PART 14.

169 26 0
                                    

Chika mengaduk-aduk makanannya dengan tangan mengepal kuat. Bu Jurina sudah memberikan tugasnya kepada mereka berdua sejak pulang sekolah tiba. Pelajaran yang belum Chika pahami sekarang Bu Jurina kasih, alhasil ia hanya bisa diam melihat Chiko yang berada di sebelahnya mengerjakan soal-soalnya dengan tenang.

Saat Bu Jurina keluar dari perpustakaan, barulah Chika menutup bukunya sambil menatap Chiko dengan api amarah. “Chiko!”

Tidak ada sahutan dari Chiko. Hal itu membuat jiwa kekesalan Chika semakin bertambah, dengan senyum miringnya, Chika meraih buku Chiko, lalu melemparnya ke bawah lantai.

Brakh.

“Ups nggak sengaja,” ejek Chika tersenyum sinis ke arah Chiko.

Laki-laki itu menatap Chika tanpa ekspresi. Kepalan tangannya menjadi kuat melihat bukunya yang tergeletak begitu saja di bawah lantai. “Maksud lo apaan, lempar-lempar buku gue?”

Chika memutar bola matanya malas. “Gue nggak suka liat lo caper sama Bu Jurina, gue tau kok, kalau lo itu pinter. Tapi sayangnya, kepintaran lo itu cuma bisa dipamerin di depan orang-orang—.”

“Gue bukan orang yang suka cari perhatian. Asal lo tahu, kalau bukan karena sekolah ini, gue nggak mungkin mau ikutan olimpiade-olimpiade kayak gini.” Potong Chiko membuat Chika bungkam.

Chika mengernyitkan dahinya bingung, maksudnya bagaimana? Perkataan Chiko sungguh membuat otaknya berpikir sepuluh kali lipat.

“Ngomong yang jelas dong, gue nggak paham lo ngomong apaan?”

Chiko menghela napas panjang. Mengambil buku yang tadi dilempar oleh Chika dengan sangat hati-hati. Anehnya Chiko merasa gemas dengan wajah kebingungan Chika saat ini.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Chiko segera beranjak dari duduknya, meninggalkan Chika yang menatapnya horor. Tidak lama kemudian Bu Jurina datang dengan wajah keheranan.

“Loh Chika, kemana Chiko?” tanya Bu Jurina kepada Chika.

“Nggak tau Bu, tiba-tiba dia pergi gitu aja. Mana nggak ngomong apa-apa lagi,” ketus Chika mengerucutkan bibirnya kesal.

Bu Jurina menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ya sudah Chika, kalau Chiko sudah tidak ada disini, kamu boleh pulang. Nanti saja kita teruskan seleksi olimpiade-nya, kebetulan juga saya ada rapat dengan guru-guru yang lain.”

Chika menganggukkan kepalanya. Lalu menyalami tangan Bu Jurina, setelah itu ia berlari ke arah parkiran, berharap Chiko masih berada disana. Tetapi setelah sampai di parkiran, rupanya Chiko sedang bersama Cellin. Chika mengurungkan niatnya untuk memanggil Chiko dari kejauhan. Perlahan ia memundurkan tubuhnya meninggalkan halaman sekolahannya.

Jadi gini rasanya jadi jomblo? Nggak ada yang peduliin mau pulang naik apa?- batin Chika bersedih.

****

Selesai mengantarkan Cellin pulang ke rumahnya, Chiko segera melajukan mobilnya ke arah kantor Papahnya. Company Pamungkas Group, perusahaan Papahnya yang sekarang tengah tersebar luas di kalangan pembisnis luar negeri.

Chiko membuka pintu ruangan Papahnya sambil melempar tas ranselnya ke sembarangan arah.

“Kamu baru pulang, Chik?” tanya Gero— Papah Chiko yang sekarang berjalan mendekati anaknya.

Chiko menoleh ke arah Papahnya. “Kalau udah tahu aku baru pulang, kenapa masih nanya?”

Mendengar celetukan Chiko membuat Gero tersenyum tipis. Laki-laki paruh baya itu mengusap pundak anaknya lembut, menatap Chiko yang kini memejamkan matanya seraya menikmati sejuknya AC yang masuk ke dalam indera penciumannya.

“Kamu sudah tuntaskan keinginan Papah 'kan? Ingat Chik. Umur Papah nggak akan lama lagi, dan perusahaan akan menjadi milik kamu nanti kelak.”

“Aku tahu, Pah.” Potong Chiko menatap Gero datar. “Aku akan berusaha buat jadi murid teladan, seperti yang Papah mau. Aku harus bisa mengembangkan saham-saham kakek, salah satunya mengharumkan nama baik sekolahan Chiko, dengan prestasi yang Chiko miliki.”

Gero tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sepertinya Chiko sudah paham apa yang akan Gero katakan selanjutnya. “Bagus Chiko. Pertahankan prestasimu, jangan seperti Carlos yang hanya bisa menghambur-hamburkan uang dengan banyak wanita diluaran sana.”

Chiko hanya bisa menampilkan senyum tipisnya. Laki-laki itu beranjak dari duduknya. “Aku mau jemput Carlos. Kasihan dia nggak bawa uang karena semua fasilitasnya ditahan sama Mamah.”

Gero menahan tangan anaknya yang hendak pergi. “Tunggu, Chiko. Biarkan saja dia pulang jalan kaki. Lagian dia banyak perempuan yang bisa mengantarnya pulang, sebaiknya kamu kerjakan tugas-tugas Papah siang ini.”

Chiko menggeleng-gelengkan kepalanya. “Meskipun Chiko anak penurut, tapi Chiko masih punya hati, Pah. Aku nggak mau Carlos masuk ke dalam pengalamanku tahun lalu. Dimana Chiko dibully habis-habisan sama mereka sampai akhirnya Chiko trauma berat. Dan Chiko nggak mau hal itu terulang lagi.”

Gero terdiam membisu, perkataan Chiko memang benar. Dulu Chiko adalah anak yang cupu dan tidak punya apapun, waktu itu Gero sedang jatuh miskin, dan Chiko adalah korban bullying dari teman-temannya. hal itu juga membuatnya trauma dan Carlos semakin menjadi anak nakal hingga saat ini karena ulah Gero, Carlos tertekan setiap hari.

Chiko berjalan cepat meninggalkan ruangan Papahnya. Inilah yang Chiko tidak suka dari Papahnya, ia selalu memprioritaskan Chiko ketimbang adiknya. Karena itu Chiko masih mempertahankan kedisiplinannya agar Carlos bisa sadar akan kelakuannya selama ini.

Jadi tidak heran bukan? kalau Chiko menyetujui ajakan Chika agar dirinya bersaing soal pelajaran. Apalagi soal olimpiade yang pasti akan menjunjung tinggi nama baiknya.

_________________________________________

Ohh no!

Aku kehilangan haluan⚒️

Fight Smart [SELESAI]Where stories live. Discover now