Enam Belas

44 43 11
                                    

“VENN!”

Atreya berteriak kala melihat sahabatnya itu terkulai lemas di panggung. Yang lebih mengejutkan lagi, Anan naik ke atas panggung untuk menggendong Venn ala bridal style dan membawanya ke UKS.

“Rey, Venn sebenarnya kenapasih?” tanya Anin.

“Di-dia punya Glossophobia, phobia berbicara didepan umum,” jawab Atreya.

๑๑๑

Anan membaringkan tubuh Venn diatas bangsal UKS. Ia sedikit merapikan rambut yang menutupi wajah cantik Venn.

“Cantik.”

“Engh-

“Aaaa  kakak ngapain?!” teriak Venn saat melihat wajah Anan yang hanya berjarak 5 cm darinya.

Anan terkesiap dan sedikit menjauh. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

“Kakak ngapain disini?” tanya Venn.
Bukannya menjawab, pria itu malah memberinya segelas teh manis yang tadi ia buat kepada Venn.

“Ma-makasih, Kak,” ucap Venn.

“Gapapa?” singkat Anan.

“Gak papa kok, Kak. Kakak kalo mau kembali ke panggung, gapapa.
Takutnya nanti ad-

“Lo sebenernya kenapa, Venn? Cerita sama gue,” sela pria itu.

Venn menghela napas panjang, ia bingung harus bercerita atau tidak. Sekali lagi, ia takut mengecewakan semua orang. Namun perihal kandidat itu bukan salahnya, itu salah Anan, kenapa pula ia harus memilih dirinya dibanding Anin padahal kemampuan memimpin Anin tak usah ditanyakan lagi.

“Ak-aku sebenernya punya Glossophobia, Kak. Phobia sama berbicara didepan umum.”

Anan sangat terkejut. Ia sama sekali tak tahu menahu tentang phobia gadis mungil itu. Ah, ia  menyesal memilihnya menjadi Kandidat Ketua OSIS jikalau seperti ini.  Lagi pula mengapa Venn baru cerita sekarang?

“Gue gak peduli. Gue mau lo hadepin ketakutan lo itu. Lo harus tanggung jawab. Lo yang bilang mau jadi Ketos. Dan gue udah ngabulin permintaan lo. Ya jadi, lo harus terima konsekuensinya.”

Apa yang dibilang barusan? Apa Venn tidak salah dengar? Ia yang harus bertanggung jawab? Hei, ini tak sepenuhnya salah Venn. Anan ikut salah, karena ia melibatkan Venn dalam permasalahan yang seharusnya sudah selesai itu. Ah, sifat keegoisan Anan memang tak bisa diubah.

“Kak, gak sepenuhnya ini salah aku. Ini salah kakak juga yang masih dendam sama masalah yang udah selesai itu,” ucap Venn.

Anan terdiam. Ia sedikit tertohok dengan ucapan Venn. Lalu ia mengedikkan bahu.

“Ya intinya lo harus ngelanjutin ini semua. Mau diubah pun percuma.”

“Kalian ini kenapa sih?!” Suara khas milik Anin membuat Venn mengurung niat untuk membalas ucapan Anan.

“Nih temen lo! Takut kalo bicara depan umum. Aneh,” cecar Anan.

Bagaimana dengan Venn? Sakit tentunya. Apalagi yang berbicara adalah kekasih hatinya. Ia tahu ia memiliki kekurangan, namun tak bisakah Anan menghargai kekurangannya dan tidak menghina kekurangannya itu? Venn juga yakin bahwa Anan juga memiliki kekurangan, begitu juga Anin dan Atreya. Hampir semua manusia memiliki kekurangan. Karena kesempurnaan hanya milik Tuhan.

“Lo apa-apaansih, Nan?! Gak seharusnya lo ngejek kekurangan orang lain! Ngaca, emang situ gak punya kekurangan?!” geram Anin.

Napas gadis itu memburu, sedangkan saudara kembarnya? Hanya diam memperhatikan dengan senyum liciknya. Anan terlalu malas untuk memarahi balik saudara kembarnya itu. Buang-buang tenaga saja pikirnya.

GLOSSOPHOBIAWhere stories live. Discover now