Dua

85 45 17
                                    


"Gue mau pemiihan anggota, wawancara, kampanye, pemilihan ketos, sampe LDK berjalan dengan lancar. Terus, mulai dari sekarang kita jaga jarak sama ade kelas yang nyalonin di OSIS sampe LDK. Kalo sampe ada yang deket apalagi nyepuin gue gak akan tinggal diam. Do, Van, gue minta lo lo pada ngawasin anak panitia. Kalo beneran ada anak-anak yang gak jaga jarak sama adek kelas ataupun cepu, bawa dia menghadap ke gue," terang Anan dengan tampang angkuhnya.

"Siap," ucap Raldo dan Kevan.

"Panitia?!"

"Selalu benar!" sorak para panitia.

Di waktu yang sama, Venn dan anggota KIR lainnya sedang meneruskan penyusunan Karya Ilmiah yang kemarin sempat ditunda.

"Baik, kita mulai lagi ya penyusunannya. Kamu nyusun bagian ini, kamu yang nyari artikelnya ya, tim penelitian kalian coba cek lagi ya hasilnya. Kalo ada yang mau nanya atau bingung, bilang ke aku atau Atreya."

"Okee," jawab anggota KIR serempak.

Kemudian, semua anggota KIR saling berbisik. Venn yang kebingungan pun mencari sumber yang membuat mereka saling berbisik. Venn berbalik kebelakang dan tersenyum karena mendapati seorang gadis cantik bermata cokelat dan memiliki kulit berwarna kuning langsat, dipadupadankan dengan fashion style berwarna pastel menambah kesan manis dan juga imut.

"Zeva!"
Gadis yang dipanggil oleh Venn tersebut menoleh dan tersenyum.

"Venn? Apa kabar? Udah lama gak ketemu nih," tanya Zeva.

"Alhamdulillah baikk. Kamu sendiri apa kabar?" tanya Venn balik.

"Aku baik jugaa."

"Kamu sodaranya Anan sama Anin kan?" tanya Venn sembari berbisik.

"Benerr. Kok kamu tau?"

"Aku pernah nanya kamu di dm pas kamu bikin sg foto berdua sama Anan. Terus kamu jawab iya."

Jujur, ketika Venn belum tahu bahwa Zeva adalah saudara Anan, ia sakit hati melihat teman masa kecilnya itu ternyata dekat dengan sang pujaan hatinya. Venn merasa seperti itu karena Anan pernah menembak sahabat SD-nya bernama Sani sewaktu ia kelas X. Dan ia bercerita panjang lebar pada Atreya seraya berderai air mata. Kemudian saat ia tahu kebenarannya, ia sangat gembira karena dengan Zeva dan Anan bersaudara, ia akan lebih mudah mendapat restu orang tua Anan lewat teman kecilnya itu. Entah teori darimana Venn bisa berpikir begitu. Jadi, biarkan Venn berhalu sesukanya asal tak melewati batas seperti para pembaca. Bercanda.

"Ohh iya-iya aku inget," ucap Zevana.

"Zev, kalo boleh tau kamu kesini ada urusan apa?" tanya Venn, penasaran.

"Gak begitu penting sih, haha. Cuma liat-iat temenku si Jia yang mau lomba Karya Imiah gitu," jawab Zevana.

"Ohhh si Jia. Kebetulan aku juga an-

"Venn, sini dulu deh." Venn mendengus mendengar Atreya memanggilnya. Padahal ia sedang asyik-asyiknya mengobrol dengan teman kecilnya, Zevana.

"Maaf ya, Zev. Aku tinggal dulu." Zevana tak membalas perkataan Venn, ia hanya mengangguk malas.

"Kenapasih, Rey? Venn lagi asik ngobrol sama Zeva juga. Ganggu aja," gerutu Venn.

Atreya menatapnya tak suka.

"Venn, gue sama temen-temen yang lain udah pernah kasih tau Lo deh. Kalo Zeva itu pacaran sama Anan. Kayanya Cuma lo deh yang bilang mereka sodaraan. Lo itu cuma cemburu jadi gak bisa nerima kenyataan kalo Zeva pacaran sama Anan." Atreya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tidak terbawa emosi. Daripada ia harus melihat sahabatnya itu nangis gara-gara cowok itu, lagi.

"Venn gak bohong, Rey. Venn nanya sendiri kok ke Zeva dan dia bilang bener," sergah Venn.

"Gak ada sesama sodara itu saling naro akun masing-masing di bio Instagram. Gak ada." Venn tidak mengerti mengapa sahabatnya itu tak percaya bahwa Zevana adalah saudara Anan. Dan Venn punya buktinya. Sedangkan Atreya? Mungkin ia terlalu banyak mendengar gosip-gosip dari teman-teman yang lain.

