SENIOR : TWENTY FIVE

18 0 0
                                    

"Assalamualaikum" teriak Kim saat memasuki rumah.

"Walaikumsalam" jawab papa Kim dengan wajah datar dan dinginnya.

Kim mendekat kearah papahnya yang sibuk berkutat dengan laptopnya, Kim membelai sayang tangan papahnya itu. Ardan--papa Kim, kebingungan dengan tingkah putrinya itu.

"Apa? Uang?" Kim menggeleng.

"Mamah tidur kan?" tanya Kim sambil tersenyum.

"Hm. Iya"

Kim membuka resleting tasnya dan mengeluarkan surat yang selama ini ia simpan.

"Dibaca dulu, pah. Penting banget"

"Banget? Kerjaan saya banyak"

"C'mon pah, sekali saja"

"Baiklah" Ardan pun membaca surat itu. Tak lama ia menutup mulutnya dan air matanya menetes. Kemudian ia menoleh pada putrinya yang sudah berkaca-kaca. Sesaat kemudian ia memeluk putrinya itu dengan air mata yang tidak bisa lagi ia bendung.

"Ke-kenapa K-kim? Jangan seperti ini" Ardan melepaskan pelukan itu. Meraih kedua tangan anaknya dan mengusapnya lembut.

"Oh ayolah, ja-jangan berbohong hiks. Tidak mung-kin, kau pasti bohong kan?" sayangnya Kim membalas ucapan ayahnya dengan gelengan kepala.

"Hidupku sebentar lagi, pah. Dan selama itu, apakah boleh aku merasakan keharmonisan keluarga ini lagi?"

"Oh Tuhan, tidak mungkin"

"Mungkin, pah. Di surat itu sudah tertera sisa perkiraan umurku kan? Kadang lebih cepat dari itu aku kembali, sebab itulah, aku hanya ingin keharmonisan keluarga ini kembali"

Ardan kembali memeluk putrinya. Sungguh, mata hati dan pikirannya terbuka sekarang. Ia sadar mengapa selama ini ia menyakiti keluarga kecilnya itu, padahal dalam hatinya ia sangat menyayangi mereka.

"Hanya itu keinginanmu? Akan papa penuhi, asalkan Kim tetap hidup selamanya. Okey?" Kim menggeleng sambil tersenyum.

"Papa adalah ayah terbaik yang pernah ada. Masalah tentang papa mengira mama selingkuh, itu salah, pa. Dia adalah dokter yang merawatku. Pah, aku mencintai papa dan mama melebihi diriku sendiri. Kumohon, jangan sakiti keluarga kecil ini karena keegoisan dan kesalah pahaman kalian. Ayolah, Pah" ucapnya sambil menangis.

Ardan mengangguk berulang kali, mengiyakan permintaan putrinya. Sungguh menyesal karena sisa umur putrinya yang menyadarkannya dari segala kebutaan hatinya selama ini.

"Satu lagi, Pah. Bawalah adikku kembali"

Ardan mematung seketika, "Kalian membuangnya karena ia tidak sempurna kan? Apa salahnya yang kekurangan itu, pah? Bahkan jika ia bisa berteriak, ia juga tidak mau lahir kedunia dengan keadaan seperti itu. Bawalah Naysilla kembali" ucap Kim dengan penuh memohon.

"Baiklah, baik. Papa juga menyesal sudah membuangnya. Papa akan membawa Nay kembali, kehidupan kita akan sempurna"

Kim kemudian memeluk Ardan lama dan membereskan tasnya. Ia pamit naik kekamarnya sedangkan papanya pamit untuk menjemput Naysilla yang tinggal di panti asuhan.

Siapa Naysilla Reinel sebenarnya?
Naysilla atau kerap disapa Nay, gadis tuna netra yang merupakan adik kandung Kim. Sejak dulu mereka bersama, namun saat berumur 10 tahun, Kim dan Nay dipisahkan karena para kolega perusahaan Ardan mulai mengolok-olok keluarganya yang mempunyai anak tidak sempurna. Kim selama ini mencari keberadaan adiknya itu, dan akhirnya menemukan Naysilla dengan bantuan dokter pribadi Kim. Saat pertama bertemu Naysilla, Kim sudah merasakan kehangatan yang berbeda kala menatap dirinya.

