Dua Puluh Enam

77 32 65
                                    

Ting

Netra Venn tiba-tiba terfokuskan dengan notifikasi WhatsApp miliknya. Ia terkesiap saat melihat pesan WhatsApp tersebut.

“Haduh, gimana ini?”

“Apanya yang gimana?” tanya Atreya.

“Eh? Enggak. Gak papa kok.”

Aninka Kembaran My Crush

Venn.
Si Zevana masuk OSIS.
Udah izin kok sama Anan.
Udah diizinin juga sama pembina kita.

Zevana masuk OSIS? Padahal pindahannya tersebut ke sekolah ini baru hari ini. Dan ia sudah diizinkan masuk OSIS? Tanpa sepengetahuan Venn pula. Sedangkan yang menjadi Ketua OSIS sekarang adalah Venn.
Kenapa Anan dan Anin tak merundingkan hal ini bersamanya? Sebegitu tidak penting kah dirinya sampai-sampai ia tak dianggap? Apa ini karena phobia miliknya yang membuat mereka jadi kehilangan kepercayaan pada Venn?

Venn menggelengkan kepalanya. Menepis segala pertanyaan yang beradu dalam pikirannya. Mungkin hal ini sangat genting, jadi mereka tak merundingkan masalah tersebut kepadanya. Lagipula ini hanya masalah sepele. Bagus jika OSIS menambah anggota baru. Siapa tahu Zevana menjadi salah satu orang yang andil dalam  memajukan OSIS. Namun, ada seuatu yang mengganjal dalam hati Venn.

“Gue keluar dulu ya, Rey. Penting soalnya,” pamit Venn.

“Heh, mau kemana? Dikit lagi bel!” panggil Atreya, namun sahabatnya itu sudah menghilang dibalik tembok.

๑๑๑

“Gue tau lo dateng kemari buat nanyain soal Zevana yang masuk OSIS ‘kan?” Anin memandang Venn dengan tangan yang dilipat.

Venn mengangguk. Ia ingin sekali bersikap tegas. Namun tak bisa. “Lo kenapa gak bilang ke gue dulu?” lirihnya.

Anin terdiam.

“Gue gak bakalan marah kok. Gue cuma mastiin doang. Kalo gitu gue balik ke kelas ya,” ucap Venn.

“Venn!” Venn berbalik dan menatap orang yang memanggilnya.

“Maaf.” Venn tersenyum. Saat ia ingin membalikkan badannya kembali, ia teringat sesuatu. “Gue titip salam buat kembaran lo, Nin.”

“Tai lo!”

Venn tertawa dibalik tembok kelas Anin setelah mendengar umpatan yang Anin berikan untuknya. Lalu tawanya luntur saat ia melihat seseorang. Air mukanya berubah menjadi takut.

“Venn! Ngapain kamu disini?!”
Seorang wanita berumur 40 tahunan berkacak pinggang didepannya.

“Kamu tuli apa gimana?! Bel masuk udah berbunyi 5 menit yang lalu. Kenapa kamu masih diluar kelas?!” Wanita itu mengeluarkan tongkat saktinya yang biasanya digunakan untuk menghukum murid-murid yang terlambat ataupun bolos.

“Ma-maaf, Bu. Tadi saya abis dari kelas Anin, ab-

“Kemarin, kamu udah malu-maluin nama OSIS dengan alasan penyakit kamu lah apalah. Sekarang kamu malah keluar-keluar kelas disaat jam pelajaran mau dimulai? Malu pasti pembina kamu punya Ketua OSIS macam kamu. Yang bisanya cuma malu-maluin! Bukannya jadi teladan dan buat bangga! Malah jadi tambah bikin malu!” Suara milik Bu Fatim yang menggelegar, membuat murid-murid penasaran dan mengintip dibalik jendela kelas mereka.

“Kamu seharusnya kayak Zevana! Dia masuk kesini pake prestasi dan juga piagamnya. Gak kaya kamu, masuk sini pake beasiswa! Sekarang, kamu menghadap ke belakang! Kamu harus diberi hukuman biar sadar!”

Venn dengan takut-takut menuruti perkataan Bu Fatim. Ia ingin sekali menangis sejadi-jadinya. Namun ia takut hukumannya akan bertambah jikalau ia ketahuan menangis.

GLOSSOPHOBIAWhere stories live. Discover now