Part 17: Mahes si moody-an dan labil

1.1K 258 46
                                    

Part 17 : Mahes si moody-an dan labil

"MAHES, GUE BAKAL BUNUH DIRI KALAU LO NGGAK MAU BALIKAN SAMA GUE."

Begitulah Ancaman Nindi. Menapak di Bukit Surya, dengan pemandangan laut indah di bawah Sana. Bukit Dan teluk ini akan jadi tempat terakhir ia menjejak bumi, ombak akan membawa hidupnya ke akhir yang abadi, burung-burung dan cuitannya akan mengiringi berakhirnya hidup yang fana ini, beserta kenangannya yang abadi.

Nindi akan menapak dunia lain yang abadi, tanpa seorang pun terkasih di sisinya, dan mereka perlahan akan melupakannya sebagai seseorang yang pernah hinggap di kehidupan.

"Bodo amat." Nindi tak sendirian di bukit ini, ia bersama orang yang ingin ia rengkuh, namun untuk menggapainya saja, dia terlalu jauh.

Berdiri satu meter di belakangnya, dia juga akan jadi saksi bahwa gadis ini menyerahkan hidupnya pada semesta.

"Lo bakal jadi cinta pertama sekaligus cinta terakhir gue." Suaranya begitu parau, nan lirih. Air matanya telah membanjiri pipi.

"Ya, udah sih, cepetan! Gue mau lihat nih!"

Mungkin dia berpikir, Nindi hanya main-main. Mustahil Nindi mempermainkan kematian, ia bersungguh-sungguh atas ucapannya.

Nindi enggan berbasi-basi, di akhir hidupnya, ia hanya ingin mengatakan, "selamat tinggal, Mahes. Semoga hari-harimu bahagia."

Bukan melompat, melainkan menjatuhkan pasrah tubuhnya sendiri. Tubuhnya terguling-guling, bergesekan dengan semak-semak tajam, hingga ia rasakan tubuhnya menghantam air, menimbulkan suara jatuh yang nyaring. Ia masih sadar sepenuhnya, sebab pasokan oksigen masih tersimpan di paru-parunya. Ia tak ingin berenang ke permukaan, sebab keputusannya sudah bulat. Biarlah oksigen ini mulai menipis, kemudian air masuk melalui hidung, dan ia pun mulai mati rasa.

Sungguh, Nindi bertanya-tanya, sebenarnya ia ada di alam mana? Mengapa terdengar tawa menggelegar di sekitar. Tawa seperti mengerumuninya, menertawainya. Ia masih agak lelap, malas membuka mata karena mimpi ini tak mau ditinggalkan.

"Cantik muka doang, kalau tidur ileran." Kalimat yang terlontar jenaka itu membuat matanya perlahan membuka, terlihat samar-samar orang-orang berdiri mengerumuninya. Dahi Nindi mengernyit, pusing melanda karena tiba-tiba bangun dari tidurnya.

"Anjir! Kebo banget sih? Bangun!"

Nindi tersentak kala suara mengintruksikan agar ia sadar, kini ia benar-benar melihat jelas orang-orang yang tertawa itu. Mereka semua teman sekelasnya, didominasi laki-laki, dan makhluk bernama Tejo asyik menyorotnya dengan kamera ponsel.

"Nggak asik! Lagi mimpi buruk gue!" ucap Nindi seraya menggaruk rambutnya yang acakadut

Mereka kian tertawa ngakak, apa salahnya? Nindi hanya tidur di pojokan saat jam kosong. Oh, ia ingat, hari ini Jumat bersih. Di mana khusus hari jumat setiap kelas wajib melakukan kerja bakti sesuai jadwal. Setiap hari Jumat ada tiga kelas yang melakukan kegiatan kerja bakti, perwakilan dari jurusan IPA, IPS dan MIPA.

"Lo pada kenapa sih?"

"Jelek begini banyak yang naksir. Lo pakek pelet dari dukun mana sih?" Temannya ---Tejo menimpali sambil fokus pada layar ponselnya.

"Ha? Apaan?" Nindi gesit merampas ponsel Tejo. Seketika otaknya blank, mulutnya menganga, matanya melotot nyaris keluar dari rongganya.

"Kurang ajar! Tejo banci!" umpatnya.

Bagaimana Nindi tak naik pitam, layar ponsel itu menampilkan dirinya yang tengah tidur dengan mulut menganga dan mata yang tak sepenuhnya terpejam. Rambut yang ia gerai tak nampak bentuknya, benar-benar berantakan. Yang lebih memalukan, ia ileran. Nindi sempat mengusapnya tadi. Sungguh, malunya to the bone.

GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)Where stories live. Discover now