Dua Puluh

49 39 12
                                    

Senyum kamu kala itu sangat manis. Bukan senyum kecut yang selalu kau tampilkan dihadapanku. Namun saat menyadari siapa alasan kamu tersenyum. Ah, aku lebih memilih kamu tersenyum kecut, dan akulah alasan dari senyuman kecut itu
— Venn —

๑๑๑

Semua para peserta Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) sedang bersiap-siap mengikuti upacara pembuka. Ada yang baru datang, ada yang sedang menaruh barang bawaan, dan ada juga yang sudah berada di lapangan.

Venn membenarkan dasi abu-nya yang berantakan. Disebelahnya ada Kean yang sedang memakai kalung nametag. Upacara pembuka akan dimulai 5 menit lagi, Venn mengedarkan pandangannya untuk mencari Atreya. Pandangannya jatuh pada seorang gadis yang sedang duduk dibawah pohon menggunakan baju bebas. Venn terlonjak kala ia mengetahui orang itu. Orang itu adalah Zevana. Ia sedang berkumpul bersama anggota KIR yang juga merupakan teman lamanya Zevana.

Venn kembali terlonjak melihat Zevana tersenyum manis kearah Anan dan Anan membalas senyuman Zevana tak kalah manis.

“Panas banget hari ini.” Venn mengibas-ngibaskan tangannya ke wajahnya.

Kean mendengar gumaman dari mulut Venn, kemudian ia melihat sekitar dan barulah ia paham. Ia tersenyum simpul. Sudah pasti ketuanya ini sedang menahan cemburu. Ia pun berjongkok kearah Venn dan membenarkan tali sepatu gadis itu yang lepas.

“Ehh,” ucap Venn saat melihat perlakuan Kean.

“Makasih.” Kean hanya membalas dengan anggukan.

Tanpa mereka sadari, seorang pria melihat interaksi mereka dan tangannya mengepal kuat.
“Oh bales dendam ceritanya?”

“Kenapa, Nan? Kok kamu marah gitu?” tanya Zevana menyadari perubahan pria yang ada didepannya.

Zevana melihat arah pandangan Anan, ia langsung tersenyum kecut.
“Kamu cemburu ngeliat mereka? Kan kamu punya aku, Nan. Aku lebih cantik dari cewek lemah itu.” Kedua tangan Zevana bergelayut manja di bahu Anan.

“Lepas! Mending lo pulang.” Anan menyingkirkan tangan Zevana dan berlalu meninggalkan gadis itu.

๑๑๑

“Makannya yang rapih ya. Jangan sampe tumpah-tumpahan. Kalo tumpah, jilat makanannya yang ada di lantai. Airnya tuang sendiri dari galon, kalo airnya yang tumpah tiup ya sampe kering,” titah Dianara seraya menuangkan nasi ke kertas nasi yang sudah disusun sedemikian rupa.

Anin mendelik tajam menatap panitia. “Gila kali ya, makanan yang udah jatoh di lantai disuruh jilat.”

“Jangan ada yang ngedumel! Kalo sampe ada yang ngedumel, kita suruh dia yang jilatin tumpahannya!” tegas Anan.

“Dah, silakan makan. Jangan lupa berdo’a,” ucap Dianara.

Semua peserta makan dengan khidmat, sesekali ada diantara mereka yang menumpahkan makanan dan langsung dijilat oleh pelaku yang menumpahkan.

“Aduh jangan dibuang-buang dong. Kita aja belum makan,” ucap Piyu dengan dramatis.

Venn berjalan menuju galon milik kelompoknya yang berada di pojok kelas. Ia menuang air dengan sangat hati-hati. Tiba-tiba datang seorang gadis dari kelompok lain dengan sengaja menyenggol galon tersebut dan air yang didalam galon tumpah kemana-mana.

“Ups, sorry ga sengaja,” ucap gadis itu.

“Kak Anan, nih si Venn numpahin air galon! Mana airnya banyak lagi yang tumpah.” Venn membulatkan matanya, apa-apaan ini? Kalau saja gadis itu tak menyenggol galonnya, maka airnya tak akan tumpah.

GLOSSOPHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang