Chapter 40- End

542 108 44
                                    

Bulan menjadi sumber penerangan di langit kota Jakarta yang penuh kiamat zombie.

Fisika dan Libra duduk dengan canggung setelah membicarakan soal mendapatkan ponsel. Fisika hanya tidak menyadari bahwa kepala Libra penuh dengan berbagai hal rumit yang sedang ia pikirkan.

Akan kurang logis, jika dia mau berjuang demi seorang wanita yang baru ia temui. Itu kasus yang jarang terjadi. Libra diam-diam melirik ke arah Fisika yang sedang menjaga nyala api tetap terjaga.

Suhu udara di bekas minimarket itu cukup dingin dan mereka tidak memiliki selimut yang tebal untuk melindungi tubuh.

"Fisika," ujar Libra setelah meyakinkan diri untuk memulai topik pembicaraan. "Gue ... gue janji akan bawa lo ke keluarga lo. Tapi, ada satu yang sangat menggangu pikiran gue. Kalau lo keberatan, gue enggak akan tanya masalah ini."

Fisika agak bingung dengan arah pembicaraan Libra. "Oke, soal apa?"

"Kalau lo seorang Dewi. Mengapa lo butuh ponsel?"

Hening sejenak. Fisika mengerjab memandang Libra tanpa ekspresi. Wanita ini juga bingung, menjelaskan duduk permasalahannya. Fisika juga mendadak menjadi ragu. Bagaimana jika Libra mengetahui ada dunia yang bersih tanpa zombie? Apa dia akan meminta paksa ikut bersama Sagi dan Izar? Fisika cemas sekaligus frustasi.

Libra yang menyadari gelagat Fisika dari cara mengigit bibir bawahnya menghela napas dan mencoba mengalah dengan rasa ingin tahunya.

"Enggak usah dijawab, kalau lo enggak bisa."

Fisika tersenyum getir. Dia memutuskan tetap menjawab, "anggap aja gue penyihir. Terlalu tinggi kalau gue bilang, gue adalah Dewi. Penyihir juga butuh ponsel, karena gue juga masih manusia."

Libra agak tidak menduga jawaban yang diutarakan Fisika. Dia terhenyak sebentar, sambil memikirkan balasan yang bijak terkait pengakuan Fisika.

"Penyihir itu nyata?"

"Seberapa kurang yakin, lo terhadap penyihir?" Fisika balik melempar tanya.

"Tidak yakin jika zombie itu nyata." Libra mengungkapkan. "Tapi melihat dunia sekarang, kurasa semuanya mungkin terjadi."

Fisika mengganguk setuju, seperti itulah dunia. Mata wanita itu kembali terarah pada nyala api unggun. Malam kian larut, tetapi Fisika masih tidak ingin tertidur. Dia sudah terlalu sering melakukannya.

"Lo bisa tidur duluan." Ia berseru pada Libra yang menatapnya bingung.

"Tidak, gue belum ngantuk. Lo aja, Fis. Lo butuh banyak istirahat."

Mereka berdua saling berdebat. Awalnya semua sama-sama terjaga. Namun lepas tengah malam, keduanya tertidur dengan dengkur yang sama-sama teratur.

...

Pagi tiba dan tidak ada hal yang aneh atau berubah secara signifikan. Libra dan Fisika telah berencana ke sebuah perkampungan kecil yang bisa membawa mereka mendapatkan sebuah ponsel.

Sarapan ala kadarnya berlangsung singkat. Sisa-sisa api semalam di padam hingga benar-benar mati. Di luar pom bensin terbengkalai, cahaya matahari seolah membawa harapan kehidupan akan lebih baik dari sebelumnya.

Libra menuntun Fisika berjalan di tepi trotoar. Mereka tidak berbicara banyak, hanya berjalan dalam diam sembari memperhatikan puing-puing bangunan yang lusuh dan terbengkalai.

Burung-burung liar terbang dari kabel listrik ke kabel lain. Angin pagi berembus sepoi-sepoi. Fisika mencoba merekam semua pemandangan tersebut dalam pikirannya baik-baik.

Rumput-rumput liar yang hidup dari celah-celah aspal rusak, akan menjadi bagian dari riset kepenulisan Fisika, setelah semua ini berakhir.

"Berapa lama lagi kita berjalan?" tanya Fisika

Kuanta (End)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt