Part 21: Nindi dan kegalauannya
"Pasti dia lagi nongki dulu sama bapak-bapak! Apa iya, Mahes lagi bujuk Pak Bambang buat ikutan jualan masker juga?"
Nindi sibuk menduga-duga apa yang dilakukan Mahes bersama bapak-bapak sambil mondar-mandir gigit jari. Sesekali mengintip, dan yang ia lihat Mahes bergabung di kelompok bapak-bapak itu, menonton permainan kartu mereka. Apa dia sedang belajar jadi bapak-bapak pengangguran yang kerjanya hanya berjudi? Apa untungnya buat Mahes? Dia sudah tajir melintir bak Bapak Haji pemilik kedai mie ayam, katanya jualan masker, belum lagi akan dapat warisan tanah. Masa depannya menjanjikan. Ugh, siapa pun pasangan Mahes pasti bahagia hidup bersamanya.
Terhitung sudah sepuluh menit Nindi menunggu, siapa pun tahu menunggu itu menyakitkan. Jangankan menunggu Mahes mengajaknya balikan, menunggu Mahes selesai dengan urusannya bersama bapak-bapak itu sudah membuatnya kewalahan betul. Bisa-bisa Nindi pergi haji dulu tiga kali, merayakan lebaran monyet lima kali, dan pergi ke Korea menyusul Sehun, saking lamanya menanti si keparat itu.
Enaknya gelar tikar sambil makan sop buah, ditambah rebahan sambil berjemur. Berharap jenuh hilang disela menunggu Mahes. Namun, ide itu hanya tertahan di otak sebagai angan konyol. Ah, mana mungkin Nindi melakukan hal bodoh itu?
Akhirnya yang dinanti-nanti datang juga setelah sekian abad, agaknya pergi haji sepuluh kali pun sempat. Tanpa merasa bersalah, dia nyengir, mengabaikan ekspresi sewot Nindi.
"Lo ngapain aja sama bapak-bapak itu Hes? Lagi ngerencain ronda nanti malem?!" omel Nindi, geram.
"Simulasi jadi bapak-bapak buat masa depan."
Tidak waras. Remaja seusianya sibuk belajar, main game, hits di sosial media, si cecunguk ini justru memilih bergaul dengan bapak-bapak dengan alasan simulasi jadi bapak-bapak. Tidak paham dengan jalan pikirannya.
"Mana ciki gue?"
"Nih."
Mahes menyodorkan dua kantung plastik. Sampai sini, Nindi masih positive thinking, mungkin ciki-cikinya tidak muat dalam satu kantung plastik. Namun, Nindi mulai terheran-heran saat salah satu plastik isinya satu ikat kangkung, tempe, satu ikat kacang panjang, kecap, dan menyerap rasa. Tetap positive thinking, barangkali ini belanjaan Mahes.
"Ini belanjaan elo Hes?"
"Eh, mie gue ada di situ." Alih-alih menjawab pertanyaan Nindi, Mahes justru sibuk mengobrak-abrik plastik yang berisi makanan ringannya, dan menemukan satu bungkus mie instan.
"Hes, ini belanjaan elo bukan?"
"Oh, iya, gue beliin lo permen 500 perak."
Pertanyaannya masih tak terjawab. Kini dia merogoh sesuatu di saku celananya, dan meletakkan tiga biji permen di telapak tangannya.
Permen Kiss. Permen yang lantas mengingatkannya pada masa lalu kala itu, yang lantas membuat matanya berbinar bahagia. Setahunya, ini cara Mahes mengungkapkan perasaannya. Saat itu, ada tiga kata yang membuatnya tersipu, i love you. Jangan harap sekarang pun sama, mustahil.
Penasaran, ia membalik satu persatu permen itu dengan jarinya sendiri. Hatinya segera berbisik, manis sekali, saat netranya dengan mudah membaca setiap kata yang tercetak di sana.
I still love you, jangan lupa senyum, miss you. Berulang kali hatinya membaca kata-kata itu, berulang kali pula senyumnya mekar. Namun, perasaan bimbang tiba-tiba hinggap, mengingat Mahes bukan sosok yang mudah dipercaya lagi. Dia punya perasaan yang tak menentu, emosinya sering naik-turun. Karena itu senyum Nindi segera surut.
YOU ARE READING
GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)
Teen Fiction"Mantanku memang dekat, lima langkah dari rumah." Jangan nyanyi, please! Tahu tidak, rasanya bertetangga dengan mantan? Kalau kata Nindi sih, "gamonnya nggak ngotak." Asli tidak enak! Nindi sampai berkeinginan pindah ke Pluto, tapi ingat cara mengu...