Keluarga Kang Gigit😬

816 65 3
                                    

Sukai sewajarnya dan bencilah sewajarnya, akan tetapi kalau bisa jangan terlalu membenci karena itu tidaklah baik!

Happy reading ☺️
.
.
.
.
.
.
.

"Bagaimana kondisinya, Dok?" tanya Mauli yang sudah kepalang panik.

Dokter muda itu tersenyum manis yang membuat jantung Mauli berdetak lebih cepat. "Apa ini, Mauli? Sadar! Dia perempuan, jangan mengada-ada kamu!" tegur Mauli pada diri sendiri dalam hati.

Tak dapat dipungkiri, dokter muda itu memang sangat manis apabila sedang tersenyum, dia juga orang yang sangat ramah dan penyabar. Bukan apa-apa, Mauli hanya mengagumi senyum dokter itu karena terlampau manis. Ia akui itu benar, tapi dia tetap sadar itu bukan apa-apa, melainkan hanya kekaguman saja, tidak lebih.

"Alhamdulillah, kondisi Ibu dan bayinya baik-baik saja," ucap Dokter itu.

Mauli tersenyum lega, "Alhamdulillah. Saya bisa lihat mereka, Dok?"

"Iya. Saya permisi dahulu," pamit Dokter itu.

"Terima kasih, Dok!" ucap Mauli yang dibalas senyuman sang Dokter.

"Jangan bangun dulu, Mbak!" titah Mauli saat Rindi mencoba bangun.

"Terima kasih ya, Mbak jadi repotin kamu," ucap Rindi.

"Heh! Justru aku yang paling menyesal jika sampai Mbak Rindi kenapa-napa tadi! Untung aja, Mbak Rindi cepat menghindar," sahut Mauli sok garang. "kayaknya, mobil tadi sengaja nabrak Mbak, deh."

"Jangan begitu, Mauli! Ini kecelakaan dan kamu nggak boleh nuduh sembarangan tanpa adanya bukti!" ingat Rindi.

"Assalamu'alaikum. Mana? Mana istri saya?" Novan datang dengan keadaan panik mencari keberadaan sang istri.

"Dik, kamu nggak papa? Kok bisa kayak gini? Kenapa nggak telepon Mas kalau mau pulang, kan Mas bisa jemput! Siapa yang berani melakukan ini ke kamu? Mas akan bikin perhitungan sama dia!" tanya Novan bertubi-tubi dan membuat Rindi serta Mauli tertawa terbahak-bahak. "kok malah ketawa, sih?"

"Mas tenang dulu! Aku nggak papa kok, alhamdulilah,"

"Gimana bisa tenang? Mauli telepon Mas sambil panik tadi, katanya kamu kecelakaan di jalan dekat sekolah," terang Novan. "benarkah itu, Dik? Siapa yang nabrak kamu, bilang sama Mas!"

Rindi memarahi Mauli lewat tatapan matanya dan yang dimarahi pun langsung menunjukkan deretan gigi kurang rapinya seraya mengangkat telunjuk dan jari tengahnya. "Maaf, kan sedang panik, ya maklum!"

"Gimana, Dik? Siapa yang nabrak kamu?" ulang Novan.

"Kurang tahu, Om. Kayaknya dia sengaja, deh!" bukan Rindi yang menjawab, melainkan Mauli. Ia mencoba memanas-manasi Novan.

"Jangan begitu, Mauli!" tegur Rindi dan Mauli mengangkat telunjuk dan jari tengahnya lagi. Pandangan Rindi teralih kepada Novan yang sedari tadi menatapnya untuk meminta penjelasan segera darinya, "aku juga nggak tahu, Mas. Sudahlah, yang terpenting kan aku dan bayi kita selamat! Dia kuat banget, lho."

Novan menghembuskan napas pasrah, "Alhamdulillah."

Kemudian tangannya teralih mengelus perut sang istri, lalu dikecupnya pelan, "Assalamu'alaikum, Dedek Utun. Kamu baik-baik aja kan di sana? Maafin Ayah karena nggak bisa menjagamu dan juga bundamu!"

Seperti biasanya, bayi itu memberikan respon cepat kala Novan mulai mengajaknya berbicara dan hal itu membuat Rindi meringis kesakitan.

"Geraknya pelan-pelan, Sayang! Kasihan bundamu kesakitan," tegur Novan lembut. Seolah mengerti, bayi itu kemudian bergerak pelan.

DIA IMAMKU (End-Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang