Kecurigaan Novita

541 62 4
                                    

Sukai sewajarnya dan bencilah sewajarnya, akan tetapi kalau bisa jangan terlalu membenci karena itu tidaklah baik!

Happy reading ☺️
.
.
.
.
.
.
.

Rindi menatap lekat ke arah tempat tidur Zain, air matanya sudah berhenti mengalir, namun ia tak kunjung beranjak dari tempat itu setelah kepergian sang anak untuk selama-lamanya. Novan yang melihat keadaan sang istri yang seperti itu merasa sesak, ia hanya mampu berdiri di dekat pintu sambil sesekali menyeka air matanya.

"Novan,"

Novan menoleh ke arah sang Umma yang berdiri di belakangnya entah sejak kapan. "Umma, Novan-,"

Novan langsung berhambur memeluk sang Umma dan terisak dalam dekapannya. "Novan nggak tega melihat Rindi seperti itu, Umma. Novan nggak bisa ... Novan nggak bisa!"

Umma melepas pelukan Novan dan berganti membelai pipi sang putra. "Menangislah! Menangislah untuk meluapkan semua kesedihan yang kamu rasakan, Novan! Tapi, jangan sampai berlarut-larut dalam kesedihan dan tangisan ini! Umma tahu ini sangat berat untukmu dan juga istrimu, tetapi kita hanya manusia, Van, dan kita tidak bisa menebak kapan maut akan menjemput seseorang."

"Novan, kamu tahu posisi kamu sekarang?"

Novan mengangguk, menatap dan mendengar dengan cermat penuturan sang umma.

"Kamu adalah seorang suami, imam bagi istrimu. Kamu harus bisa tegar, kamu harus menjadi penguat bagi istrimu. Jika kamu terus bersedih seperti ini, siapa yang akan menguatkan Rindi?"

"Sebagai seorang ibu yang kehilangan buah hatinya, ia pasti sangat sedih dan terpukul, dan tugasmu sekarang adalah menguatkannya, Van! Umma yakin kamu bisa. Sekarang, temui istrimu! Kuatkan dan yakinkan padanya bahwa semua ini adalah kehendak Allah! Tapi ingat, biarkan dia menangis untuk meluapkan kesedihannya, akan tetapi jangan biarkan dia berlarut-larut dalam kesedihan itu karena itu tidaklah baik baginya! Pergilah!" Titah Umma seraya menepuk bahu Novan kemudian meninggalkannya.

"Ya Allah, berikan kekuatan dan ketabahan agar mereka bisa menerima ketetapan-Mu ini!" Lirih Umma seraya menghapus air matanya.

Di suatu tempat, terlihat beberapa perempuan yang tengah sibuk berbincang dengan sesekali menghapus air mata yang menggenang di pelupuk mata mereka masing-masing. Satu di antara mereka sibuk berceloteh sembari mengemasi barang-barangnya dengan tergopoh-gopoh. Kemudian ia menghampiri seorang perempuan yang tengah terduduk jauh dari tempat mereka berkumpul.

"Mauli,"

Merasa ada yang memanggil namanya, ia pun menoleh ke arah sumber suara dengan tatapan takut.

"Kita semua akan pergi ke kediaman Mbak Rindi untuk mengucapkan bela sungkawa akan kepergian anaknya. Kamu ikut ya! Kamu kan orang terdekat sekaligus kepercayaan dari Mbak Rindi, dan pastinya kamu sudah mengetahui kabar ini kan, Mauli?"

"A-aku nggak ikut," ucapnya terbata.

"Kenapa? Mbak Rindi pasti membutuhkan kamu, Mauli."

"Aku nggak bisa, Num!" Ucap Mauli cepat kemudian bangkit dari duduknya. "A-aku akan pergi ke luar kota untuk menjenguk bibiku yang sedang sakit."

"Tapi-,"

"Aku harus pergi." Pamit Mauli segera berlari menjauhi Hanum yang menatap aneh perilakunya.

"Mauli!" teriak Hanum. "aneh, kenapa dia seperti ketakutan begitu? Bukankah dia adalah orang pertama yang akan heboh mendengar sesuatu yang bersangkutan dengan Mbak Rindi?"

"Ayo, Num!" teriak mereka bersamaan.

"Iya," sahut Hanum.

"Kenapa Mauli aneh banget ya? Waktu aku ajak dia ke rumah Mbak Rindi, dia malah kabur begitu saja. Dan alasannya pun aneh, dia bilang mau ke luar kota untuk menjenguk bibinya yang sedang sakit, bukankah bibinya sudah meninggal?" tanya Hanum.

"Iya, sikapnya terlihat aneh setelah meninggalnya anak Mbak Rindi." Sahut Sinta sembari memoles lipstik merah maroonnya.

