Chapter 38- AIR & SHAREit

458 124 18
                                    

Tidak ingin membuang satu hari berlalu begitu saja. Detik itu juga, Sagi dan Izar mempersiapkan keberangkatan mereka.

Alora hadir di kamar Sagi didampingi Elf yang disuruh berjaga di luar kamar. Ia memberontak karena sebelumnya tidak diizinkan untuk bergabung.

"Aerglo, kau yakin? Tinggalah sementara waktu di Malakai. Akan ada pertemuan kenegaraan yang bisa kau hadiri untuk meyakinkan para pejabat daerah."

Alora berusaha sekuat tenaga meyakinkan Sagi. Tetapi pria itu tidak ingin membuang waktunya. Persiapan hampir berakhir, dia siap bersama Izar kembali ke Karta.

"Seperti sebelumnya," kata Sagi, "Malakai akan kutitipkan pada Kakak. Flower Winter dan Fisika tanggung jawabku."

"Rakyatmu dan kekaisaran adalah kuasamu. Itu juga tanggungjawabmu, Aerglo." Alora tidak mau kalah.

"Flower Winter dan Fisika adalah bagian kekaisaran. Sementara aku menyelamatkan mereka. Kakak bisa menjaga tanah Malakai."

Alora memijat pelipisnya. Bisa-bisa, Elf yang akan jadi alih waris kalau Sagi tidak kunjung menampakkan diri. Kekaisaran belum tahu bahwa Flower Winter lenyap. Tidak, barangkali para pembelot mengetahui hal ini. Namun mereka menunggu waktu yang tepat untuk menggelar pertunjukan.

"Aerglo." Alora masih mendesak sang Adik untuk tetap tinggal. "Flower Winter, aku tahu benda itu sangat berharga bahkan kau pun harus turun tangan. Tapi ... tidak bisakah kau tinggal sebulan saja?"

Ujung bibir Sagi tertarik tipis. "Aku bisa gila saat itu terjadi."

Terdengar bunyi ketukan pintu dari luar. Elf membuka pintu untuk mengintip ke dalam.

"Biasalah, Mam. Paman mabuk cinta. Orang muda punya biasa. Aku heran, kenapa tahta bisa jatuh pada pria bucin seperti Pamanku ini? Ckckkc."

Elf tersenyum lebar lalu menutup pintu kamar kembali. Alora menggeleng, namun Sagi menatap Kakaknya dengan sangat dalam nan menusuk.

"Aku pergi." Sagi menekan tombol power pada aplikasi AIR. Izar yang sedari tadi diam dan menyamakan keberadaannya seperti ilalang yang bergoyang pun turut menekan tombol power.

Gelombang tercipta dan keduanya tersedot dalam celah lapisan dimensi yang terbuka.

.
.
.

Fisika meraih botol air mineral yang tergeletak di dekatnya. Ia meminum air tersebut hingga tandas. Selain haus, ia juga merasakan perih melilit perutnya. Libra masih belum kunjung menampakkan diri.

Fisika cemas, jika ia harus bertahan hidup di tempat seperti ini. Ia tidak berdaya, butuh waktu untuk mengumpulkan semua mana-nya kembali. Fisika berharap, Sagi tetap baik-baik saja. Walau nyatanya, dia juga merasakan apa yang sedang Fisika rasakan.

Bunyi gemerisik dari pintu yang dipaksa terbuka mengalihkan atensi Fisika untuk bersikap waspada. Saat rambut pirang Libra mencuat dari celah-celah pintu. Fisika bernapas lega.

"Libra? Oh, Dewa! Gue pikir lo meninggalkan gue sendirian."

Libra merasakan dadanya bergemuruh. Ia senang melihat Fisika telah siuman. Walau memang, perawakan dirinya masih terlihat pucat. Wanita ini butuh nutrisi.

"Lihat!" Libra menunjukkan kantong plastik. "Aku menemukan beberapa makanan kaleng untuk makan malam kita."

"Makan malam?" Alis Fisika bertaut bingung. "Berapa lama gue pingsan?"

"Seharian dan hari telah senja di luar.

Fisika menghela napas berat. Waktu terasa begitu cepat berlalu. Ia menatap makanan yang didapatkan Libra. Ada daging kornet, ayam dan kalengan yang masih bisa dimakan.

Libra mengumpulkan setumpuk sampah, lalu mulai membakarnya pada lantai semen yang telah hancur. Ia akan memanaskan semua makanan tersebut untuk dimakan selagi hangat.

"Sekarang bagaimana?" Fisika mencoba duduk bersila di lantai, sembari menatap Libra membuka tutup kalengan dan memanaskannya di atas kobaran api kecil.

"Gue telah membuat lo kesusahan, Libra. Pria bernama Haruto akan mencari lo gara-gara gue."

