XIX

3.1K 209 9
                                    

Disclaimer
Boboiboy © Animonsta Studio

"Feeling Blue"
Slice of Life | Brothership
Chara : Halilintar, Gempa slight Taufan
a story written by Zevuar
© November 2021

Denting notifikasi dari ponsel berlogo apel tergigit itu memecah keheningan. Berulang kali ponsel itu mengisyaratkan bahwa banyak pesan yang masuk sekedar untuk dibaca oleh sang pemilik. Namun, pemilik ponsel itu tampak enggan untuk sekedar mengetahui siapa dalang di balik banyaknya notifikasi di ponselnya.

Pemuda itu kembali menutup tubuhnya dengan selimut tebal itu. Berusaha sekuat mungkin agar tidak menangis dengan kabar yang baru diterimanya. Bahkan dia orang yang terakhir tahu akan kabar itu.

Panggilan demi panggilan dari ponsel itu tidak berarti lagi untuknya. Dia memilih untuk mengabaikannya saja. Bukankah mereka juga sama? Mereka mengabaikan dirinya seakan dia tidak perlu tahu berita tentang saudaranya sendiri. Dia kecewa.

Pemuda itu telah melewati hari-hari yang buruk. Jauh dari orang tua, menghabiskan waktu di rumah sendiri hanya karena sosok saudaranya yang akhir-akhir ini sibuk dengan urusan kampus. Tidak punya teman yang bisa diajak berbicara ataupun berbagi keluh kesah.

Dia tidak ingin seperti ini. Dia masih perlu perhatian dari mereka. Dia benci dengan keadaan, dia benci bertambah dewasa, dia benci. Dia tidak mau kehilangan.

Denting notifikasi dari ponsel itu berhenti berbunyi. Tidak ada lagi suara berisik dari ponsel itu. Semuanya terdengar sunyi, sampai pada akhirnya suara tangisan pemuda itu terdengar memilukan tanpa seorang pun tahu bahwa dia sedang tidak baik-baik saja.

|《¤》|

"Adek, jangan seperti ini," keluh Halilintar.

Berulang kali dia mengirimkan pesan kepada Gempa, berulang kali juga dia menelpon adik kecilnya itu, tapi sepertinya Halilintar telah membuatnya kecewa. Gempa sama sekali tidak merespon Halilintar.

"Kau sebaiknya pulang hari ini, Hali. Gempa tidak akan mudah menerima kabar itu," kata Taufan. Dia menepuk pelan punggung Halilintar--berusaha menyemangati Halilintar yang tampak kalut dengan keadaan Gempa sekarang.

"Dia pasti sangat kecewa denganku," lirih Halilintar.

"Pasti. Bukankah sudah kukatakan padamu untuk memberitahunya lebih awal itu lebih baik? Dia akan marah, tapi dia pasti akan memaklumimu, Hali. Lihatlah sekarang, orangtuamu jarang sekali pulang, lalu kau akan berangkat ke luar negeri. Kau bisa bayangkan seberapa kesepiannya dia di sini?"

Taufan sudah mengatakan kepada Halilintar bahwa keputusannya untuk merahasiakan keberangkatannya ke luar negeri itu bukanlah hal yang bagus. Siapa juga yang mau ditinggal oleh keluarganya? Seikhlas apapun mereka, pasti ada sedikit rasa untuk menolaknya.

"Dia akan membenciku," lirih Halilintar sekali lagi.

"Kau memang bodoh, Hali. Aku bingung kenapa ada universitas luar yang memberimu beasiswa di sana," kesal Taufan.

Jika kondisi Halilintar benar-benar seperti biasanya, Halilintar tidak akan segan untuk memukul kepala Taufan dengan buku kedokterannya yang jauh dari kata tipis itu. Hanya saja, apa yang dikatakan Taufan memang benar.

Seharusnya aku tidak merahasiakan hal ini dari Gempa, batin Halilintar.

Dia mengambil ponselnya yang tergeletak mengenaskan di atas meja itu. Mencari kontak adik kecilnya itu lalu mulai mengetik sebuah pesan.

'Abang pulang sekarang.'

Halilintar mengemasi barang-barangnya. Dia harus pulang sekarang.

|《¤》|

Pintu itu tidak pernah terkunci.

Bukan karena rusak atau kuncinya yang hilang, hanya sebuah kebiasaan dari Gempa saja. Dia tidak pernah mengunci pintu itu.

Kamarnya tampak biasa saja--terkecuali kamar itu tampak gelap sekali.

"Jangan menangis," kata Halilintar yang kini sudah masuk ke dalam kamar itu. Dia menatap sendu Gempa yang masih setia bersembunyi di balik selimutnya.

