Part 33: Gosip menggosip

786 204 93
                                    

Part 33: Gosip menggosip

1 ... 2 ... 3! lari!

Itu aba-aba di batin Nindi setelah guru pengajar keluar dari kelas. Mendadak ia menjelma jadi peserta lari cepat bersaing dengan murid-murid penghuni bangku bus paling depan lainnya.

Mengerahkan semua tenaganya untuk memacu kakinya agar lebih cepat dari lord-lord yang langganan mendapat posisi duduk paling depan. Meski beberapa kali disenggol sampai nyusruk, Nindi tetap tak putus asa sebagai pejuang kursi depan. Persetan dengan makian orang-orang yang memang sengaja Nindi senggol agar tak mendahuluinya.

Menurut sebagian orang, penghuni bangku bus paling depan dianggap master, karena kekuatan melesatnya yang mengalahkan vampir. Oleh karena gelar itu sangat berarti baginya, jadilah Nindi yang sekarang rela ngos-ngosan, hampir diserang asma.

Melupakan deru napasnya yang tak karuan, Nindi terpekik heboh kala ia sampai pertama kali di bus. Ia menemukannya, posisi yang dianggap istimewa bagi kalangan siswa. Kursi depan, dekat pintu masuk dan keluar bus. Karena letaknya dekat dengan pintu masuk dan keluar, memudahkan bagi yang duduk di depan untuk keluar, tak harus dempetan, senggol-senggolan, dorong-dorongan dan bacok-bacokan.

Hahaha, sekarang ia master!

Nindi mengambil secarik kertas yang tertempel di kursi itu, bertuliskan,"yang duduk di sini, besoknya jadi batu." Rasanya Nindi ingin tertawa sampai mulutnya robek.

"Idih, dikira lo emaknya Maling Kutang apa? Eh, Malin Kundang, cibirnya, lalu membuang kertas itu melalui jendela bus.

Kini ia duduk dengan gaya angkuh, melirik sinis siswa-siswa yang langganan duduk di depan, mereka membalasnya dengan ekspresi sewot.

Berangsur-angsur kursi kosong bus terisi, sedang ia tengah menunggu Radit dan Abel yang entah ke mana, antara jalannya lelet, atau mereka tersesat ke lembah, memasuki hutan belantara dan menyelami Palung Mariana.

Setelah Nindi puas meracau dalam batin, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga tanpa merasa bersalah. Main duduk di sebelahnya dengan Radit di tengah-tengah.

"Ke mana aja lo? Gue capek-capek bersaing sama anak-anak lain, lo malah santai aja. Kecewa gue pokoknya!" omel Nindi, mencabikkan bibirnya, marah.

"Mau duduk di mana aja nggak masalah sih, daripada buang-buang tenaga," jawab Radit tersenyum, lalu merangkul Nindi.

"Tapi kalau terlalu santai entar nggak kebagian kursi Dit!" proses Nindi lagi.

"Ya, nggak pa-pa. Biar berdiri yang penting nyampek rumah."

"Akhir-akhir ini lo nyebelin banget, lo udah move on ya?" Ia bertanya dengan perasaan harap-harap cemas.

Ia takut, takut bila Radit sudah mulai mencintai orang lain, ia dilupakan begitu saja dan semua perhatian dari Radit dialihkan sepenuhnya pada orang yang dia cintai. Barangkali karena terbiasa dimanjakan dengan sikap perhatian Radit, membuat dirinya egois. Ia hanya takut dilupakan dan dikhianati lagi. Ia benar-benar merasakan posisi tokoh sahabat di antara sebuah hubungan sepasang kekasih, yang selalu dianggap perusak hubungan.

"Keenakan lo dibucinin mulu, gue-nya nggak."

"Gue bucin kok, sama lo!"

"Bucin, budak cinta ya? Emang lo cinta sama gue?"

Sial! Pertanyaan memojokkan. Sekaligus menamparnya sebagai seseorang yang tak kunjung membalas dan selalu memberi harapan. Nindi hanya bengong, tak tahu hendak menjawab apa, seolah jutaan kata raib dari otaknya.

"Tenang Nin. Kalau lo nggak cinta Radit, biar gue aja yang cinta Radit." Abel menimpali, membuat Nindi kian kebingungan merangkai aksara sebagai jawaban.

GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)Where stories live. Discover now