Part 11

38.9K 2.6K 88
                                    

🌃 Jumat, 28 April 2017

Matanya menatap tajam kearah benda yang sekarang berada di tangannya. Memastikan bahwa dia salah melihat garis yang berada di sana. Tapi mau dilihat berapa kali pun tetap saja dua garis itu terlihat jelas berada di sana. Kepanikan langsung menyerangnya. Kedua tangannya gemetaran. Dadanya terasa menyempit hingga oksigen susah payah masuk mengisi rongga di dalam sana. Binar mencoba menenangkan diri. Tapi bagaimana bisa dia tenang setelah tahu bahwa dirinya hamil.

Binar menahan isakannya. Menggigit lengannya kuat agar suaranya teredam. Dirinya berusaha menahan diri agar tidak sampai memaki Tuhan atas apa yang terjadi pada dirinya. Semakin hari hidup yang dilaluinya semakin berat saja. Kalau begini bisa-bisa perempuan itu mengambil tindakan untuk menghilangkan nyawanya sendiri. Masa depannya semakin suram. Jangankan untuk mengingat masa depan, mengingat hari esok saja dia tidak mampu.

Dia takut kalau perutnya akan membesar. Memang butuh waktu hingga perut itu terlihat tapi tetap saja orang-orang akan tahu seiring waktu berjalan. Dia takut hal itu terjadi. Dia takut bunda dan ayahnya tahu. Dia takut mereka akan salah paham dan kecewa pada dirinya. Pikiran buruk mulai muncul satu persatu mengisi kepalanya. Jika perutnya membesar dan orang-orang tahu pasti itu akan membuat orang tuanya malu. Dan jika Binar menjelaskan alasan kehamilannya dia pasti akan kembali lagi pada hal yang ditakutinya. Dia akan dicap sebagai korban pemerkosaan selama hidupnya.

Dulu ketika Binar menonton atau membaca suatu cerita dimana korban pemerkosaan tidak mengadukan ke polisi terhadap apa yang dialaminya. Binar selalu beranggapan betapa bodoh dan naifnya mereka karena diam saja ketika teraniaya. Namun kini akhirnya dia mengerti apa yang mereka rasakan. Perasaan was-was akan betapa ngerinya stigma negatif dari masyarakat dan victim blaming membuat Binar harus berpikir dua kali untuk bertindak gegabah. Dia tak ingin mendapat pandangan berbeda dari orang lain. Dia tak ingin mendapati tatapan-tapan kasihan dari mereka seolah dirinya adalah makhluk yang menyedihkan. Walau sebenarnya Binar sendiri tidak bisa menampik bahwa hidupnya memang menyedihkan.

Semua pikiran buruk itu menyerang kepalanya bertubi-tubi hingga perempuan itu tidak mampu memikirkan hal lain selain menghilangkan semua masalah yang menimpanya. Satu-satunya cara agar semua kembali seperti semula adalah dengan menghilangkan janin di perutnya. Jika janin itu menghilang maka Binar tidak akan perlu khawatir akan ada orang yang tahu apa yang telah terjadi padanya. Binar bisa menutup semuanya hingga mati.

Ingin menenangkan diri. Binar mengganti bajunya lalu keluar menuju taman. Dia memilih berjalan kaki ke sana. Perempuan itu ingin punya waktu lebih banyak untuk memikirkan keputusan yang akan diambilnya. Saat ini dia bimbang antara memperjuangkan kehidupan anak dalam perutnya atau kehidupannya sendiri.

Sesampainya di taman hal yang pertama dilakukan Binar adalah membeli sekantong plastik rujak lalu duduk di sebuah bangku kosong. Matanya terpaku pada sekelompok mahasiswa yang sedang duduk santai di bawah pohon. Almamater kampus terpasang gagah ditubuh mereka. Sesekali mereka menampilkan ekspresi serius namun tak jarang juga terkikik geli sampai terbahak-bahak. Mungkin mereka sedang mendiskusikan sesuatu.

Jujur, Binar juga ingin seperti mereka. Belajar di kampus impian, mendapat banyak teman, tugas yang bertumpuk-tumpuk dari dosen, dan segala kesibukan lainnya. Binar ingin merasakannya juga. Binar menggigit bibirnya, berusaha menahan isakan yang akan keluar. Malu jika harus menangis di taman yang sedang ramai ini.

Matanya beralih pada sebuah sudut taman, sepasang suami istri tampak begitu bahagia bermain dengan putri mereka yang masih kecil. Bocah itu berkali-kali menggoyangkan tubuhnya diiringi lagu anak-anak. Kedua kuncirannya terlihat bergerak lucu. Binar tertawa kecil melihatnya. Tanpa sadar perempuan itu mengelus perut datarnya.

Broken Touch (Tamat)Where stories live. Discover now