Part 23

32.3K 2.2K 115
                                    

Setelah tiga hari terbaring di rumah sakit akhirnya Binar dapat kembali merasakan kasurnya yang empuk. Tubuhnya terasa begitu lelah walaupun kegiatan yang dilakukan lebih banyak tiduran saja. Mungkin tubuh dan pikirannya butuh istirahat yang lebih panjang.

Binar baru membuka matanya ketika bunda masuk sambil membawa semangkuk bubur ayam.

"Makan dulu, kak." Ucap bunda lembut sambil membantu binar bersandar di kepala ranjang. Wanita itu menyuapi putrinya dengan pelan. Namun baru beberapa suap bubur itu masuk ke perutnya, Binar langsung tertatih menuju kamar mandi.

Gejolak mual tidak dapat ditahan lagi. Sementara itu bunda mengikuti dari belakang. Menggosok punggung Binar yang terus memuntahkan isi perutnya.

"Makan buah aja, kak ya," Bunda menyodorkan sepotong apel kearah Binar. "Sayang dedeknya kalau perut kamu kosong." Bunda berusaha membujuk putrinya itu. Namun Binar hanya menggeleng lemah. Rasanya perutnya sudah tidak dapat menerima apapun lagi.

Bunda akhirnya menyerah, meletakkan semua makanan di meja. Lalu matanya menyoroti Binar dengan sungguh-sungguh. Merasa diperhatikan, Binar menatap bundanya dengan bingung.

"Kenapa, Bund?"

"Ada yang mau bunda bicarakan, kak." Jawab bunda. Matanya menatap ragu kearah Binar. "Tapi kalau kamu mau istirahat dulu, kita bicara nanti saja." Sambungnya lagi.

"Sekarang aja, Bund." Yakin Binar. Dia sudah dapat menerka apa yang akan dibicarakan bundanya. Walaupun belum siap namun Binar juga sudah lelah terus lari dari masalah. Dan mulai sekarang Binar berniat untuk segera menyelesaikannya.

"Nanda...," Bunda menghela napasnya ketika dia melihat perubahan pada mimik muka Binar saat menyebut nama anak tetangganya tersebut.

" Dia ingin menikahi kamu, kak."

"Binar gak mau, bund." Putus Binar cepat.

"Bukannya bunda memaksa, tapi apa kamu gak mau pikir-pikir dulu, kak?"

"Apa bunda pikir Bi akan sanggup hidup dengan orang yang udah hancurin hidup Bi?" Keluh Binar miris.

Dia menggerakkan tubuhnya. Dengan langkah pelan menuju jendela. Memindai keadaan diluar sana. Matahari pagi mulai menyengat, menghangatkan dadanya. Sebelum kemudian matanya menatap rumah di seberang sana.

"Aku gak bisa, Bund." Lirihnya sambil menatap kearah sang ibu.

"Tapi Bi,"

"Aku gak mau, bunda. Bunda gak tau perasaan aku gimana." Merasa suaranya sedikit meninggi, Binar kembali mengalihkan pandangannya ke arah jendela ketika melihat mata bunda mulai dipenuhi genangan. Ia tak sanggup melihat bundanya menangis.

"Lagian bunda kenapa cepat banget bisa maafin dia." Gumam Binar.

"Setidaknya dia mau bertanggung jawab, Bi. Kamu tidak liat seberapa sering dia kesini, bersujud di depan bunda dan ayah." wanita itu mengusap air mata. Terlihat sama frustasi dengan anaknya.

"Tapi bagaimana dengan mbak Ajeng?kalian gak pikirin dia,"

"Bunda gak peduli tentang orang lain. Bunda cuma butuh pertanggungjawaban atas apa yang udah terjadi sama kamu, Bi. Bunda mengerti gimana sulitnya keadaan kamu, Binar." Tegas Bunda.

Binar menundukkan kepalanya. Masih memikirkan perkataan bunda. Belum pernah dia melihat bundanya seegois ini. Walaupun tidak menuntut, tapi dia tau apa yang bunda inginkan.

"Bunda pernah merasakannya, Bi. Bunda gak mau apa yang terjadi sama bunda terulang sama kamu lagi. Apa kamu tahu gimana hancurnya bunda. Bunda dulu sendirian, Bi. Dan ketika Nanda datang menawarkan pernikahan, bunda gak bisa memikirkan solusi yang lebih baik dari itu untuk kamu, Bi . Nanda mau bertanggungjawab dan bunda yakin kamu akan butuh itu." Sambung bunda lagi. Sebelum wanita itu pergi meninggalkan kamar Binar dengan punggung bergetar menahan isakan.

Broken Touch (Tamat)Where stories live. Discover now