Part 9

36.3K 2.2K 13
                                    

🌃 Selasa, 18 April 2017

Binar membuka mata perlahan, tangannya menekan kepala yang terasa pening. Dia menghela napas berat ketika menyadari bahwa dirinya masih terendam dalam bathtub. Binar memejamkan matanya sejenak sebelum tiba-tiba perutnya terasa mual, seperti ada cairan yang berontak naik menuju kerongkongan. Dengan tergesa dia memburu toilet dan memuntahkan semua isi perutnya. Hanya ada air karena dia tidak sempat makan tadi malam.

Binar merasa ingin pingsan ketika mual itu terus melandanya padahal seluruh isi perutnya sudah dikeluarkan. Tubuhnya terasa lemah hingga akhirnya terjatuh kelantai kamar mandi. Ketika mualnya sedikit menghilang, perlahan Binar bangkit dan melepas bajunya yang basah lalu membaluti tubuhnya dengan handuk.

Binar beranjak keluar menuju lemarinya. Dia berhenti sebentar menghadap kearah cermin, pantulan sosok serupa mayat hidup membuatnya memejamkan mata. Jarinya perlahan menyentuh pipinya yang terasa dingin dan memucat.
"Sampai kapan mau menyakiti diri sendiri, Bi?" Dia menatap tajam kearah cermin dimana pantulan tubuhnya seakan menyeringai menertawai dirinya yang kacau.

Setelah memakai bajunya, Binar berjalan perlahan menuju kearah nakas. Matanya menyorot kearah jam wekernya. Sudah jam 07.00. Dia tidak sekolah hari ini jadi wajar jika bunda tidak meneriakinya karena bangun kesiangan. Proses pembelajaran Binar disekolah memang tidak ada lagi. Binar tidak percaya dia bisa lulus walaupun dia mengakhiri akhir kelas 12 dengan setengah hati. Walaupun nilai akhirnya pas-pasan yang penting dia bisa lulus saja sudah sangat disyukuri.

Binar turun kebawah. Ia bergegas menuju meja makan. Hanya ada bundanya disana. Mirna dan ayah tentu saja sudah berangkat sekolah dan bekerja. Binar menghampiri bundanya yang sedang membereskan rak televisi.

"Bunda!" Binar memanggil bundanya lemah, sambil mendekap wanita berusia 40 tahun itu erat.

"Kenapa Kak?" Irna mengernyit heran ketika menyadari perubahan pada Binar yang biasanya selalu tampil ceria dan kekanakan kini menjadi begitu murung dan suram.

"Sayang kamu panas, Nak. Kamu demam, Bi?" Wanita itu menjadi panik ketika menyentuh dahi panas putrinya itu. Binar menangkap rasa khawatir yang kentara di sana. Bagaimana mungkin Binar bisa membuat sosok itu kecewa dan bersedih.

"Aku ga papa, Bun. Cuma demam dikit doang. Bentar lagi juga sembuh kok." Binar kembali memeluk bundanya semakin erat lalu melepaskan pelukannya.

"Bun, Binar sepedaan dulu ya. Udah lama gak olahraga." Binar menegakkan tubuhnya.

"Tapi kamu lagi sakit, Kak" Irna merasa keberatan.

"Alah Bunda, kayak gak tau Bi aja. Paling bentar lagi juga sembuh kok kalo demamnya diajak jalan-jalan. Oke bunda Binar tercinta, tersayang dan ter ter ter lainnya. Binar yang cantik jelita ini mau olah raga dulu ya. Biar tambah seksi. Dadahh!" Binar mencium pipi bundanya sebelum melompat keluar rumah.

Irna hanya menggeleng kepala melihat tingkah anak pertamanya yang over agresif itu. Tapi perasaannya merasa tak enak membiarkan Binar keluar. Raut muram yang Binar keluarkan tadi selalu mengganggu pikirannya. Binar tanpa keceriaan memang terlihat seperti kesalahan. Anak itu memang selalu tampil ceria dimana pun. Seperti namanya Binar, dia memang berbinar-binar menguarkan aura positif dan kebahagiaan kesekitarnya. Entah itu memang sifat aslinya atau hanya sebuah tipudaya agar semua orang selalu berfikir kalau dirinya baik-baik saja.

Kembali ke Binar, dia sekarang sedang mengayuh sepedanya keluar dari pekarangan rumah. Udara pagi membuat tubuhnya yang kedinginan semakin menggigil. Binar merapatkan jaketnya hingga menutup sebagian rambutnya. Mengayuh kembali sepedanya dengan pelan.

Broken Touch (Tamat)Where stories live. Discover now