Part 25

34.2K 2.1K 230
                                    

Binar meregangkan otot-otot lehernya yang sedikit pegal. Kemudian memandang kearah jam dinding yang menunjukkan bahwa hari sudah malam. Merasa sedikit lapar, Binar bermaksud mencari makan di bawah. Namun, langkahnya terhenti ketika baru saja ingin menuruni tangga.

Pandangannya menyapu kearah ruang tamu. Menangkap sekelompok orang di sana. Selain orangtuanya, Binar juga menemukan Nanda yang duduk sambil menundukkan kepala. Selain itu perhatiannya juga teralihkan dengan kehadiran dua orang yang dikenalnya sebagai orangtua Ajeng. Binar sedikit bingung ketika melihat Surya berlutut di depan bundanya, sedangkan istri dari pria tersebut terisak-terisak di sofa.

Tanpa sadar Binar melangkahkan kakinya pelan menuruni satu persatu anak tangga. Kehadirannya langsung menyita seluruh pandangan di sana. Binar sedikit syok ketika Surya langsung berlutut di depannya saat langkahnya mencapai lantai dasar.

"Maafkan saya, Binar." Surya melirih di depannya. Binar sedikit gelagapan, merasa tidak enak terhadap pria tersebut.

"Tolong bangun, Om." Katanya pelan sambil memegang bahu pria tersebut. Namun Surya sama sekali tidak bergeming. Mulutnya masih saja meminta maaf.

"Maafin saya karena telah jahat kepada kalian, Binar." Binar memilin jari-jarinya. Merasa pelik dengan sikap pria didepannya.

"Maafkan saya karena tidak bisa menjadi ayah yang baik untuk kamu." Sambung Surya menyesal.

Mendengar penuturan Surya, Binar merasakan detakan kuat di jantungnya. Ulu hatinya mendadak perih ketika menangkap maksud dari pria itu. Dengan cepat matanya bergerak kearah sang bunda.

"Bunda?" Lirihnya menuntut penjelasan. Namun Binar tidak mendapat jawaban apapun. Hanya isakan bundanya yang terdengar lirih di sana.

"Maafin ayah, Binar. Maafkan ayah karena tidak bertanggung jawab terhadap kamu. Ayah sungguh menyesal."

Binar merasakan sesak memenuhi dadanya. Otaknya tidak bisa berpikir apa-apa. Keterkejutan, amarah, dan rasa kecewa bergantian menerjang dirinya. Namun matanya tidak memancarkan apapun, tatapannya lurus menghujam kearah ayah kandungnya tersebut.

"Bangun, Om." Ucapnya datar.

***

Binar sebenarnya hanya ingin berada di kamar sepanjang hari seandainya Mirna tidak memaksanya ikut sarapan bersama. Kejadian semalam masih membekas betul di kepalanya. Bagaimana sosok yang dia kenal sebagai orang tua Ajeng yang tiba-tiba saja mengaku sebagai ayahnya, bagaimana dengan acuhnya dia melewati kumpulan orang-orang yang duduk tegang diruang tamu, berjalan kearah dapur lalu mengambil beberapa makanan ringan untuk mengisi perutnya. Ia bahkan pura-pura tuli ketika ayah memanggilnya untuk bergabung dalam diskusi. Binar tetap tak menghentikan langkahnya dan langsung kembali menuju kamar. Mengabaikan bahwa pembahasan tersebut adalah sepenuhnya tentang nasib hidupnya kedepan. Binar merasa wajar saja melakukan hal kekanak-kanakan seperti tadi malam, dirinya sedang tidak baik-baik saja. Namun sekarang dia menjadi bingung untuk bersikap seperti apa.

Keadaan canggung di meja makan semakin menambah penyesalannya karena telah turun kebawah. Dentingan sendok tidak mampu menyelamatkan suasana senyap itu. Hingga akhirnya sang kepala keluarga berdehem di akhir suapannya.

"Kami telah membuat banyak keputusan tadi malam," Suara ayah terjeda. Sementara Binar masih setia menyantap nasi goreng di piringnya.

"Untuk terakhir kali ayah ingin tanya," Pria itu berhenti sejenak. "Kamu setuju kan menikah dengan Nanda?"

Binar hanya mengangguk saja, toh tidak ada pilihan lain pikirnya.

"Pernikahan akan dilakukan minggu depan."

Binar kembali mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia berusaha tak peduli lagi. Memilih pasrah saja pada apapun yang terjadi. Namun jika bisa merubah takdir, tentu ada banyak hal yang ingin dia perbaiki.

