The End (Part 1)

1.1K 183 41
                                    

Sembilan tahun berlalu.

Tak pernah sekali pun ia berniat menghitung hari sejak keluar dari rumah, tak peduli tahun ke tahun yang berhasil ia lewati tanpa siapa pun di sisinya, dan bulan ke bulan yang bosan mendengar tangisnya setiap malam berderap meraibkan keramaian. Selamat datang, kisah barumu telah di mulai.

Setelah enam tahun meninggalkan kota kelahiran, ia kembali dengan koper berat dan langkah hampa. Seorang perempuan berkemeja putih bersih, dipadukan celana jeans nan sepatu tanpa hak sebagai alas kaki, tak lupa sebuah tas selempang tersampir di lengannya berisikan barang-barang penting termasuk smartphone. Menilik setiap objek yang bisa netranya jangkau tanpa terkecuali, perumahan ini sudah banyak berubah, begitu pun kisahnya.

Rambut ikal terkuncir rapi itu bergoyang seirama dengan langkah kaki, senyumnya tak padam barang sedetik pun untuk membalas senyum para pejalan kaki yang menyapanya. Barangkali mereka mengenalnya, tetapi tidak dirinya. Ia sudah banyak lupa dengan penghuninya, kecuali ibu dan ayahnya, Om Raden, Tante Sarah,  dan ... Mahes. Mungkin nama terakhir yang ragu-ragu ia ucapkan itu, tak akan pernah raib dalam ingatannya sampai usianya usai, bahkan jika ia disuruh mendeskripsikan bagaimana garis wajahnya, tinggi badannya, bentuk badan dan tingkahnya saat terakhir kali ia melihatnya, bukanlah persoalan yang sulit.

Ah, para tetangga pasti mengiranya pergi merantau, nyatanya pelariannya ke kota orang bukan hanya sekadar bekerja, namun lebih rumit dari itu.

Sejak perpisahannya dengan Mahes tujuh tahun silam, ia tak lagi berada di rumah. Ia memberanikan diri tinggal sendirian di kostan kecil dekat kampus, semata karena ia lelah bergumul dengan hati ringkihnya. Derai air mata setiap malam membasahi bantalnya, ia selalu tidur dengan mata sembab, dada sesak, dan hati yang tak berbentuk. Sepanjang malam ia akan menangis, lalu tertidur jika sudah lelah. Kemudian ia akan terbangun dengan sisa-sisa air mata di pipinya, tak jarang pagi selalu jadi saksi tangisnya yang kembali memenuhi ruang kecil tempatnya bernaung. Sebab rupanya lelaki itu tak membiarkan dirinya tenang, dia menelusup masuk dalam mimpinya dan terus mengatakan tuduhan menyakitkan itu.

Selang satu tahun, tepatnya ketika ia telah mendapatkan gelar "Sarjana Sastra Indonesia" ia mendapat tawaran pekerjaan dari kenalannya sebagai editor di sebuah penerbit buku terkenal di luar kota, tanpa berpikir panjang ia menerimanya dan langsung bertandan ke kota orang sebagai perantau. Tinggal di kostan sederhana, sendirian, dan menikmati malam-malam sunyi dengan meringkuk diiringi tangis lara. Ia merindukan orangtuanya, juga masih terbayang kegagalan terbesar yang telah ia alami, Mahes.

Pernah ia menaruh harap akan berakhir selamanya dengan Mahes, ia selalu berharap Mahes bersedia memberikan pelukan hangatnya setidaknya ketika ia merasa terpuruk. Namun semua harapannya raib saat Mahes sendiri yang menjadi alasannya terpuruk.

Bermula saat pertikaian di malam itu. Nindi hanya banyak diam saat emosi Mahes memenuhi ruang kamarnya. Semata karena ia tak ingin membesar-besarkan masalah, dan sudah lelah meributkan hal yang sama.

"Apa kamu selalu berlebihan gitu kalau temenan sama cowok? Selalu nggak tahu diri? Iya? Jawab Nin?! Jangan bikin aku marah!" Mahes terus menekannya untuk menjawab pertanyaannya.

Sementara ia terduduk tak berdaya di tepi ranjang, pandangannya kosong dengan linang air mata membasahi pipinya.

"Kamu pasti capek ngerjain tugas-tugas 'kan? Istirahat dulu Hes." Akhirnya ia balas merespon walau menyimpang dari topik. Ia masih berusaha sabar dengan meresponnya lembut.

"Iya, aku capek, aku capek liat tingkah kamu! Tiap kamu keluar, pasti ada cowok di sana. Apa kebebasan yang aku kasih masih kurang Nin?"

"Udah Hes, nanti Mami sama Papi kamu denger."

GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)Where stories live. Discover now