Part 20

37K 2K 35
                                    

Aku kembali melihat jam tanganku. Namun sosok yang telah kami nanti dari tadi belum juga menunjukkan wajahnya. Ini sudah 30 menit berlalu dari waktu yang ditentukan. Namun bang Akmal belum juga menampakkan batang hidungnya. Padahal dia sudah berjanji akan menjemput kami malam ini supaya bersamaan ke acaranya mbak Ajeng.

"Ihhh, telepon lagi kak. Udah jam berapa ini. Nanti kita terlambat." Mirna terus mendesak. Aku mulai kesal dengan rengekannya. Kupencet lagi kontak bang Akmal, namun dia tak juga mengangkatnya.

"Kita naik motor aja kak, ya?" Mirna menawarkan solusi. Aku mendengus pelan.

"Kamu ga liat kakak pake gaun gini. Susah bawa motornya." Aku merenggangkan kedua tanganku. Menunjukkan pakaian apa yang sedang kupakai sekarang. Yang benar saja Mirna menyuruhku membawa motor. Jelas gaun lebar ini akan terbang kemana-mana diterpa angin malam. Aku memang sengaja memilih gaun yang sedikit kembang dan lebar. Takut merasa tidak nyaman jika memakai gaun yang pas. Aku khawatir jika perutku akan terlihat, walaupun sebenarnya ukurannya masih cukup normal dan tidak mencurigakan. Namun aku tetap merasa was-was.

"Biar Mirna aja yang boncengin kakak." Usul Mirna namun aku langsung mendelik kearahnya.

"Ga boleh. Kamu belum punya SIM. Lagian kamu juga belum jago-jago banget bawa motor. Kakak gak mau motor kesayangan kakak lecet kalau kamu tiba-tiba jatuh atau nabrak." Mirna hanya mencebik mendengar kata-kataku.

"Atau kita suruh antar sama bang Rey aja. Kan biar..." Saran Mirna langsung kupotong. Aku tidak ingin merepotkan bang Rey.

"Kasihan, mungkin bang Rey masih capek." Aku memberi pengertian ke Mirna.

"Kalau bang Akmal gak muncul kita gak usah pergi aja ya!!!" Seru Mirna dengan nada kesal. Namun matanya berbinar ceria kearahku. Seakan-akan berharap kalau bang Akmal memang tidak akan muncul malam ini. Aku berdecak kesal. Memang sedari tadi Mirna telah menolak untuk ikut. Katanya masih ingin melepas rindu dengan bang Rey. Namun aku tetap memaksakannya untuk ikut supaya ada yang menemaniku. Aku khawatir nanti akan merasa canggung disana. Dengan keadaan sekarang jelas sekali mengharapkan bang Nanda dan mbak Ajeng untuk teman mengobrol seperti dulu bukan pilihan yang tepat. Sedangkan bang Akmal, ckck.....lebih baik tidak berharap padanya. Dia pasti akan sibuk berburu cewek-cewek cantik kalau ada kumpul-kumpul begini.

Kalau saja Mak lampir itu tidak berada di rumahku. Mungkin sekarang aku sudah dapat meringkuk nyaman dalam selimutku sambil mendengarkan lagu-lagu milik Punch, penyanyi K.Pop favoritku. Namun selama Dian berada di sana maka aku tetap akan merasa bagai di neraka walaupun di rumahku sendiri. Aku yakin dia tidak akan berusaha menahan mulutnya untuk tidak melempar hinaan pada kami.

Semoga saja selama tinggal disini Dian tidak akan dapat mengendus kehamilanku. Semua akan kacau kalau dia mengetahuinya. Uhhh, sabar Bi. Cuma 4 hari aja kok. Setelah itu dia bakalan pergi dari rumah. Aku mengelus perutku pelan. Tiba-tiba kembali teringat dengan permintaan bang Nanda. Aku telah memikirkannya berkali-kali, namun tetap tidak bisa menemukan titik terang.

Aku mengalihkan tatapanku kearah rumah Tante Alma. Rumah itu tak terlihat seperti biasanya. Sepi. Bahkan lampu depan pun tak dibiarkan menyala. Ah, mungkin tidak ada orang di rumah. Aku baru saja ingin menoleh kearah lain ketika mataku tak sengaja menangkap cahaya dari salah satu ruangan rumah itu yang kutahu betul siapa pemiliknya. Kamar bang Nanda.

Aku hampir saja berteriak ketika mataku tak sengaja menangkap sosok siluet yang sedang berada di balkon rumah Tante Alma. Aku memicingkan mataku, berusaha mengenali pemilik siluet itu. Takutnya jika ada maling yang membobol rumah Tante Alma. Namun aku langsung mengendalikan diriku ketika samar-samar dapat kukenali kalau sosok itu adalah bang Nanda. Aku memicingkan mataku. Kemudian segera membuang tatapan kearah lain. Jantungku berdegup kencang. Bang Nanda terlihat menatap tajam kearahku. Ah, sudahlah mungkin perasaanku saja. Eh, tapi kenapa dia belum ketempat Mbak Ajeng ya?

Broken Touch (Tamat)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora