Part 42: Gagal memahami perasaan sendiri

702 163 106
                                    

Part 42: Gagal memahami perasaan sendiri

Ia tengah dikurung di ruangan ber-AC yang terasa seperti di neraka bersama pria pemilik tatapan lembut itu. Meski begitu ia tak tak memungkiri bahwa ia dalam keadaan panik. Telapak tangannya banjir keringat dingin, meremas-remas sisi sofa yang ia duduki dengan kepala menunduk dan mata terpejam.

Derit pintu ruangan itu membuatnya terkesiap, serta refleks menoleh pada asal suara, terlihat wanita berbadan gempal yang ia ketahui merupakan guru Waka Kesiswaan, bersama pria berjas yang menjabat sebagai kepala sekolah di sekolah ini.

Abel meneguk ludah yang terasa berat melewati kerongkongannya kala tiga orang paling di takuti itu duduk di menghadapnya. Tatapan mereka seperti ingin menguburnya hidup-hidup. Ia sungguh tak berani berlama-lama bersetatap dengan mereka sebab rasanya jiwanya akan mati perlahan.

"Saya berharap kamu nggak mengada-ada di sosial media, karena risikonya sangat besar." Kalimat to the point diutarakan guru Bimbingan Konseling, Pak Nam.

Abel gelagapan, meski ceritanya bukanlah karangan fiksi, ia tetap tegang diinterogasi oleh tiga orang paling ditakuti itu.

"U-untung a-apa saya merendahkan diri saya sendiri Pak? S-saya cuman mau luapin kesedihan saya."

Decahan keras bersumber dari wanita gendut itu, lagi-lagi Abel terkesiap.

"Kalau kamu emang punya beban hidup seberat itu, kenapa nggak cerita ke saya atau BK? Kami bukan hanya guru kamu, tapi juga orang tua kamu di sekolah!"

Baiklah, Abel tersentuh dengan kata "orang tua" yang diucapkan si guru, tetapi ia tersinggung dengan nada bicaranya yang terdengar menyalahkannya. Abel yang mudah terpancing emosinya, mulai menggertakkan rahang, geram.

"Apa anda bisa mencari ibu saya? Apa anda bisa menasihati ayah saya? Apa anda akan percaya dengan cerita saya? Atau saya malah dikeluarkan dari sekolah karena saya Pekerja Seks?"

Geming, mulut wanita itu seakan disumbat. Barangkali, dia memang tak akan mengindahkan cerita Abel jika Abel berniat melapor pada BK.

"Mungkin saya bisa membantu sebisanya," timpal Pak Nam.

Abel menyeringai."Itu masih 'mungkin' ya? Kita nggak tahu apa yang terjadi saat saya mengadu pada Bapak. Antara dianggep drama atau cuman mau caper doang."

Pak nam ingin menjawab lagi, namun Abel cepat menyelanya."Kalau Bapak mau DO saya, silakan. Saya udah siap sama konsekuensinya, lagian saya juga udah nggak mampu bayar SPP, tunggakan buku atau biaya lainnya."

Abel tak ingin basa-basi, intinya interogasi mereka tetap seperti menghakimi yang tujuannya untuk mengeluarkan dirinya dari sekolah ini. Daripada membuang waktu yang memiliki akhir yang sama, lebih baik Abel memangkas waktu ini dengan menyampaikan inti pembicaraannya.

Ketiga orang itu berekspresi muram, apalagi sang guru Bimbingan Konseling yang terlihat putus asa.

"Kami akan mendiskusikannya terlebih dahulu. Terlepas benar atau tidak apa yang kamu sampaikan di sosial media, yang jelas apa yang kamu lakukan di luar sekolah, mencoreng nama baik sekolah."

"Terserah deh, gimana mau Bapak. Yang harus Bapak tahu, saya tidak dengan sengaja melakukan pekerjaan itu, dan saya tidak bodoh membeberkan identitas asli saya, termasuk nama sekolah saya, bahkan saya tidak membeberkan umur saya yang masih minor saat itu."

Pak Nam menghela napas kasar."Untuk sementara kamu di skorsing, dan ini surat---"

Kalimat Pak Nam terpotong karena ulah Abel yang lancang keluar dari ruangan itu begitu saja tanpa sepatah kata. Abel tak perlu mendengar secara lengkap kalimat Pak Nam, sebab Abel tahu, akhirnya ia bukan hanya diskorsing, tetapi di DO.

GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)Where stories live. Discover now