Chapter 26- Vektor

502 159 29
                                    

Fiska buru-buru membekap mulutnya sendiri dan segera memalingkan wajah dengan cepat. Dia benar-benar malu. Sagi benar, Fisika terlalu jelas memperlihatkan ketertarikannya.

"Cowok fiksi?" gumam Sagi. "Seberapa keren cowok fiksi, Heera?"

Fisika tidak lagi merasa panas pada wajahnya. Hawa panas tersebut, perlahan menjalar dari wajah dan turun ke seluruh tubuh melewati setiap aliran darah. Semakin kencang jantung memompa, ia seolah semakin membakar rasa panas dalam tubuh Fisika.

"Heera? Cowok fiksi?" Fisika bergumam lirih. Pertama, Fisika cukup terkejut mendapati Sagi memanggil nama tengahnya. Kedua, bagaimana bisa Fisika menjabarkan sosok sempurna cowok fiksi pada pria yang rupanya benar-benar serupa dengan cowok fiksi pujaan Fisika.

"Jadi?" Sagi masih menuntut jawaban si penulis. Cahaya matahari perlahan menyoroti kabut. Hikuk-pikuk alam mulai mengalun indah menyambut sang fajar. Beberapa serangga terdegar bersorak senang dengan suara khas mereka.

"Cowok fiksi bagi gue ... adalah tipe yang sulit diungkapkan," ujar Fisika sambil menerawang pikirannya sendiri. "Penjabarannya hanya bisa dinarasikan dengan merasakannya sendiri."

Fisika menanti jawaban sang Kaisar. Tetapi Sagi justru tidak membalas apapun. Hanya hening orkestra pagi yang menggiring perjalanan mereka menembus hutan.

Melalui jalanan setapak. Fokus Izar mengarah ke segala sisi hutan. Sikapnya waspada akan kehadiran monster atau sekelompok makhluk yang bisa saja menyerang mereka dengan tujuan kejahatan.

Langkah kaki kuda di belakangnya masih terdengar jelas. Izar diam-diam mencuri dengar. Namun sayang, ia tidak mendengarkan informasi apapun yang cukup berarti.

Ketiganya terus berkuda melewati hutan. Terkadang-kadang, mereka menghentakkan tali kekang untuk mempercepat laju sang kuda berlari. Hingga saat matahati berada tepat di atas kepala, mereka harus berhenti guna beristirahat. Izar memutuskan untuk berbelok dari jalan setapak dan menembus semak belukar.

Fisika rasa Izar sudah sinting melakukannya. Meninggalkan jalan setapak, sama saja menuju kebodohan. Ketiganya akan tersesat dan jalur yang akan mereka lewati bisa saja jauh lebih berbahaya.

"Apa yang dilakukan Izar?" Fisika bertanya sambil menoleh ke belakang untuk menatap wajah Sagi.

"Mencari aliran sungai kecil. Kuda-kuda ini perlu minum. Lo pikir, hanya kita bertiga saja yang butuh asupan nutrisi?"

Rona merah jambu berpendar di kedua pipi Fisika. Ia menunduk, lalu merutuk diri Sagi di dalam hatinya. Persoalannya, ia tidak tahu jika itu adalah tujuan Izar. Manusia satu itu, sudah sejak kemarin mendiamkannya dan membalas ucapan Fisika dengan nada suara yang menunjukkan rasa tidak suka.

.
.
.

Ungkapan Sagi benar adanya. Ada aliran sungai kecil seperti sebuah selokan yang biasanya ada di depan setiap perkarangan rumah setiap komplek.

Air tersebut mengalir dengan begitu jernih. Dasarnya terdapat batu-batu bulat kerikil kecil berwarna putih. Lalu di sepanjang tepian penuh dengan semak dan rumput liar yang basah oleh aliran air.

Izar dan Sagi pun menuntun kedua kuda mereka untuk meneguk air sungai tersebut.

"Apakah aman jika kita meminum air mentah? Bagaimana jika nanti perut kita bertiga sakit? Atau mules?" tanya Fisika yang masih ragu untuk meneguk air dari aliran kecil tersebut.

Sagi dan Izar tampak tidak keberatan mengisi botol air minum mereka masing-masing langsung dari sumbernya.

"Fisika," tegur Izar dengan wajah masih masam seperti habis memakan asam jawa. "Lo pernah dengar pepatah tidak? Jika ada aliran air dan ada seekor kuda yang meminum tempat tersebut. Dipercaya, aliran air itu baik untuk dikomsumsi. Karena apa? Kuda hanya meminum air yang terbaik."

Kuanta (End)Where stories live. Discover now