34. Ciuman dan Ilusi

4.8K 551 17
                                    

Park Chaeyoung bersumpah, tidak ada satu hal tentang dirinya yang tidak Junhoe ketahui. Mulai dari keluarganya, hubungan tidak sehatnya dengan Chanyeol, kebiasaan buruknya, sikap jeleknya, hingga masa-masa sulit di kehidupannya.

Koo Junhoe literally knows everything about Chaeyoung.

Maka dari itu, Chaeyoung mempertanyakan alasan Junhoe bisa menaruh rasa padanya. Dulu, mereka teman merokok di kantor. Kalau sedang merokok, apalagi yang dilakukan kalau bukan mengobrol, bukan? Di sela-sela obrolan mereka Chaeyoung tidak jarang membeberkan aibnya sendiri.

Tapi, dengan semua kekurangan yang telah Chaeyoung tunjukan di depan mata Junhoe, laki-laki itu memilih untuk menyukainya.

Benar-benar unik.

"Kamu nggak bisa memilih untuk jatuh cinta dengan siapa." Junhoe berucap di satu malam, saat mereka baru selesai makan malam berdua. "Kalau hati kamu sudah memilih, nggak akan ada yang bisa kamu lakuin. Kalau kamu mencoba menolak, berarti kamu membohongi diri kamu sendiri.

"Aku masih nggak ngerti." Chaeyoung menggelengkan kepala. "Kenapa bisa aku? Apa yang kamu lihat ada diriku yang buat kamu tertarik?"

"Semuanya."

Mata Chaeyoung menyipit. "Bohong!"

"Aku jujur."

"Tapi aku punya banyak kekurangan."

"Malah karena itu. Meski dengan kekurangan yang kamu miliki, kamu masih tetap menarik di mataku."

Hati Chaeyoung seperti tercubit. Kalimat itu terlalu manis, sampai-sampai Chaeyoung hampir menangis mendengarnya. Ia terharu. Ini adalah yang pertama kali seseorang memandangnya setinggi itu.

Chaeyoung tidak memiliki banyak pengalaman dengan laki-laki. Pacar pertamanya saat SMA adalah laki-laki yang pasif. Mereka sama-sama anggota klub debat bahasa inggris, dan pada akhirnya memutuskan pacaran karena merasa cocok.

Saat pacaran pun, mereka tidak pernah romantis seperti pasangan-pasangan yang lain. Park Chaeyoung itu perempuan kaku dan sang pacar pertama tidak berbeda jauh. Karena kombinasi itu lah, enam bulan masa pacaran mereka kebanyakan dihabiskan di ruang klub untuk membahas perihal masalah lomba debat.

Pacar kedua Chaeyoung adalah Park Chanyeol. Setelah lulus kuliah, Chaeyoung sempat kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Jongdae, seorang kakak tingkat yang dikenal Chaeyoung di organisasi paduan suara padus, memberikan tawaran kepadanya untuk menjadi penyanyi di sebuah cafe.

Di sana, Chaeyoung bertemu dengan Chanyeol—laki-laki penuh percaya diri yang berjiwa bebas. Di saat Chaeyoung bernyanyi, Chanyeol bermain gitar. Mereka adalah partner in crime di cafe tempat mereka bekerja.

Dua bulan mengenal Chanyeol membuat Chaeyoung tersadar kalau mereka memiliki mimpi yang sama. Hanya saja bedanya, Chaeyoung sudah lama menyerah dengan mimpinya untuk menjadi musisi, sedangkan Chanyeol masih berlari mengejarnya.

Kehadiran Chanyeol membuat mimpi Chaeyoung yang sudah mati seakan memiliki nafas lagi. Mungkin karena itu pula pada akhirnya Chaeyoung menerima ajakan berpacaran Chanyeol.

