Part 18: Jangan pernah sepelekan pelecehan dalam bentuk apa pun

1K 243 20
                                    

Part 18: Jangan pernah sepelekan pelecehan dalam bentuk apa pun

Radit membawa motor beserta penumpangnya ke sebuah gang berpaving. Rumah-rumah sederhana berjejer rapi dengan penghuni sebagian tampak berkumpul atau sekadar duduk saja di serambi rumah. Lingkungan ini diterangi oleh lampu-lampu rumah warga yang terang benderang, nan satu-dua lampu di pinggiran jalan. Ramai, namun tak bising, sesuai untuk menggambarkan suasana malam di lingkungan ini. Walau terletak di pusat kota, lingkungan ini cukup dikatakan asri, tidak ada sampah yang teronggok begitu saja, pun selokannya mengalir lancar. Kentara damai, dan kelihatannya sukar terjadi keributan antar warga.

"Gue kira Abel tinggal di perumahan elite gitu. Soalnya penampilannya kelihatan mahal, henpongnya ipon," ujar Nindi pada temannya yang sibuk mengemudikan motornya."Iya 'kan Dit?" Nindi bertanya meminta persetujuannya, karena Radit tak kunjung menjawab.

"Iya," balas Radit, sekenanya.

"Tapi gue yakin Abel kaya."

"Iya, Nindi."

"O, iya, Abel 'kan kerja."

"Iya."

Napas Nindi menghambur gusar, tangannya dengan gemas mencubit bahu Radit, membuat cowok itu meringis menahan sakit.

"Sakit, Nin!"

"Makanya jangan pendek-pendek gitu jawabnya! Gue nggak suka!"

Rasa-rasanya Radit lebih kesal darinya, Nindi dapat mencetuskannya karena decakan Radit amat keras menusuk telinga.

"Ya, udah, ngomong lagi." Pada akhirnya, laki-laki itu pasrah, lebih memilih menuruti kemauan Nindi, daripada tak acuh pada Nindi.

Karena Radit mempersilakan dirinya melanjutkan ocehan, maka lantas Nindi berkata, "temen-temen gue udah pada kerja kayaknya."

"Siapa? Kok, gue baru tahu?"

"Dimas Youtuber, Mahes kayaknya bantu rintis usaha skincare sama abangnya, terus Abel ... A-abel, nganu." Tiba-tiba diserang grogi, pikirannya tak cukup diam di tempat, berkelana memikirkan sisi buruk pekerjaan Abel. Angannya membayangkan liarnya Abel ketika bekerja. Dia seorang ... sebut saja jalang.

"Eh, nggak deh." Nindi mengulum senyum kikuk, tangannya menggapai ujung rambut yang ia kuncir untuk dimainkan.

"Btw, Mahes tuh, kayak bantu jualin produk abangnya gitu. Semacam online shop," imbuh Nindi, kini nada bicaranya kedengaran antusias.

"Serius? Bagus dong." Sementara respon Radit tetap begitu-begitu saja, tidak antusias dan tak berminat. Namun, agaknya dia berusaha membuat Nindi senang.

"Dia kayaknya tajir sih, tapi orangtuanya kayak milih nggak nunjukin. Kalau seandainya keluarga Mahes milih jadi orang kaya sungguhan mah, mereka bakal tinggal di perumahan elite, yang halamannya luas, yang bisa nampung banyak mobil."

Sekian detik Radit membiarkan ocehan Nindi mengambang diawang-awang, akhirnya dia menjawab," bagus-bagus, kalau masih cinta mending balikan." Radit berucap seperti itu, karena ia dapat menanggap betapa Nindi amat memuja dari bagaimana caranya membicarakan Mahes.

"Jangan bahas soal balikan, males banget." Nindi merengut, masih kesal agaknya pada Mahes.

"Jadi, lo sama Mahes?"

"Sebatas mantan."

"Lo sama Dimas?"

"Nggak ada status."

"Lo sama gue?"

Entah kenapa ia merasa dipojokkan, tiga pertanyaan Radit seolah menuduhnya telah mengghosting tiga cowok sekaligus. Bukannya tersinggung, justru ia merasa sakit hati karena pertanyaan Radit yang belum tentu memojokkannya.

GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)Where stories live. Discover now