"Atau jangan-jangan."

"Jangan-jangan kenapa?" tanya Venn semakin penasaran karena Atreya menggantungkan perkataannya.

"Jangan-jangan Anan ngelakuin ini biar lo gak ngejar-ngejar dia terus." Venn mengerutkan dahi-nya pertanda tak mengerti. Atreya membelalakkan matanya dan menepuk dahi-nya. Ya ampun, ingin rasanya ia upgrade otak Venn agar tidak lemot lagi.

"Maksud gue gini lho, Venn. Menurut gue, si Anan beneran sodaraan sama si Zeva. Terus pas liat reaksi lo, Anan minta Zeva buat jadi pacar boongannya biar lo gak ngejar-ngejar dia lagi. Tapi kayanya gak mungkin sih. Pertanyaannya, kenapa si Zeva malah bilang sodara sama Anan? Tapi bisa jadi mereka beneran pacaran, terus backstreet. Kalo backstreet, kenapa saling nyantumin akun di bio Instagram masing-masing? Au ah pusing." Atreya pusing sendiri memikirkannya. Mereka yang punya hubungan, kenapa ia yang ribet?

"Yaudahlah. Mau gimanapun Anan, mau Anan sama siapa, dan Anan punya pacar berapa, yang penting nanti nikahnya sama Venn," ucap Venn, percaya diri.

Tak lama kemudian, para panitia pemilihan OSIS keluar dari Ruang OSIS mereka terlihat sedang bergegas untuk pulang. Tak seperti biasanya, mereka menyembunyikan senyumnya. Yang biasanya menyapa, hari ini tak ada. Yang ada hanyalah muka masam mereka. Anggota KIR yang merangkap menjadi anak OSIS juga turut bingung. Ada apa dengan para panitia itu? Mengapa mereka memasang wajah masam padahal kemarin baik-baik saja? Apakah ada kesalahan besar yang membuat mereka seperti itu? Venn rasa tidak, masalah yang kemarin ia yakini sudah selesai. Atau akan ada perang yang baru dimulai?

Anan berjalan sembari menggendong tas berwarna hitam. Ia yang selama ini jarang senyum, entah kenapa hari ini raut wajahnya bertambah sinis. Kemudian, dari jauh ia melihat sosok nan cantik dan rupawan, Zevana yang sedang berteduh di bawah pohon dekat lapangan. Wajah sinisnya berubah menjadi lebih ramah dan ia memberikkan senyum tipisnya pada Zevana.

"Udah nunggu lama?"

"Lumayan, setengah jam," jawab Zevana.

"Yuk pulang." Anan menyodorkan tangannya bak pangeran yang menyodorkan tangannya untuk sang putri. Zevana hanya terkekeh pelan melihat perlakuan Anan, meski begitu ia menerimanya.
Lalu, Anan dan Zevana berjalan menuju parkiran sembari berpegangan tangan, sesekali mereka tertawa bersama. Mereka terlihat sepasang kekasih, bukan sesama saudara.

Venn yang memerhatikan keduanya dari kejauhan hanya bisa mengelus dada. Entah Venn sudah menghela napas berapa kali.

"Panas banget ya hari ini." Venn menoleh sebelahnya dan ternyata Sani lah yang berbicara. Ia hanya diam tak menggubris ucapan itu.

'Sok asik bgt dah nih bocah. Kaya diajak aja,' batin Venn.

Atreya menghampiri Venn dan mengusir Sani. Agak jahat sih. Tapi dengan begini, Sani jadi tak berani mengganggu Venn kembali, apalagi kalau sampe menghasutnya.

"Rey, gue boleh nangis gak?" tanya Venn dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Gak boleh! Lo udah berapa kali nangisin dia? Tapi apa? Sadar gak dianya? Enggak kan? Mending lo simpen air mata berharga lo itu. Anan gak pantes buat lo harepin, Venn. Masih banyak cowo yang tulus sama lo. Tapi apa? Lo masih aja mengharapkan Anan yang jelas-jelas gak ingin diharapkan sama lo," terang Atreya.

Venn terdiam. Dalam hati ia membenarkan ucapan Atreya.

"Yaudah yuk, Karya Ilmiah kita belum selesai." Venn mengangguk pelan dan mengikuti Atreya yang sudah mendahuluinya pergi untuk menyelesaikan Karya Ilmiahnya.

Jangan lupa vote dan komen.
Tengkyu( ◜‿◝ )♡

GLOSSOPHOBIAWhere stories live. Discover now