Part 21

31.6K 1.9K 12
                                    

"Hiks, hiks..."

Bunda?

Samar-samar dapat kudengar suara tangisannya yang terasa dekat denganku. Aku berusaha membuka mataku yang terasa berat. Mengerjap beberapa kali, akhirnya aku dapat menyesuaikan penglihatan dengan cahaya lampu yang terasa lebih silau dari biasanya.

Kutemukan Bunda menunduk dalam disamping tempat tidurku. Kedua tangannya menggenggam tanganku erat. Suara isakan sesekali meluncur dari bibirnya. "Bunda..." panggilku lirih. Bunda langsung mendongak kearahku. Tangannya segera menghapus bulir bening yang sedari tadi keluar dari matanya.

"Kamu sudah bangun, kak?" Aku hanya mengangguk mendengar pertanyaan dari bunda.

"Bunda akan memanggil dokter dulu." Ujar bunda sebelum melangkah keluar.

Setelah bunda meninggalkan ruangan. Aku hanya menatap langit-langit kamar. Aku takut. Bingung bagaimana harus menghadapi bunda dan ayah. Penjelasan bagaimana yang harus aku berikan. Berbagai pikiran  berkecamuk dalam kepalaku. Bunda, ayah, bang Nanda, mbak Ajeng, dan kehamilanku.

Aku mengelus perutku. Apakah dia masih ada disana? Aku tidak tahu bagaimana keadaannya. Ingatan terakhirku adalah ketika aku dilarikan kerumah sakit. Selanjutnya aku tidak tahu apa-apa. Termasuk juga bagaimana keadaan anakku.

"Bagaimana keadaan kamu, Binar?"

Aku menoleh kearah sumber suara. Seorang dokter berjalan mendekat kearahku bersama bunda.

"Saya merasa baik-baik saja selain kepala saya yang masih sedikit pening, dok." Keluhku.

"Itu memang wajar terjadi karena kamu kehilangan banyak darah. Tapi itu tidak akan lama. Akan segera menghilang dengan sendirinya jika beristirahat dengan baik..."

Ucapan dokter paruh baya itu mulai terdengar samar-samar di telingaku. Semakin sulit kutangkap maksud dari perkataannya. Yang terpikirkan dalam kepalaku sekarang adalah bagaimana keadaaan anakku. Apakah maksud dari aku yang kehilangan banyak darah itu juga berarti aku telah kehilangan anakku. Jika saja itu benar, mungkin ini memang jalan terbaik dari Tuhan. Dengan hilangnya janin di perutku berarti semua masalah akan segera terselesaikan. Tapi aku juga belum siap untuk benar-benar kehilangan janin ini.

Pandanganku mulai kabur oleh genangan air mata. Memikirkan anakku telah mati membuat hatiku terasa remuk. Aku memang ingin masalah ini segera terselesaikan, tapi aku juga tetap ingin mempertahankan anakku. Aku ingin dia hidup.

"Kak...."

"Binar...."

Samar-samar dapat kudengar suara-suara memanggilku. Namun fokusku terlalu  buruk hanya untuk menanggapi panggilan itu. Aku baru tersadar ketika bunda mendekapku erat. "Anakku?" Tanyaku lirih. Namun tidak ada jawaban dari bunda. Bunda hanya memelukku semakin erat. Hatiku benar-benar hancur.

"Dia baik-baik saja." Ucap bunda lirih. Aku mendongak kearah bunda. Dia? Anakku? Maksud bunda janinku baik-baik saja. Dia masih ada?

"Alhamdulillah bayinya masih bisa diselamatkan. Untungnya hanya  terjadi benturan ringan pada janin,"

Aku seperti menemukan hidupku kembali ketika mendengar penjelasan dokter itu. Terimakasih Tuhan. Terimakasih sayang, karena tidak meninggalkan ibu sendirian.

"Kalau begitu saya permisi dulu." Aku hanya mengangguk ketika dokter itu meminta izin keluar.

Kini hanya tinggal aku dan bunda dalam ruangan ini. Aku menatap lekat kearah bunda. Memandang wajahnya takut-takut. Bunda kelihatan sayu dan lelah.

"Bi..." Panggil bunda pelan. Aku menundukkan pandanganku. Tak sanggup menerima tatapan terluka dan kecewa dari bunda. Aku belum siap berada di momen seperti ini. Sama sekali tidak tahu harus menjelaskan apa pada bunda.

"Ma..maaf." Dengan terbata berusaha kuucapkan kata maaf pada bunda.

"Maafin Binar. Binar minta maaf...." Berkali-kali aku memohon ketika bunda sama sekali tidak merespon permintaan maafku. Dia hanya menatap kosong dengan sorot penuh luka. Aku tidak suka bunda bersikap seperti ini. Aku lebih suka kalau bunda mengomeliku dengan omelan-omelannya. Sikap bunda yang seperti ini membuatku sakit. Tapi, aku tahu bunda pasti merasakan luka yang lebih dalam. Aku mengecewakannya. Aku menenggelamkan kepalaku dalam pelukannya.

"Maafin Binar, bunda." Isakku.

"Ini bukan salah kamu, sayang. Ini salah bunda karena tidak bisa menjaga kamu dengan baik." Akhirnya bunda membuka suara. Aku menggeleng, menyanggah perkataan bunda. Bunda sama sekali tidak bersalah. Kini bunda ikut terisak bersamaku.

"Binar pasti membuat bunda kecewa kan?" Tanyaku.

"Iya bunda kecewa. Bunda kecewa karena kamu menutupi semua ini, kak. Seharusnya kamu tidak  menyimpan masalah ini selama ini, Bi. Harusnya kamu kasih tahu bunda. Bunda merasa tidak bisa menjadi ibu yang baik, Bi. Bunda merasa gagal menjadi orang tua. Bagaimana bisa bunda tidak tahu kamu sedang tidak baik-baik saja. Harusnya bunda bisa lebih peka." Bunda tersedu-sedu menjelaskan. " Dengan begitu, kamu tidak akan sakit sendirian, Bi."

"Bunda. Maafin Binar..."

"Sudahlah, Nak. Bunda sudah tahu semuanya. Ini bukan salah kamu. Bunda tahu kamu anak baik. Mungkin ini semua memang sudah rencana dari Tuhan. Jangan terlalu dipikirkan. Istirahatlah." Bunda menidurkan kepalaku di bantal. Lalu mengelusnya lembut. Aku memejamkan mataku. Berusaha untuk segera terlelap. Untuk sekarang aku hanya ingin terperangkap dalam mimpi. Melarikan diri sebentar dari sorot sedih mata bunda. Aku juga ingin melepaskan diri dari bayangan apa yang akan terjadi besok. Mungkin semua tak akan berjalan seperti yang aku inginkan.

Hohohohohoho
Long time no see you guys😃

Salam
Tuanmochi

Broken Touch (Tamat)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora