Part 40

28.4K 1.8K 162
                                    

Ini sudah satu jam lebih sejak Nanda pertama kali menjatuhkan diri terduduk di kursi panjang itu. Itu artinya sudah satu jam lebih pula Binar dimasukkan ke ruang operasi. Kedua tangannya saling bertautan. Menimbulkan getaran ganda yang perlahan merambat ke seluruh tubuhnya. Dokter mengatakan bahwa Binar mengalami solusio plasenta di mana plasenta terlepas dari dinding rahimnya. Itu artinya sang janin tidak akan mendapat nutrisi apapun dari ibunya termasuk oksigen.

Nanda putus asa. Anak dan istrinya sedang kesulitan bernapas di dalam sana. Kepalanya semakin menunduk ketika mengingat bahwa peluang hidup istri dan anaknya itu bahkan tak sampai 50 persen dan mereka sedang berusaha memperjuangkan kemungkinan itu. Nanda sendiri sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menunggu sambil terus merutuki dirinya. Dia benar-benar menyesal dengan apa yang dilakukannya. Tapi sayang, rasa penyesalan itu sama sekali tidak akan mampu menolong Binar dan anak yang dikandungnya bahkan walau Nanda telah menumpahkan seluruh air matanya.

Tepukan pelan di bahunya yang bergetar membuat Nanda sedikit menaikkan kepalanya. Nanda mengusap air mata dengan punggung tangan ketika melihat seorang pria tua duduk di sampingnya. "Kamu tidak apa-apa, Nak?" Tanya pria beruban itu pada Nanda. Nanda hanya mampu menggeleng lemah.

"Saya takut istri dan anak saya tidak bisa bertahan."

"Banyak-banyaklah berdoa."

Perkataan laki-laki di sampingnya itu membuat Nanda tercekat. Dari semua yang ada di kepalanya dia benar-benar melupakan Tuhan. Nanda lupa bahwa dari segala hal yang tidak dapat dilakukannya untuk menyelamatkan anak dan istrinya itu dia masih bisa berdoa meminta pada Tuhan. Nanda tertampar. Dari sekian lama telah hidup seolah-olah dia bukan orang beragama kini anda benar-benar merasakan bahwa dia sangat ingin bersimpuh pada sang penciptanya itu. Dengan malu-malu pria itu bertanya. "Apa kalau sholat isya jam segini masih bisa?"

"Anak belum sholat isya?" Pria tua itu melihat jam di tangannya.

"Iya, Pak." Nanda mengangguk. Nanda merasa malu. Dia bukan hanya belum sholat isya saja tapi juga meninggalkan magrib, ashar, dhuhur dan subuh.

Pria di sampingnya tersenyum. "Sholatlah. Ini masih waktu isya. Semoga setelah sholat hati anak akan lebih tenang." Pria itu kembali menepuk punggung Nanda. Tepukannya terhenti saat seorang wanita berhijab menghampiri mereka.

"Jenazah ummi sudah siap untuk di bawa pulang, Bi." Ucap wanita itu. Nanda melirik sedikit kearah si bapak tua yang kini bangkit dari tempat duduknya.

"Semoga anak dan istri kamu baik-baik saja, Nak. Jangan lupa sholat isya." Ucap pria itu lalu tersenyum sebelum melangkah pelan dengan tongkatnya meninggalkan Nanda yang masih tergugu. Kalau dia kehilangan Binar dan anaknya apakah dia akan bisa setegar pria tua tadi? Tapi sepertinya Nanda sama sekali tidak bisa. Setelah apa yang dilakukannya, Nanda akan butuh waktu hingga mati untuk bisa ikhlas jika Binar dan anaknya tidak bisa bertahan hidup. Dia benar-benar ingin lari kemushola sekarang ini namun dia ragu untuk meninggalkan Binar. Takut kalau dokter akan keluar dari ruangan itu setelah dia beranjak. Nanda mengurungkan niatnya. Dia akan sholat setelah orangtua Binar datang.

Nanda tidak perlu menunggu lama karena beberapa menit kemudian Irna terlihat berjalan terburu menghampirinya. Suwardi menyusul di belakang. Nanda berdiri dengan kepala ditundukkan. Bingung harus menjelaskan apa pada kedua orang yang terlihat sangat panik itu.

"Binar mana?" Tanya Irna begitu sampai di depan Nanda.

"Di ruang operasi."

"Bagaimana kondisinya?" Tanya mertuanya lagi. Kali ini Nanda hanya mampu menggeleng pasrah.

"Dokter bilang apa?" Irna kembali memburu Nanda dengan pertanyaan.

"Binar kehilangan banyak darah. Plasentanya pecah dan menyebabkan janin dalam rahimnya terancam. Dokter bilang harus segera mengeluarkan bayinya untuk mencegah kemungkinan terburuk,"

Broken Touch (Tamat)Where stories live. Discover now