Maka sepanjang penjelasan tentang persiapan pernikahan yang dijelaskan ayahnya, Binar hanya mengangguk saja atau melempar pertanyaan di bagian yang dia kurang pahami tanpa minat. Sementara matanya sesekali sempat melirik kearah bunda yang hanya diam saja. Ada sedikit rasa tak nyaman yang mengganjal hatinya ketika menghadapi keadaan seperti ini. Maka oleh karena itu setelah ayah dan Mirna pergi, Binar segera mendekati bundanya yang sedang mencuci piring bekas sarapan mereka tadi.

Beberapa saat berlalu, namun tidak ada seorang pun yang memberikan interaksi yang berarti. Binar hanya menatap bundanya yang masih sibuk membilas piring-piring kotor itu. Merasa diabaikan, Binar memeluk wanita yang disayanginya itu dengan erat.

"Bunda...." Rengeknya pelan. Sedewasa apapun dia tetap saja di hadapan bundanya dia akan tetap sama seperti Binar kecil yang selalu manja dan haus perhatian.

Binar semakin mengeratkan pelukannya ketika rengekannya hanya terbalas dengan getaran yang terasa di punggung bunda. Dia tahu kalau bundanya tersebut sedang menahan tangisnya. Karena seberapa lemah pun wanita, mereka tetap harus terlihat kuat didepan anak-anaknya. Mungkin itu yang dirasakan bunda, jadi Binar hanya membiarkannya. Tetap setia memeluk punggung tersebut dengan erat.

"Binar gak marah kok sama bunda. Binar cuma sedikit kecewa aja karena bunda tidak pernah kasih tau sedari dulu. Kan Bi tidak akan seterkejut ini ketika tau kenyataannya. Bi jadi bingung dan gak tau harus bersikap seperti apa." Binar mengatur napasnya sejenak. " Tapi mau tau dari dulu atau sekarang, nggak akan ada yang berubah kok. Binar baik-baik aja. Binar masih sama sayangnya ke kalian seperti dulu juga. Bi benaran baik-baik aja kok. Bunda juga harus kek Binar. Gak boleh sedih."

"Bunda cuma takut kamu terluka, kak. Bunda sedih ngeliat kamu terus-terusan berada di situasi seperti ini. Bunda kecewa sana diri Bunda sendiri. Bunda merasa tidak bisa membahagiakan kamu." Bunda berujar di sela-sela tangisnya.

"Bunda ga perlu berpikiran seperti itu. Bunda itu tempat pulang buat kami semua. Binar, ayah, Mirna, kami semua merasa jadi orang paling beruntung karena punya bunda. Bunda ga usah berpikir gitu lagi,ya." Bunda hanya menganggukkan kepalanya mendengar penuturan Binar.

"Bunda....pegel nih meluk punggung terus. Mana gede banget lagi. Bunda harus diet nih." Binar mencolek-colek lemak di perut bundanya.

"Ih kamu ya!" Bunda mengelak kegelian. Sementara Binar terus menggelitiki wanita itu.

"Gini dong, bunda. Banyakin ketawanya biar awet muda." Celutuk Binar sambil terus memperhatikan bundanya yang terbahak-bahak. Wanita itu mencubit pipi anaknya dengan keras.

"Iseng kamu ya." Ujarnya sambil terus menarik pipi Binar.

"Aduh, bunda. Ampun deh!" Jerit Binar. Bunda semakin mengeraskan tawanya melihat ekspresi Binar yang lucu.

"Bun, mulai sekarang aku akan berusaha lebih fokus lagi menjaga dedek diperutku ini. Bunda doain aku kuat ya. Doain juga supaya nanti dia jadi anak yang lebih baik dari Binar." Binar tersenyum sambil mengelus perutnya.

"Aku merasa beruntung banget karena punya bunda. Semoga aja aku bisa jadi ibu seperti bunda." Lanjutnya lagi.

"Iya aamiin..... mama kecil." Gurau bunda. Muka Binar langsung merah menahan malu diledekin bundanya. Dia segera saja menenggelamkan mukanya di dada bundanya tersebut sambil merengek manja.

Setelah banyak mendrama, akhirnya diiiiii next bab bakalan nikah juga

Ngasih koment jangan
Ngasih duit boleh
Wkwkkwk

Selamat membaca. Mohon maaf atas update-an yang....ya begitulah. Hehehe

Broken Touch (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang