part 46: Minions Pepes

714 169 52
                                    

Part 46: Minions Pepes

Saat berdiri di pintu besar dengan gagang berkarat itu, perasaan gamang mulai menguasainya, keringat dingin bak banjir yang membasahi dahinya, pun tangan dan kaki yang gemetar tak karuan. Ia seperti dijebak sekarang, hendak mengurungkan niat, pikirannya sendiri memberatkan. Maju pun ia rasa tak akan membebaskannya dari ketakutan ini.

Dengan tekad yang telah ia kumpulkan selama 10 menit, pintu itu ia buka, muncul suara derit yang membikin telinga meringis karena engsel pintu yang telah berkarat. Entah, kapan terakhir kali ia merawat rumah ini? Sejak ayahnya menjualnya ke muncikari, rumah ini pun telah mati.

Pintu itu telah terbuka sempurna, cahaya masuk pertama kali ke ruang gelap itu, hanya menerangi sebagian sisi. Sisanya gelap seperti biasa. Ruangan luas ini, bukannya diisi oleh dekorasi ala rumah mewah pada umumnya, hanya dua sofa panjang, meja kecil, dan beberapa guci keramik berdebu. Biasanya pria bejat itu selalu mengandalkan dua sofa itu untuk mengistirahatkan tubuhnya setelah menyiksa putrinya sendiri.

Abel melihatnya, sebuah siluet badan kekar yang duduk tegap di sofa itu tanpa bergerak, seperti patung. Otomatis kakinya selangkah mundur, bibirnya membisikkan satu nama yang sepertinya sebentar lagi akan menjadi perantara atas perintah Tuhan untuk mengambil nyawanya.

Ia tak akan membiarkan tekad yang ia kumpulkan selama 10 menit tadi sia-sia, ia akan terus maju, dan mencoba berdamai dengan ayahnya. Jika pun ayahnya tak berbaik hati dengan berhenti menyiksanya, ia telah siap mati hari ini pula.

Langkahnya terasa amat berat, sebab yang ia pikul adalah ketakutan itu sendiri.

Tetap tenang, jangan takut, bukankah diri ini sudah siap mati? Begitulah cara ia menyemangati raga yang sebenarnya takut dengan sakit.

Saat kakinya telah membawanya tepat di hadapan pria itu, mata redupnya beradu dengan tatapan kosong ayahnya. Netra itu cepat menunduk, lalu ia bersimpuh di depan ayahnya. Ia tak merasa bersalah, tak juga sedang meminta ampun. Ia hanya kasihan pada pria itu setelah tahu kehilangan wanita yang amat disayanginya bisa membuatnya sekacau itu.

"Ayah," lirihnya dengan suara bergetar dan serak. Tenggorokan bak dicekik, sulit hanya untuk sekadar bersuara."Kenapa Ayah nggak pernah cerita soal Bunda yang tiba-tiba pergi?" Ia memberanikan bertanya, meski rasanya sesuatu di dalam dada hendak melompat keluar.

Telapak tangan kasar terasa menyakitkan saat mencengkram rahangnya dengan sangat kuat, seolah gemas ingin menghancurkan wajahnya. Tanpa bisa ditahan, ia meringis merasakan tulang rahangnya yang rasanya hendak dihancurkan. Wajahnya memang mendongak langsung dan bertemu dengan wajah pria itu, namun netranya tak berani beradu dengan mata berselimut emosi itu.

"Tahu apa kamu soal orang tua?! Dari kecil kamu udah cukup merepotkan saya! Harusnya dia nggak pergi sendirian waktu itu, harusnya kamu ikut!" Gertakan itu membuatnya menutup mata rapat-rapat, karena ketakutannya telah mengalahkan keberaniannya.

Ia terhuyung lemah saat ayahnya mendorongnya kasar. Kini deru napasnya kian tak beraturan, nan air mata bak lautan.

"K-kalau tahu begini .... " Sejenak napasnya tercekat di tenggorokan, rasa sesak membuatnya tak mampu berbicara lebih banyak. Namun setelah menghirup oksigen lebih banyak meski dadanya nyeri, tekadnya untuk tidak lemah pun terkumpul." Lebih baik aku mati aja waktu itu! Aku juga nggak tahan sakit Yah! Aku juga capek cacat!"

Pekikannya mengalahkan gertakan ayahnya, ia pun mulai berani beradu tatap dengan mata gelap itu. Hal itu membuat pupil mata ayahnya kian melebar, mata itu seperti siap menerkamnya.

"Kalau Ayah emang nggak pengen aku, kenapa Ayah berusaha sembuhin aku?! Ayah tahu sendiri aku ngerepotin, harusnya Ayah tinggalin aku! Biarin aku mati sendirian!"

GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora