part 38: Menghilangnya si manusia freak

722 176 36
                                    

Part 38: Menghilangnya si manusia freak

Mata dibalik lensa minus itu melihat sosok wanita berumur akhir 30-an tengah duduk di sebuah meja suatu kafe, di hadapannya tersaji segelas minuman dingin. Tanpa menunggu lama, ia beserta gadis di belakangnya menghampiri wanita itu, lalu duduk di dua kursi kosong yang tersedia.

Wanita yang tak lain adalah ibunya sendiri tersenyum padanya, jangankan membalas, melihatnya saja ia malas.

"Gimana sekolahnya? Lancar?" Ibunya bertanya dengan nada bicara lembut seperti biasa.

"Menurut Ibu gimana?"

"Lho, kok, malah nanya balik?"

"Ya, nilai aja sendiri."

Ia mendapat tatapan sinis dari Abel, serta senggolan di sikunya.

"Yang bener jawabnya!" tegur Abel. Meski begitu Radit tak mengindahkan sedikit pun teguran itu.

"Nggak pa-pa. Ngomong-ngomong kalian nggak mau pesen sesuatu gitu? Biar saya yang bayar."

"Nggak usah, to the point aja, iya 'kan Bel?" Radit melayangkan pertanyaan pada Abel sembari menendang pelan kaki Abel sebagai kode.

"Iya, Tante. Aku juga buru-buru nih." Abel memilih menurut saja, karena dia paham hubungan Radit dan ibunya sedang tidak baik.

Dina menghembuskan napas lemah, bahunya merosot, serta senyumnya pudar dalam hitungan detik. Ada tatapan iba di sana, tatapan lara yang tertuju pada Abel.

"Maaf ya, Nak. Ternyata Liana yang saya tahu bukan ibu kamu."

Radit telah menduganya, tak mudah mencari seseorang yang telah bertahun-tahun menghilang di dunia yang luas ini. Ditambah telah bermain-main dengan ekspektasi, pasti Abel sangat terpukul dengan pernyataan ibunya.

Tak perlu ditebak lagi bagaimana perasaan Abel sekarang. Frustasi, tentu saja. Rasa percaya dirinya hilang, optimis berubah pesimis, dan putus asa. Pikirannya terlalu sempit, dia telah menyerah, dia tak punya cara lain untuk menemukan ibunya. Satu hal yang hanya bisa dia lakukan adalah kembali pada ayahnya, setelahnya berserah diri pada Tuhan, pasrah mengikuti alur yang dibuat ayahnya sendiri.

"Mau liat fotonya?" imbuh Dina.

"Boleh, Tante."

Dina menunjukkan layar ponsel yang menunjukkan sebuah potret keluarga yang terlihat bahagia. Sang anak kecil dipeluk begitu erat oleh wanita dan pria yang tersenyum riang. Abel kian dibuat sesak, bukan karena wanita yang ia kira ibunya, melainkan karena iri melihat anak kecil yang begitu bahagia dengan kedua orangtuanya.

"Katanya dia belum nikah sebelumnya, dan nggak pernah tinggal di daerah sini," jelas Dina.

"Iya, aku paham. Makasih ya, Tan, udah mau repot." Abel mengulum senyum getir, dia merasakan sekujur tubuhnya bergetar hebat.

"Nggak repot kok. Saya cuman bisa bantu sebisanya, maaf ya?"

"Nggak pa-pa, emang udah takdir kali ya?" Abel terkekeh untuk mencairkan suasana. "Aku pamit ya, Tan," pungkas Abel, sebelum beranjak dari duduknya dengan hati berkecamuk.

Melihat Abel telah melangkah keluar, Radit buru-buru beranjak. Sialnya, ia urung melanjutkan langkahnya manakala ibunya memanggil.

"Udah dong, marahnya," bujuk Dina dengan nada jenaka.

Radit geming sesaat dengan ekspresi masam." Aku mau keluar dari rumah itu."

"Kenapa sih, ngotot banget? Mau tinggal di mana emang?"

GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)Where stories live. Discover now