Libra mengaduk-aduk daging kornet menggunakan sendok yang ia temukan di belakang loker supermarket agar matangnya merata.

"Jangan terlalu dipikirkan. Biarkan saja dia. " Libra menurunkan kaleng kornet. Lalu menggantinya dengan memanaskan ayam kare kalengan.

"Setidaknya lo bertanya keterlibatan gue dengan Haruto." Libra menoleh menatap lekat wajah Fisika dalam bayang-bayang langit sore yang terpantul dari ventilase minimarket.

"Haruskah? Gue tidak yakin harus bertanya latar belakang seseorang."

"Hmm." Libra bergumam. "Lo sempat mengingau dengan menyebut nama seseorang dengan panggilan Baginda. Apa dia seorang pria? Apa dia sama sepertimu? Seorang Dewa? Dewa Petir?"

Fisika tidak bisa menyembunyikan rasa gelinya. Tidak buruk juga, jika Libra menganggap Sagi adalah seorang Dewa Petir. Lalu dalam sekejap senyum Fisika menghilang.

"Lo bisa menyebutnya seperti itu."

Libra mengganguk dan kembali sibuk memanasi semua makanan. Ia menambahkan beberapa potongan sampah untuk menjaga api tetap menyala. Setelah semuanya matang, ia menyajikan makanan tersebut kepada Fisika.

"Makanlah yang banyak. Lo perlu energi bukan? Menghasilkan sihir sebesar tadi membuat lo kian bertambah pucat."

"Makasih," ujar Fisika kikuk saat menerima sekaleng ayam kare. Makanan kalengan ini memiliki wangi yang harum dan mengunggah selera. Fisika menyantap sepotong dan menguyahnya pelan.

Sesaat, tidak ada yang berbicara. Mereka sama-sama menikmati santapan tersebut. Selagi makan, Fisika kepikiran sebuah ide.

"Libra ... apa lo punya ponsel?" Fisika tidak yakin dengan rencana ini. Jika Libra menjawab iya. Maka ia bisa saja menggunakan aplikasi AIR.

Benda tersebut pasti bisa di koneksikan dengan ponsel mana pun. Hal yang pasti, mereka masih memiliki apk SHAREit. Fisika merasa begitu bodoh, tidak memikirkan ide ini dari awal. Walau ia sadar, saat Izar mengetahuinya. Pria itu akan menghabisi Fisika karena berani menyebar aplikasi untuk membuka celah dimensi dunia paralel.

"Tidak, ponsel gue udah rusak cukup lama? Kenapa? Lo butuh ponsel?"

Fisika mengganguk takzim. "Yap, gue mau hubungi keluarga gue."

Libra termenung sebentar. Fisika harap-harap cemas menunggu keputusan pria bermata cokelat ini.

"Fi," kata Libra dengan sebuah seringai. "Kayaknya gue harus masuk kadang singa jika ingin memberi lo ponsel baru. Ada sebuah perkampungan kecil yang memiliki benda yang kita cari. Kartu sim baru pun bisa kita didapatkan di sana."

Fisika seolah mengerti maksud perkataan Libra.

"Enggak perlu. Gue enggak ingin pergi ke area yang membuat gue dan lo bertemu Haruto. Apa kita bisa ke tempat lain? Dunia di dalam benteng?"

Libra menggeleng. "Semua penghuni yang berada di sini. Dianggap sebagai orang dengan kontak infeksi penularan cukup tinggi."

"A- Apa? Tapi kalian tidak terinfeksi. Kalian semua terlihat tampak biasa saja."

"Benar," sahut Libra, "sekilas memang seperti itu. Tapi ini keputusan pemerintah. Hanya anak-anak yang d izinkan masuk ke sana. Usia di atas  15 tahun dilarang masuk ke area karantina bersih."

Fisika tampak frustasi. Sedetik lalu, ia merasa cukup yakin bisa bertemu kembali dengan Sagi saat bisa mengirimkan apk AIR melalui SHARETit ke pengguna lain. Sekarang, harapan tersebut lebur dalam keputusasaan.

"Libra." Fisika menatap wajah Libra begitu serius. "Aria Corporation, apakah sebuah perusahaan medis yang beroperasi di area kontaminasi?"

"Ya, mereka di sini. Namun mereka juga memiliki akses keluar masuk dengan keamanan super tinggi."

Fisika mengganguk takzim.

"Jika gue bisa menciptakan penawar pada zombie-zombie ini. Apa orang-orang di Aria Corporation mau memberikan gue ponsel?"

Libra agak bingung dengan maksud kalimat Fisika. "Lo ingin melakukan barter penawar virus anti zombie dengan sebuah ponsel?"

"Yeah! Tentu saja. Gue butuh ponsel agak bisa pulang ke rumah."

Kuanta (End)Where stories live. Discover now