Chapter 19 - Gaya Implusif

609 184 57
                                    

Sagi cukup menunggu lama di luar restoran. Ia sudah menduga, Fisika pasti sedang berbuat sesuatu yang lain selain membayar makanan. Sagi jadi merasa menyesal membiarkan wanita itu pergi membayar sendiri. Akan tetapi, sebelum Sagi sempat beranjak  pergi memeriksa. Fisika telah berjalan keluar dengan senyum yang tercetak jelas pada wajahnya.

"Apa yang lo lakukan sampai lama seperti ini?" ujar Sagi penasaran.

"Gak ada. Ayo, Baginda. Katanya mau menjenguk Izar."

Rasa-rasanya Sagi ingin mengetuk kepala Fisika. Tetapi dia harus sabar, makhluk yang ia hadapi adalah seorang wanita. Tidak sepantasnya, ia melakukan hal seperti itu.

Dengan berjalan memperhatikan Fisika dari belakang. Sagi bisa melihat bahwa Fisika selalu tersenyum memandang kota Bern.

Fisika selalu tampak semangat dan antusias melihat setiap toko yang mereka lewati. Mulai dari sebuah butik yang diperuntukkan untuk kaum bangsawan, toko cendera mata, toko barang antik, toko perhiasan, toko permen, toko sepatu dan bahkan toko bunga. Senyum Fisika tidak pernah pudar.

Mereka melewati melewati musisi jalanan yang sedang meniupkan suling dengan keramaian kecil, tak luput pula dari pandangan Fisika kereta kuda yang ditarik oleh kusir.

Sagi termanggu, wanita tersebut ... selalu tersenyum untuk hal-hal sederhana yang ia temui.

.
.
.

"Bigbos," keluh Izar dengan suara serak. Ia telah siuman, sekaligus merasa menyesal membuat misi menjadi kacau. Pria tersebut sebenarnya berusaha turun sebelum Sagi dan Fisika datang menjenguk. Tetapi telah ditentang keras oleh Kakek Abam terlebih dahulu.

"Lo istirahat saja. Ini permen segala rasa. Tadi gue beli di abang-abang luar. Katanya mujarab buat orang sakit."

Fisika memberikan sebuah permen lolipop bertangkai pada Izar. Awalnya Izar ragu dengan permen tersebut. Seolah dia sudah bisa merasakan rasanya dari melihat permen tersebut dari luar.

"Thanks, ya?" balas Izar. "Tapi, lo dapat uang di dunia ini dari mana?"

"Ngepet. Gue yang jalan, Sagi yang jaga lilin." Dia menunjuk Sagi. "Ahahaha. Gak bercanda, kok."

Tawa Fisika meledak. Tetapi berubah melihat wajah Izar yang pucat mendadak jadi lebih parah dari sebelumnya. Seakan-akan dia baru saja melihat setan telah menampakkan diri atau barangkali malaikat maut di dunia tersebut.

"Gue bercanda." Fisika menepuk bahu Izar guna menenangkan. "Gak usah dianggap serius, dech."

Izar tidak berani tersenyum. Jenis ketakutan yang ia pikirkan adalah hal lain. Masalahnya, jika Sagi tahu apa yang sedang dibahas Fisika. Sang Kaisar mungkin akan mendepak Fisika untuk pulang ke rumahnya sekarang juga dan bisa fatal jika pria itu memberi kutukan pada sahabatnya.

"Ngepet? Gue gak ngepet," seru Sagi polos. "Wanita ini sedang meminjam uang dariku."

Izar bisa bernapas lega. Tetapi senyum yang terbit di bibirnya masih tampak canggung. Mendadak, Izar jadi memiliki perasaan tidak enak kalau harus membiarkan dua orang beda jenis ini bersama dalam waktu lama.

"Bigbos, gue udah baikan. Tolong bilang sama tabib tua itu untuk izinkan gue untuk pulang." Izar merengek dengan wajah memohon. Tetapi Sagi menggeleng tegas.

"Lo harus istirahat selama seminggu. Itu aturannya, mulai besok gue dan Fisika akan memulai penyelidikan. Gue udah berjalan berkeliling tempat ini. Tetapi seperti yang lo kemukakan sebelumnya, bahwa keberadaan mana Flower Winter sangat tipis untuk dirasakan. Ini akan jadi sangat sulit untuk melacak."

Fisika tidak tahu harus berkata apa. Jika Sagi sulit untuk merasakannya. Berarti misi di dunia ini barangkali akan lebih lama dari sebelumnya.

"Itu, tidak apa-apa kah? Soalnya di dunia paralel sebelumnya ada tenggat waktu," seru Fisika. Ia menatap cemas pada Izar yang tengah bersandar di tempat tidur.

Kuanta (End)Where stories live. Discover now