Kim Kemudian mengambil sehelai rambut Nay dan mengetes DNA dengan rambut mamanya atas bantuan dokter. Setelah beberapa hari, Kim dihubungi oleh dokternya itu dan benar, hasil tes DNA itu membuktikan bahwa Nay adalah saudara kandung Kim.

Ceklek

Kim membuka pintu kamar mamahnya dan menampakkan mamahnya yang mengusap lembut bingkai foto keluarha mereka yang lengkap dengan Naysilla.

"Nay sedang dijemput papah, Mah"

Mendengar suara seseorang, dengan segera ia menghapus air mata dan menyembunyikan bingkai foto itu di balik bantalnya.

"Tidak perlu disembunyikan, aku sudah menemukan Naysilla" ucapan Kim membuat Rena senang bukan main.

Rena langsung memeluk putrinya itu sambil menangis, "Terima kasih, Kim. Sudah mengembalikan apa yang hilang"

÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷

"Yuhuuu good afternoon my family blaem blaem" teriakan Diva memenuhi setiap sudut yang ada dirumahnya sore ini.

"Astagfirullah kak! Bisa gak lu pelan-pelan aja ngomong tuh?! Anggun napa anggun!" teriak Ivon, adek Diva yang berjenis kelamin laki-laki.

"Anggun di rumahnya, adanya Diva nih, Diva!" teriak Diva sambil memukul pelan dadanya.

"Kak, jangan teriak-teriak, nanti pita suaranya kek Lucinta mampus loh" sahut Erin--bunda Diva sambil membaca novel kesukaannya.

"Bener tuh kata bunda, nanti kamu jadi lakik!" kali ini Joe--ayahnya yang berteriak.

"Nih keluarga gue kenape sih, plis lah!" pekik Diva dengan lebaynya.
"Btw, ayah, bunda, Diva ijin mau jalan sama kak Devan ya?" Bundanya pun mengangkat jari jempolnya dan begitu pula ayahnya.

Devan sudah ia kenalkan pada orang tuanya sejak hari pertama mereka berpacaran.

"Kak, gua nitip itu ya, crepes yang biasanya lu beliin"

"Hm"

"Bunda nitip cake buatan mamahnya Devan ya, udah bunda whatsapp kok mamahnya" Diva melotot tak percaya.

"HAH?! Sejak kapan bunda berhubungan ama maknye?"

"Lah, lo aja kali yang kurang apdet" ejek Erin pada anaknya dengan menggunakan bahasa gaul.

"Ini mak siapa si, begini amat dah modelnya" gumam Diva.

"Masih bunda dengar kelezz"

"Lah itu telinga atau ape"

Skip.

"Assalamualaikum" Devan mengucapkan salam saat berada diambang pintu rumah Diva dan disambut ayah Diva dengan keramahan.

Tak lama bundanya Diva datang dan merangkul lengan kanan Devan kemudian menuntunnya masuk.

"Punya suami, tapi yang digandeng calon mantu, heran sama ibu-ibu" sindir Joe pada istrinya itu.

"Tidur diluar aja mas kalau gasuka" ucapan santai istrinya membuat bulu kuduk Joe merinding seketika.

"Galak banget"

"Devan duduk sini dulu, Diva-nya lagi siap-siap. Emang suka lama dia tuh"

"Iya tan-eh maksudnya bun, gapapa kok kalau lama" Erin pun terkekeh mendengar Devan yang masih belum terbiasa memanggilnya bunda.

"KUTULISKAN SEBUAH CERITA CINTA SEGITIGA DIM-" nyanyian Diva yang menggelegar tiba-tiba berhenti kala melihat Devan yang sudah duduk di sofa sambil memandanginya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Aaaa malu gue pliss"

"Maafin ya, Devan. Emang titisan kecebong kayak gitu" ejek Joe pada putrinya.

"AYAH!"

"Lagian elu sih kak, dah tau suara biasa kek toa, pake acara teriak begitu lagi"

"Ya maap dek"
"Dah daritadi, kak?" Devan menggeleng.

"Barusan kok"

"Eum ok. Yok berangkat. Disini banyak hawa yang tidak mengenakkan"

Devan terkekeh melihat tingkah gadisnya itu.

"Kalau gitu kita pamit ya, Bun, Ayah" ucap Diva dan Devan usai menyalami orang tuanya.

"KAK JANGAN LUPA PESANAN GUA!"

"PESANAN BUNDA JUGA, KAK!"

Salam Author, Milrezty

SENIORWhere stories live. Discover now