Gara-gara keputusannya itu, Chaeyoung yang lugu; Chaeyoung yang polos; Chaeyoung yang tidak tahu apa-apa, pada akhirnya terjebak dalam lingkaran setan. Park Chanyeol adalah pacar yang egois, dan obsesif.

Laki-laki itu gemar membuat Chaeyoung merasa insecure. Lisannya begitu tajam dan tidak jarang melukai perasaan Chaeyoung. Butuh dua tahun untuk Chaeyoung memberanikan diri keluar dari hubungan tidak sehat itu dan setelah ia keluar, Park Chaeyoung bukanlah perempuan yang sama lagi.

Sekarang, setelah mengalami semua kejadian buruk itu, tidak heran rasanya kalau Chaeyoung ingin menangis ketika Junhoe mengucapkan kalimat di atas tadi.

"Jadi, are we official, now?" Junhoe bertanya saat mereka berdua sudah berdiri di depan pintu apartemen Chaeyoung. Malam sudah larut dan di lorong lantai ini hanya ada mereka berdua; berdiri berhadapan dengan jarak satu lengan.

"Hm, ya," jawab Chaeyoung dengan suara kecil.

"Kenapa kamu rasanya nggak yakin gitu?"

"Bukan nggak yakin." Chaeyoung panik. "Please, jangan salah paham, aku—"

"Hey, tenang." Junhoe menyentuh kedua bahu Chaeyoung dan mengusapnya pelan. "Aku cuma bercanda"

"Bercanda?"

"Ya, habisnya kamu kelihatan tegang."

Chaeyoung mengerang pelan kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Sori, habisnya sudah lama aku nggak berurusan dengan hal seperti itu."

"It's okay, pacar."

"Junhoe!"

Junhoe tertawa geli. "Kenapa?"

"Aku geli dengernya."

"Pacar."

"Diam."

"Pacar."

Chaeyoung menutup telinga dengan kedua tangan. "Aku nggak mau denger."

"Oke, sekarang aku berhenti bercanda." Dengan senyum lebar, Junhoe menarik tangan Chaeyoung dari telinga lalu menggenggamnya erat.

Kemudian hening.

Dua pasang mata itu bertemu pandang.

Jarak semakin terkikis.

Nafas Junhoe mulai menerpa wajah Chaeyoung.

Namun, sebelum bibir mereka bertemu Chaeyoung mengelak. Gerakan itu reflek dan Chaeyoung sendiri tidak tahu kenapa tubuhnya bereaksi demikian. Ketika matanya menangkap sorot mata Junhoe, ia merasa menyesal.

Laki-laki itu kecewa. Ia terluka. Tapi, sorot mata itu tak lama berlangsung dan Junhoe dengan cepat merubah ekspresinya dengan suggingan senyum tipis.

Tangannya yang semua menggenggam erat kedua tangan Chaeyoung teralih ke puncak kepalanya untuk mengusap pelan.

Chaeyoung semakin dilanda perasaan bersalah. Jadi, sebelum Junhoe menjauh, Chaeyoung buru-buru menyatukan bibir mereka dan menciumnya. Tak berselanglama, Junhoe membalas ciuman Chaeyoung.

Ciuman itu lembut dan singkat. Mungkin hanya sekedar simbol kalau mereka saat ini memang sudah bukan lagi sekedar teman.

Namun, menjadi masalah adalah Chaeyoung tidak merasakan getaran apapun. Baginya ciuman itu ada dua; yang pertama adalah ciuman nafsu dan yang kedua ciuman sayang. Sedangkan, ciuman yang Chaeyoung bagi bersama Junhoe tadi tidak masuk ke dalam keduanya.

Ciuman itu hambar dan tak berkesan.

Ketika Junhoe mengucapkan selamat malam, dan pintu mengayun tertutup memisahkan mereka, Chaeyoung lansung menyandarkan tubuhnya ke tembok.

Malam itu ia sadar, masih belum ada sedikitpun cintauntuk Junhoe di hatinya.

.

To Be Continued

My Valentines ✔️Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