Dua Puluh Dua

67 37 42
                                    

Venn terduduk ditengah jalan raya yang lumayan ramai karena beberapa panitia, alumni OSIS, dan juga salah satu kelompok yang masih menjalani jelajah malam. Sekarang Venn membuka penutup matanya, ia melihat Anin dan teman-teman sekelompoknya yang sedang diinterogasi oleh Anan dan panitia lainnya. Sama seperti dirinya, balon atau nyawa milik mereka juga raib diambil atau diletuskan oleh para panitia.

Anan menyuruh Anin dan teman-temannya untuk membuka penutup mata. Mata mereka kompak mengerjap-ngerjap dan menebak-nebak di mana mereka saat ini. Mata Anin tak sengaja melihat Anin yang terduduk sendiri di tengah jalan. Dahi Anin berkerut, raut wajahnya seolah berkata ‘Ngapain?’. Venn tak menjawab apa-apa, ia hanya tersenyum manis.

Tiba-tiba datang sekelompok bapak-bapak berpakaian mirip dengan seragam 86 (Salah satu acara di televisi yang menampilkan patroli polisi). Para panitia dan alumni terkejut dan sedikit panik.

“Ada acara apa tengah malam begini?” tanya salah seorang petugas.

“LDK, Pak. Kita udah lapor kok sama pihak RT dan RW,” jawab Kevan.

“Ohh yaudah, lanjutkan.” Para petugas itupun melenggang pergi.
Para panitia itu akhirnya melanjutkan interogasinya pada kelompok Anin yang tadi sempat terhenti.

Seorang pria menepuk pelan bahu Venn, membuat sang empu menoleh. Pria itu duduk disamping Venn. “Besok-besok kalo mau LDK, diubah ya sistemnya. Jadi gak kek dendam turun temurun.”

Venn tersenyum manis, kemudian mengangguk.

“Venn sini! Dari tadi senyam-senyum aja. Ketawa-ketawa aja. Nih liat anggota kamu, masih banyak yang kena hukuman.” Anan memanggilnya, ia kembali mengomeli Venn dihadapan saudara kembarnya yang sangat amat melindungi Venn.

Venn menghampiri Anan, ia meremat-remat celananya. Ia takut Anan akan menghukumnya lebih-lebih.

“Tutup mata kamu.” Venn menurut, ia menutup matanya menggunakan slayer.

Byurr

Venn terlonjak. Anan dan para panitia lainnya menyiramnya dengan balon-balon yang berisi air tadi. Mereka meletuskan balonnya diatas kepala Venn. Lagi-lagi Anan tersenyum miring. Sementara gadis itu sedang menggigil, menahan dingin yang menusuk hingga ke tulang.
Anin dan teman-teman sekelompoknya juga tak kalah terkejut melihat perlakuan Anan.

Tangan Anin sudah gatal ingin menampar saudara kembarnya itu. Namun ia tahan, ia takut pria itu akan membalaskan dendamnya pada Venn karena Anin lebih membela gadis itu dibanding dirinya.

“Apa kalian lihat-lihat! Sana pulang ke sekolah!” tegas Anan pada sekelompok Anin.

Mereka berjalan beriringan, mereka mencoba melupakan perlakuan Anan dan Venn, begitu juga dengan Anin. Gadis itu dengan berat hati harus meninggalkan sahabatnya itu. Ia hanya bisa merapalkan do’a supaya saudara kembarnya tak menyakiti sahabatnya lebih jauh.

“Venn, kalo gitu kamu boleh pulang,” ucap Raldo.

“Eh, Venn. Boleh minta tolong gak?” Langkah kaki Venn terhenti, ia membalikkan badan dan menghampiri Piyu.

“Kayaknya ponsel aku kecebur di kali deh,” ucap Piyu, tangannya terulur ke kantong celananya dan mencari keberadaan ponselnya, namun hasilnya nihil.

“Bantuin aku ya, pliss.” Gadis itu memasang wajah memelas seraya memegangi sebelah tangan Venn.

“Kenapa gak sama Kak An-

“Venn ayolah,” mohon Piyu.

Venn menghela napas panjang, “yaudah. Ayo aku bantuin.”

Venn menatap Anan sekilas, namun pria itu malah acuh. Padahal ia baru saja disiram oleh Piyu dan teman-temannya, dan bisa-bisanya ia meminta bantuan padanya untuk pergi ke kali. Venn memeluk dirinya sendiri. Hawa dingin semakin menusuk, akan tetapi ia berusaha menahannya demi kakak kelasnya ini.

GLOSSOPHOBIAWhere stories live. Discover now