EPILOG

478 36 5
                                    

Hari kelulusan pun tiba. Suka, duka, telah mereka lewati bersama di SMA tercintanya— SMA Wyata Dharma, dengan sejuta keindahan yang menjadi kenangan, mereka tuntaskan sampai keberhasilan datang menyerang.

Chiko berdiri di depan panggung, menatap seluruh teman-teman sekolahnya yang sebentar lagi akan Chiko tinggalkan. Tatapan Chiko tertuju kepada Chika yang kini menundukkan kepalanya sembari mengoreksi foto-foto jepretannya.

Pengumuman kelulusan serta siapa yang menjadi peringkat pertama dan seterusnya, sudah Pak Bonto ucapkan di depan panggung. Dan kini hanya kelas XII yang berkumpul di lapangan. Saling foto satu sama lain sebagai kenangan.

Tarjo merangkul pundak Cellin dan Chika secara bersamaan, diikuti oleh Anton di sebelahnya. “Nggak kerasa ya, kita udah lulus aja.”

Chika hanya tersenyum tipis. “Iya, nggak kerasa. Susah seneng kita lalui bersama. Dan yang paling mengesankannya lagi, dari SD sampai SMA, nggak ada kata pisah di antara kita berempat.”

“Ehhh apa-apaan berempat. Berlima lah, sama gue,” celetuk Cherryl yang baru saja datang bersama Zidan --- pacarnya yang paling dikenal akan prestasinya sebagai pria segudang kekuatan, karena dia adalah anggota karate.

Cellin menarik tangan Cherryl ke dalam pelukannya. Dan jadilah Teletubbies dadakan di tengah-tengah lapangan yang di kerumuni banyak orang. Semuanya menangis terharu, begitupun Chika yang meneteskan air matanya, karena sebentar lagi. Chika akan pergi jauh dari para sahabat-sahabatnya.

“Chik, kok lo nangis sih?” tanya Cellin melepaskan pelukannya.

Tatapan semuanya tertuju kepada Chika. Gadis itu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum tipis ke arah sahabat kecilnya. “Gue nggak papa, cuma terharu aja gitu. 'kan dari SD kita selalu bersama, tapi pas kuliah—.”

Chika memeluk tubuh Cellin erat. “Gue nggak mau kuliah di luar negeri huaaa! Gue nggak mau pisah sama kalian!”

Tarjo menepuk-nepuk pundak Chika. Ia sudah tahu jika Chika akan melanjutkan pendidikannya ke luar negeri sesuai permintaan Mamahnya. Tetapi apakah Chika yakin, akan meninggalkan kenangan indahnya di Indonesia bersama teman-temannya begitu saja?

Dari kejauhan Chiko memperhatikan Chika lebih dalam. Laki-laki itu mendekati Chika dan menarik tangannya agar gadis itu mengikutinya. Tarjo yang berada di sebelahnya pun tersentak.

“Ehh, Chika mau dibawa kemana? Woi!” teriak Tarjo saat punggung keduanya sudah menghilang di balik tembok kelasnya.

****

Chiko membawa Chika ke taman belakang sekolah. Tempat yang tidak banyak dikunjungi para siswa-siswi SMA Wyata Dharma. Sengaja ia membawa Chika ke tempat yang sepi, bukan ingin apa-apa. Namun Chiko ingin mengungkapkan perasaannya tanpa ada penghalang di antaranya.

Chiko mengeluarkan kertas kelulusannya kepada Chika. “Ini yang lo mau, gue udah turutin kemauan lo Chik, dapetin nilai 100% tanpa bantuan siapapun. Dan sekarang, gue mau nagih janji lo.”

Chika tersentak kaget mendengar tagihan dari Chiko. Memangnya ia punya hutang apa dengan laki-laki itu? Setahunya, Chika tidak pernah berhutang apapun kepada Chiko. Boro-boro membuat hutang, meminjam apapun saja tidak.

“Jangan aneh-aneh deh, gue nggak punya hutang apa-apa sama lo. Apalagi tentang janji-janji begituan,” elak Chika membuang wajahnya ke arah lain.

Chiko tersenyum kecut mendengar ucapan Chika yang tidak tahu apa-apa. Padahal dalam harapannya, Chiko akan mendapatkan apa yang ingin ia dapatkan sekarang. Tetapi setelah mendengar respon dari Chika. Moodnya tiba-tiba hilang begitu saja.

“Apa harus gue ulang kata-kata gue waktu itu? Apa harus gue bilang kalau gue suka sama lo berulang-ulang kali? Apa harus gue bilang, kalau gue udah punya rasa lebih sama lo? Apa lo ingat, tentang cinta gue yang 99,9% belum sempurna di mata lo?” tanya Chiko tertubi-tubi membuat Chika gelagapan menjawabnya.

Laki-laki itu meraih tangan Chika bersamaan dengan surat-surat pendidikannya. “Berapa kali harus gue buktiin sama lo Chik, gue suka dan bahkan cinta sama lo.”

Chika menghela nafas panjang. “Kita nggak bisa bersama Chiko. Minggu depan gue akan pergi ke Australia untuk melanjutkan pendidikan disana. Dan gue nggak mau kita LDR-an kayak orang-orang diluaran sana. Gue nggak bisa jaga hati yang jauh dari pandangan gue sendiri.”

Seketika itu juga, musnah sudah harapan Chiko untuk mendapatkan hati Chika yang kedua kalinya. Laki-laki itu tersenyum kecut, sambil menganggukkan kepalanya paham.

“Bukan lo aja yang lanjutin pendidikan ke luar negeri, Chik. Bahkan gue pun juga melanjutkan pendidikan gue di Amerika, dan lo pasti tau. Amerika adalah negara yang paling diminati semua orang.”

Chika mengernyitkan dahinya bingung. “Kenapa nggak di London, Carlos juga bakalan kuliah disana 'kan.”

Chiko menganggukkan kepalanya, membenarkan. “Emang bener, adek gue nanti kuliah di London. Tapi gue punya beasiswa, dan ini bukan sekedar beasiswa, gue mau cita-cita gue tercapai. Lo juga gitu 'kan? Tapi tentang rasa, gue nggak bisa bohong. Gue nggak bisa nahan, Chik. Gue mau lo jadi milik gue dari kini, nanti, dan selamanya.”

Chika meneguk salivanya gugup. “Tapi gue nggak bisa. Gue takut hubungan kita bakalan putus di tengah jalan. Gue nggak mau nanti ditinggal pas lagi sayang-sayangnya kayak—.”

“Syutttt!” Chiko menempelkan jari telunjuknya, tepat dibibir mungil Chika. “Nggak ada yang bisa rusak hubungan kita, kalau kita sama-sama yakin dan saling percaya. Gue nggak akan khiatin lo, walau hati kita di jauhkan oleh jarak.”

Chika menatap manik mata Chiko lebih dalam. “Kenapa lo seyakin ini Chik? Kenapa lo pengen milikin gue sedangkan kuliahan kita berjauhan, dan itu artinya, kita nggak akan bersama.”

“Kita bisa bersama Chika, asal kita yakin. Saling percaya satu sama lain, maka semuanya akan baik-baik saja. Lo percaya sama gue dan gue percaya sama lo, itu nggak akan buat hubungan kita rusak di tengah jalan. Apa harus gue ulang perkataan gue yang tadi? Gue mau milikin lo, Chika. Gue serius, nggak ada kata kebohongan. Tatap mata gue kalau lo belum bisa percaya.”

Manik mata keduanya saling beradu. Mereka saling menatap satu sama lain dengan deguman jantung yang kian memburu, deru nafas keduanya tersengal-sengal seperti orang yang sudah berlari mengelilingi lapangan beberapa kali.

Chika memutuskan pandangan matanya karena sudah tidak kuat melihat manik mata Chiko yang teramat dalam. Iya yakin sekarang, laki-laki yang berada di hadapannya kini ingin memilikinya sepenuhnya. Apa itu iya? Maka Chika akan mengiyakan isi hatinya hari ini.

“Kalau lo emang serius. Datang ke rumah gue, dan bawa keluarga lo buat nenangin hati gue. Sanggup?”

Chiko memandang Chika dengan lekat. Dengan tekad yang kuat, ia menganggukkan kepalanya yakin. “Oke, tunggu besok. Gue bawa keluarga gue di hadapan keluarga lo. Siap-siap aja, buat jadi istri Chiko Gatra Pamungkas.”

“...”

___________ T. M. A. T. ___________

ALHAMDULILLAH!!!

UDAH TAMAT🙀

TUNGGU EXTRA PART NYA NGGAK?

TUNGGU YA--:-)

Fight Smart [SELESAI]Место, где живут истории. Откройте их для себя