"Sudah, lebih baik kita segera pergi!" pungkas Dinda yang berusia lebih muda dari mereka semua.

🦭🦭🦭

"Mauli!"

"Tunggu, Mauli!"

"Kamu tidak mau bertemu Teh Rindi?"

"Ma-,"

Dugh

"Aww!"

Vita terjatuh saat mencoba mengejar Mauli yang berlari dengan ekspresi ketakutan saat melihatnya.

"Syukurlah! Aku bisa menghindari Novita," gumam Mauli di kejauhan.

"Aneh banget, bukankah dia orang terdekat Teteh, ya? Padahal aku mau tanya sama dia mengenai kondisi sekolah dan mengajaknya untuk bertemu dan menghibur Teh Rindi yang sedang bersedih."

"Mbak nggak papa?" tanya laki-laki yang berdiri tak jauh dari Vita.

Vita masih terduduk dan tidak menyadari keberadaan laki-laki itu. Dia malah sibuk berceloteh dan menerka-nerka sikap Mauli tadi, hal itu membuat laki-laki di depannya sedikit menarik sudut bibirnya.

"Astaghfirullahaladzim! Teteh, aku lupa kalau nggak boleh terlalu lama meninggalkan dia." Pekik Vita segera berdiri dari duduknya.

Baru saja ingin berlari kembali ke rumah Novan, seseorang menghentikan langkahnya.

"Tunggu!"

Vita berbalik badan.

"Kamu Vita, adiknya Novan, kan?"

Vita mengangguk. "Mau ke rumah Abang? Mari, bareng Vita ke sana!"

Rumah Novan

"Mau ngapain, Dik?" Tanya Novan yang sedari tadi mengikuti langkah Rindi yang bolak-balik pergi antara kamar dan dapur.

"Dik,"

Rindi menghentikan langkahnya sebentar sebelum berlari lagi ke dapur. "Sebentar, Mas!"

"Kamu mau ngapain?" Tanya Novan lagi yang melihat Rindi berkutat dengan botol susu bayi.

"Aku mau mompa ASI, Mas. Ini waktunya Zain minum ASI, pasti dia sedang kehausan sekarang." Jawab Rindi seraya tersenyum ke arah Novan.

Mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Rindi itu membuat hati Novan tersayat.

"Aku mau memberikan ini kepada Zain." Tutur Rindi sembari menunjukkan botol susu yang sudah terpenuhi isinya.

Novan mencekal lengan Rindi dan memaksanya untuk menghadap ke arahnya. "Sampai kapan kamu akan seperti ini? Zain sudah tiada, anak kita sudah meninggal, Dik. Kamu harus mengikhlaskan di-,"

"Nggak!" Sentak Rindi melepaskan cekalan di lengannya. "Mas bicara apa? Zain masih hidup, Mas. Anak aku masih hidup, dan sekarang aku akan memberikan dia ASI!"

Dengan cepat Novan meraih tubuh Rindi dan memeluknya erat hingga botol susu itu terjatuh ke lantai. "Sudah, Dik! Mas mohon hentikan semua ini! Berhenti bertindak seolah Zain masih hidup. Dia sudah tiada, Rindi, anak kita sudah tiada. Kamu harus mengikhlaskan dia agar dia tenang di sana!"

Rindi mencengkeram kuat kaos yang dikenakan Novan hingga kusut, kemudian ia mulai menangis mengingat kenyataan pahit itu.

Rindi melepas pelukan sang suami dan menghapus air matanya secara paksa. "Kenapa? Kenapa Allah tega mengambil anak aku, Mas? Kenapa Dia tega mengambil seorang bayi kecil yang tak berdosa dari pelukan ibunya, kenapa? Jawab aku, Mas?!"

Novan tak kuasa menahan tangisnya. "Istighfar, Dik! Istighfar!"

"Kamu nggak boleh berkata demikian! Itu sudah menjadi kehendak Allah dan kita harus menerimanya!"

Tubuh Rindi beringsut ke bawah. "Zain ..., anaknya bunda. Bunda kangen sama kamu, Nak."

Dengan cepat Novan memeluk tubuh sang istri dan menenangkannya.

Novita, Umma, dan Abi yang melihat itu hanya bisa menatap sendu ke arah mereka. Mereka pun sama merasakan kesedihan dan kehilangan sosok Zain kecil yang menggemaskan itu.

"Aku mencurigai satu orang. Jika benar dia yang melakukannya, aku akan membuat perhitungan dengannya!" gumam Vita.









Sampai jumpa di part selanjutnya 💙

DIA IMAMKU (End-Tahap Revisi)Where stories live. Discover now