Takdir Allah

603 62 4
                                    

Sukai sewajarnya dan bencilah sewajarnya, akan tetapi kalau bisa jangan terlalu membenci karena itu tidaklah baik!

Happy reading ☺️
.
.
.
.
.
.
.

Rindi mencoba untuk membangunkan Zain lagi, akan tetapi Zain tak kunjung membuka matanya. Rindi menepuk pelan pipi Zain dan tiba-tiba keluar busa dari bibir mungil Zain.

"Zain bangun! Bangun, Sayang!" Rindi mengusap busa yang terus menerus keluar dari bibir Zain.

"Kamu kenapa, Sayang! Ayo, bangun! Waktunya minum ASI, Zain."

"Anak Bunda yang tampan, bangun, Sayang! Ayo, Zain! Bangun!"

Zain tak kunjung membuka matanya, sedangkan busa itu terus saja keluar dari bibir mungilnya. Hal itu membuat Rindi panik, tetapi ia mencoba untuk berpikir positif dan berusaha membangunkan sang anak lagi.

"Zain ..., bangun, Sayang! Bunda kangen sama kamu, lho. Buka mata kamu, Zain! Apa kamu tidak lapar, hm?"

"Bangun, Sayang! Bangun!"

"Sayang ..., ba-bangun! Bunda mau lihat ka-kamu buka mata, Sayang! Bangun, Zain ..., bangun!"

Vita merasakan sesuatu yang mengganjal, untuk itu ia berlari untuk menemui Rindi dan Zain. Tiba di sana, langkahnya terasa berat, napasnya tercekat, dan pandangannya terpatri menatap iba Kakak iparnya yang terus menerus memanggil dan mencoba membangunkan sang anak dalam gendongannya yang tak kunjung membuka matanya.

"Sayang, bangun! Bangun, Zain!" Rindi menepuk pipi Zain pelan kemudian dikecupnya setiap inci wajah sang anak. Namun, Zain tetap tak kunjung bereaksi apa pun. "Bangun, Sayang! Bunda kangen sama kamu. Bangun, yuk!"

"Te-telepon Dokter, cepat!" pekik Vita.

Semua orang berhamburan ke dalam setelah mendengar pekikan dari Vita. Seluruh pasang mata sekarang tengah menatap ke arah Rindi. Mata sembap, cadar yang basah karena terkena air mata yang terus saja mengalir, dan tubuh yang gemetar.

"Rindi!"

Dengan cepat Aliya menahan tubuh Rindi yang hampir terjatuh bersama dengan Zain dalam gendongannya. Kemudian ia menuntun Rindi untuk duduk di sofa yang tak jauh dari situ.

Beberapa waktu berlalu, kini datanglah seorang Dokter dengan langkah besarnya, di belakangnya ada Novan yang sudah panik bukan main, mulutnya tak henti-hentinya mengucap istighfar.

"Permisi, Bu! Biar saya periksa dahulu!"

Setelah memeriksa keadaan Zain, Dokter itu terdiam.

"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?"

Dokter itu tak menjawab, ia hanya memandang ke arah Rindi dengan tatapan iba.

"Jawab saya, Dokter! Anak saya baik-baik saja, kan?" tegas Rindi.

"Istighfar, Nduk!"

Rindi memandang sang Umma. "Umma, tolong cubit Dokter ini! Kenapa daritadi dia diam saja?"

"Kenapa dengan anak saya, Dok?"

Kali ini Novan yang angkat bicara. Dirinya benar-benar khawatir akan kondisi sang anak, padahal menurutnya baru saja Zain tertawa dalam gendongan Novita, tetapi sekarang kenapa dia diam saja seperti itu.

"Anak Bapak ...," Dokter itu menjeda ucapannya. "Anak Bapak dan Ibu sudah tiada."

Deg

Seketika tubuh semua orang terasa lemas, mereka masih tak menyangka dengan kejadian ini.

DIA IMAMKU (End-Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang