Chapter 34- Libra

353 123 24
                                    

"Aneh ya?"

Fisika merasa malu. Entahlah dia merasa cukup minder. Gelarnya hanya sebatas itu, belum mencapai apoteker. Butuh biaya lebih jika ingin melanjutkan gelar pada profesi tersebut.

"Apa lo bisa bantu gue?" Libra berubah lebih serius. "Terakhir kali gue mendengar kabar ini. Semua praktisi kesehatan mendapatkan akomodasi dan perlindungan dari pemerintah untuk menemukan penawar. Tapi gue enggak yakin, ini cuma konspirasi belaka. Dua tahun berlalu dan dunia semakin suram."

Fisika terdiam, bingung mau menjawab apa. Ia membiarkan Libra untuk menyelesaikan kalimatnya.

"Selama ini, gue cuma punya satu tujuan hidup. Gue tidak ingin mati konyol gara-gara digigit zombie. Dengan kehadiran lo di sini, Fisika. Gue harap lo bisa bantu gue buat penawarnya."

Libra mengarahkan pandangan matanya ke arah luar. Seperti ada luka yang tersembunyi dalam binar mata cokelat Libra.

Fisika mengerti perasaan itu, hidup terlunta-lunta dengan kecemasan tentang hari esok. Semua orang berusaha bertahan hidup dalam dunia yang kacau balau.

Dia merindukan keluarganya, merindukan Sagi dan Izar. Fisika yakin, apapun yang terjadi. Sagi akan datang menyelematkannya. Tetapi Fisika tidak pernah tahu, berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk kembali bersama mereka.

Saat ini tidak ada pilihan lain. Ia harus tetap hidup di dunia ini. Fisika merasa bisa mempercayai Libra. Mau siapa lagi selain pria dengan tindik di telinga ini. Beban di pundak kian terasa berat.

"Istirahatlah," tukas Libra, "lo perlu waktu. Besok pagi kita akan membicarakan ini lagi."

Fisika hanya mengganguk. Libra pergi dan masuk ke dalam kamar. Ia membiarkan pintu tetap terbuka.

Tanpa sepengetahuan Libra. Fisika meraih ponsel dari dalam mana. Ia mengetik sebuah pesan pada Izar dan di saat yang bersamaan. Ia baru sadar bahwa, nomor Sagi sama sekali tidak di ketahuinya.

Halo, Izar.
Gue harap pesan ini bisa terkirim kepadamu.

Cepat jemput gue ya? Baginda bagaimana? Apa dia baik-baik saja

Gue terlempar ke paralel lain, apa F5 ya? Ini dunia penuh zombie. Gue lebih takut zombie dari pada setan.

Gue baik-baik aja, iya hari ini. Enggak tahu hari esok.

Fisika menghela napas berat. Ia memaksa kembali untuk tertidur. Berusaha meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.

Pagi berikutnya, Fisika terbangun oleh aroma nasi yang ditumis oleh Libra. Dia menggunakan tabung gas elpiji 3kg yang masih bisa ia temukan di antara puing-puing bangunan.

Fisika pergi membersihkan diri di kamar mandi. Air dalam keran tetap mengalir, ia membasuh wajah dan menatap bagaimana keadaan dirinya di depan cermin. Rambut acak-acakan, kulitnya sedikit pucat tanpa cream pencerah wajah, bibirnya pun terlihat kering.

"Tidak buruk." Fisika berkata sendirian. "Keramas dan mandi akan memperbaiki semua."

Ia kembali keluar dari kamar mandi. Aroma nasi goreng dengan telur ceplok membuat cacing-cacing di usus Fisika merontah-rontah.

"Sarapan." Libra menyajikan makanan di atas meja betaplak putih polos. Ada aroma menthol yang tercium dari wangi tubuh Libra. Fisika merasa ganjil, diperlakukan begitu istimewa. Benak Fisika membayangkan pria di hadapannya adalah Sagi.

"Fisika?" panggil Libra. Lamunan Fisika buyar.

"Ah, iya. Selamat makan." Dengan kikuk, Fisika menarik kursi dari bawah meja. Ia berdoa sekejap, lalu mencicipi masakan Libra. Perpaduan rempah-rempah yang meresap dalam butiran nasib rasanya benar-benar menggungah selera makan.

Kuanta (End)Where stories live. Discover now