melakukan itu di kelas orang lain, ia memilih menunggu Dimas keluar daripada dicap tidak sopan, ya walau sebenarnya mereka lebih tak sopan padanya karena tatapan merendahkan mereka.

Satu per satu penghuninya keluar, atensi mereka yang berlalu lalang seluruhnya tertuju padanya, Nindi ogah membalas dengan tatapan sama. Justru Nindi membalasnya dengan kedipan mata, kadang menaik-turunkan sebelah alisnya. Itu bentuk betapa ia sangat muak dengan para pecundang yang hanya berani melempar tatapan dan lirikan sinis.

Satu menit kemudian, pemuda menyebalkan bin tidak waras itu keluar, alih-alih pacarnya yang cool. Ya siapa lagi kalau bukan ....

"Kok, lo yang keluar sih Hes!" seru Nindi dengan mimik wajah tak bersahabat. Selalu emosi bawaannya ketika matanya mendeteksi senyum menyebalkan si tonggeret kebun.

Pemuda itu meneliti wajah kesal Nindi, kemudian menarik pergelangan tangannya menuju kursi panjang samping koridor, dan keduanya duduk di sana.

"Mau ketamu gue? Mau apa? Mau cerita apa? Sini ngomong."

Jadi Mahes pikir ia datang ke sini hanya untuk curhat begitu? Ini lebih penting ketimbang kebimbangan di benaknya.

"Dih, sotoy. Gue ke sini mau nyamperin cowok gue lah!" balasnya, judes.

"Oh, mau mutusin Dimas ya?"

Ingin rasanya menabok mulut bedebah itu dengan cangkul, bisa-bisanya berbicara sangat nyaring di depan umum?

GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)Where stories live. Discover now