"Adek, jangan seperti ini sama Abang. Marahin saja Abang, lakuin apapun sama Abang. Tapi jangan menangis karena Abang," lirih Halilintar.

Memang salah Halilintar. Merahasiakan beasiswa yang mengaharuskannya pergi ke luar negeri, melupakan bahwa Gempa benar-benar butuh sedikit rasa perhatian darinya karena Gempa yang tinggal jauh dari kedua orang tua.

"Adek~ bangun yuk? Makan dulu. Mau maag-nya kambuh, hm?"

Tidak ada jawaban dari Gempa. Halilintar hanya bisa mendengar isakan tangis dari Gempa.

Dia pasti sangat kecewa padaku, batinnya.

"Adek~ Abang masih punya waktu seminggu di sini. Kita masih punya waktu. Biarkan Abang memperbaiki kesalahan Abang. Jangan menangis lagi. Abang hanya pergi sebentar. Hanya sebentar," bujuk Halilintar kembali.

"T-tidak ada seorang pun yang peduli sama Adek. Ayah dan Bunda lebih mementingkan pekerjaan mereka. Bahkan Abang juga akan pergi bahkan tanpa sepengetahuan Adek. Buat apa lagi? Lupakan saja," lirih Gempa

Halilintar menutup matanya sejenak. Mengembuskan napasnya perlahan--menetralkan emosinya.

Dia memilih untuk merebahkan badannya di samping Gempa. Memeluk tubuh mungil adiknya itu walaupun selimut tebal itu menjadi batas di antara mereka.

Gempa awalnya menolak, dia memberontak. Tapi semua itu tidak ada apa-apanya untuk Halilintar. Tenaganya jauh lebih besar dari Gempa tentunya. Akhirnya, Gempa memilih untuk menyerah. Membiarkan Halilintar memeluknya.

"Abang pergi untuk pendidikan Abang, 'kan? Bayangkan pulang nanti, Abang pakai jas putih kebanggaan seorang dokter. Adek tidak mau melihatnya? Hanya sebentar. Adek lulus sekolah, Abang pulang ke sini."

Gempa kembali menangis.

"Berhentilah menangis. Hukum Abang dengan hukuman yang lain asalkan jangan menangis. Abang merasa sudah menjadi Abang yang buruk kalau Adek sampai menangis seperti ini."

Sejujurnya, Gempa senang saat Halilintar benar-benar mendapat beasiswa itu. Hanya saja, dia sedikit kecewa karena Halilintar yang merahasiakannya darinya.

Kenapa? Jika saja Halilintar memberitahunya dari awal, Gempa tidak akan seterkejut ini. Dia juga bisa membantu Halilintar untuk mempersiapkan segala kebutuhannya.

Namun, Gempa malah mengetahuinya sendiri tanpa diberitahu oleh Halilintar. Gempa menemukan surat undangan dari universitas yang menerima Halilintar sebagai mahasiswa yang berhasil mendapatkan beasiswa dan akan berangkat dalam kurun waktu sebulan sejak surat itu diterima oleh Halilintar.

3 minggu sudah Halilintar sibuk mengurus semuanya. 3 minggu juga Gempa menunggu Halilintar pulang ke rumah dan berharap Halilintar untuk mengucapkan semoga mimpi indah dan selamat malam kepada Gempa.

Tapi harapannya sirna. Minggu depan Halilintar juga akan meninggalkannya sendirian di rumahnya ini. Sama seperti Ayah dan Bundanya.

"Adek?"

Gempa menyerah. Dia membalas pelukan Halilintar. Dia tidak mau berbicara. Setidaknya biarkan Gempa menikmati beberapa hari terakhirnya bersama Halilintar.

Gempa hanya bisa menangis dalam pelukan Halilintar.

Maaf.

Fin.

|《¤》|

Pojok misuh-misuh

FrostFire : Dengar-dengar, project kali ini itu luapan isi hati Iky, ya?

Supra : Sstt, jangan berpikir seperti itu. Mungkin Iky cuma pengen buat project model gini doang.

Glacier : Tapi kan, rata-rata cerita yang dikerjakan sama author terinspirasi dari cerita hidup Iky sendiri.

Sori : Biarkan saja. Mungkin dengan cara ini Iky bisa luapin emosinya. Kadang, beberapa orang itu bisa tertekan hanya karena emosi yang nggak bisa tersalurkan.

Boboiboy : Ghibah teros! Nanti di blacklist sama Iky baru tau rasa!

All Fusion : Ampun, Kakanda!

Chaos - Oneshot Story | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang