Chapter 35 - Vaksin

354 108 17
                                    

"L- Lo malaikat?" kata Libra terbata. Sihir yang dimiliki Fisika membentuk zirah berkilau keemasan yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Saat ia mendekati Libra, kubah yang tercipta semakin kokoh melindungi mereka.

"Dewi?" tanya balik Fisika. Ia menarik tangan Libra dan menjauh dari tempat itu. Benak Fisika membayangkan energi listrik dan petir Sagi membakar zombie-zombie dan benar saja. Petir dari langit yang cerah menyambar para pemakan otak yang ingin mengejar mereka.

Bunyi dentuman, kilatan dan aroma daging hangus terbakar menyeruak dengan kuat. Zombie-zombie terkapar bagai ikan yang dibakar hingga hangus tak tersisa. Yang selamat, mencoba merayap dari tempat sambaran.

Keduanya terus berlari ke depan. Sesekali Libra menoleh ke belakang menatap tanah yang berubah kehitaman dengan asap yang mengepul dan melirik pada garis wajah Fisika yang tampak cemas dari samping. Direkamnya baik-baik ingatan tentang kejadian hari ini.

Napas Fisika tersenggal-senggal saat mereka berhenti untuk menarik napas dibalik pos polisi yang telah ambruk sebagian. Dindingnya hancur, jendela kaca pecah dan tegel berantakan. Serta penuh dengan noda darah yang telah mengering.

"Biar kulihat."

Jantung Fisika berdegup kencang. Tangan kanan Libra mengusap jejak air mata di bawah pelupuk mata rembulan milik sang Kaisar Malakai.

"Lo ini siapa sebenarnya? Malaikat atau Dewi?"

"Dewi," sahut Fisika, "lo bebas mau yang mana. Apa sekarang sudah aman?"

"Harusnya gue yang tanya seperti itu sama lo." Libra memandang jalan yang baru mereka lalui. Tidak ada tanda-tanda Pemakan Otak mengejar mereka. Lalu ke arah jalan raya yang tampak lenggang dengan debu yang berterbangan dan sisa-sisa sampah plastik. "Gue rasa aman. Thanks udah nolongin gue."

Fisika menggeleng. "Gue yang harus bilang itu sama lo. Lo mau mengorbankan diri demi cewek misterius kayak gue. Yeah, berasa banget gue ini jadi cewek fiksi ya? Heheh."

Alis Libra bertaut bingung, melihat Fisika yang masih tetap cengengesan di situasi seperti ini. Tetapi, wajahnya kian terlihat memucat.

"Lo masih kuat? Supermarket di sekitar sini sudah kosong. Untuk bertahan hidup, kita harus merampok dari bangunan-bangunan kosong yang lebih jauh dari sini."

Fisika menghapus peluh di sekitar pelipisnya dengan punggung tangan.
"Yap, gue baik-baik saja. Tapi, dari pada itu. Apa lo tahu toko pertanian di dekat sini?"

"Kurasa 2 km berjalan kaki dari sini, zombie-zombie ini mungkin sedang memangsa seseorang. Jalanan terlalu lenggang itu aneh. Kenapa?"

"Tidak apa-apa."

Fisika mengikuti arah pandangan Libra. Aspal rusak di beberapa sisi, lampu jalan yang pecah, tiang-tiang roboh, mobil-mobil dibiarkan tergeletak dengan kaca-kaca yang telah pecah. Bau-bau kesuraman seolah terendus di indra penciuman.

"Ayo, Fisika."

Libra menepuk punggung Fisika. Ia menuntun gadis itu untuk mengikuti langkahnya. Mereka mulai berjalan di trotoar jalan. Matahari bersinar cerah, seolah tidak terpengaruh oleh bencana yang ada di bumi.

Kota mati, Fisika membantin. Ia berjalan sedikit lebih dekat kepada Libra. Dia kepikiran, apa semuanya akan baik-baik saja jika dia memotret beberapa sudut. Namun, menyadari bahwa suara lensa kamera bisa memanggil kawanan zombie. Fisika rasa itu ide yang buruk.

Sejam mereka berjalan tanpa ada gangguan berarti. Fisika mulai kepanasan dan tentu saja haus. Lalu mendadak Libra menyeberangi sebuah jalan. Ruko-ruko dengan kondisi kosong, hancur dan benda-benda berceceran dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya.

Kuanta (End)Where stories live. Discover now