Penegasan cinta

11 5 0
                                    

Sinar mentari menembus masuk melalui kaca bertiraikan putih di dalam kamar. Lamat-lamat Ayra membuka mata, tersentak kecil dengan kehadiran Revan di sampingnya, begitu terlelap tidur, satu tangan kekarnya memeluk pinggang Ayra.

"Sejak kapan aku bisa tidur di sini? Apa mungkin Mas Revan yang pindahin aku? Makanya sekarang kita bisa satu tempat tidur kayak gini?" monolog Ayra dalam hati.

Ayra merundukan mata melirik setengah tubuhnya diselimuti dengan selimut tebal hangat, sebelum berganti melihat penampilan Revan, bahkan sarung yang digunakan sebagai selimut tadi malam kini melilit di pinggang lelaki itu.

"Mas Revan bangun malam tanpa aku?" sesal Ayra membatin.

Perasaan haru, menyesal dan patah hati sepagi ini sudah berbaur di dalam hati Ayra menjadi satu. Sebab kesalahpahaman yang semestinya dapat diselesaikan dengan cara baik-baik bukan dengan cara saling diam mengutamakan ego masing-masing takkan mungkin sampai membuat hubungannya berjarak seperti semalam.

"Aku minta maaf Mas, semalam pasti kamu kedinginan," batin Ayra.

Pelan-pelan di turunkannya lengan kekar Revan yang melingkari perut. Ayra beringsut menjauh lalu menarik selimut dan menyelimuti Revan sampai batas dada.

Untuk beberapa detik, Ayra tersihir akan ketampanan alami yang terpancar dari wajah suaminya. Ayra tersenyum tipis, mencondongkan diri untuk mendaratkan morning kiss di sebelah pipi tirus Revan.

"Selamat pagi, Mas," bisik Ayra sebelum beranjak mencari kunci.

Hampir putus asa mencari sebuah kunci, rupanya benda mini itu tergeletak di atas sofa bekas tidur Revan. Ayra membuka pintu dan menaruh kunci kembali, sebelum memutuskan beraktivitas, terlebih dahulu mencuci wajah di kamar mandi dan ke luar dengan keadaan lebih segar.

"Orang sibuk memang beda bangun saja pasti kesiangan!" sindir Rere menyambut kedatangan Ayra ke dapur.

"Ma ..."

"Jangan panggil saya, Mama!" bentak Rere membuat Ayra mengatupkan mulut.

"Kamu sadar ini jam berapa, hah?!" sambung Rere.

"Ampun Nyonya, saya terlambat bangun," cicit Ayra menundukkan kepala.

"Sebagai hukumannya, kamu duduk di meja makan!" perintah Rere mengusir keberadaan Ayra.

"Ta--tapi Nyonya, saya harus masak menyiapkan sarapan pagi buat keluarga," bantah Ayra sambil geleng-geleng.

"Percuma! Kamu lihat, sekarang ada Alesya yang memasak untuk keluarga saya, sana pergi!" sergah Rere.

Ayra mendongak kaget baru menyadari keberadaan perempuan penyebab utama kesalahpahaman yang sudah terjadi.

Alesya melambai tangan ke arah Ayra dengan senyum menang di bibir. Mau tak mau Ayra putar arah mendudukkan diri di salah satu kursi menghadap meja makan.

"Apa yang ingin perempuan itu rencanakan kali ini?" Ayra bertanya-tanya dalam hati.

Tiga puluh menit berlalu lambat bagi Ayra yang menunggu makanan disajikan, sampai pada sesi kebetulan Atmaja datang, di susul Tasya sudah memakai seragam sekolah, terakhir Revan menutup kemunculan. Ketiga orang itu mengambil tempat duduk di sudut yang berbeda.

"Mana makanannya Ayra?" tanya Atmaja heran di atas meja tidak ada apa-apa.

Mulut Ayra terbuka sedikit, bingung harus menjawab apa sedangkan dirinya dari tadi hanya diam membatu tanpa ikut campur di dapur.

"Selamat pagi, semuanya!" seru Alesya muncul dari arah dapur dengan membawa dua piring berisi makanan.

"Pagi Alesya. Habis apa kamu dari dapur?" lontar Atmaja.

"Om, aku habis masak, aku harap kalian menyukai masakan buatan aku," jawab Alesya menaruh ayam goreng dan tumis kangkung di tengah meja.

"Kamu masak Ale?" tanya Revan membuka suara.

"Iya, Revan. Cobain deh, pasti kamu suka," kata Alesya.

Rere membawa nampan berisikan empat tumpukan piring berisi sajian berbeda.

Alesya mengambil alih, meletakkan satu per satu piring yang isinya lauk pauk. Atmaja diam menunggu piringnya diisi oleh istrinya, begitu pula Tasya menunggu mamanya mengisi piring untuknya.

"Aku masih ingat kalau kamu favorit banget makan sama ayam goreng bagian paha, ditambah lagi sama sedikit sambal goreng dan mentimun. Ini special buat kamu karena aku yang masak sendiri," celoteh Alesya disela mengalas makanan untuk Revan.

Sementara Revan menyorot Ayra yang terlihat membatu dengan genangan air mata di pelupuknya.

"Ada apa ini? Kenapa perempuan itu bisa tahu makanan kesukaan Mas Revan?" cemas Ayra dalam hati, benaknya berkecamuk.

"Istri yang baik adalah yang mampu berbakti pada suaminya, bukan begitu Pa?" cakap Rere menyinggung Ayra.

Atmaja tidak merespon sudah tahu maksud tersirat istrinya berusaha memancing emosi siapa pun yang mendengar.

"Revan, contoh istri yang baik salah satunya adalah Alesya. Tanpa di suruh pun, Alesya bersedia menyiapkan makan pagi untuk kita semua, tidak seperti pembantu lama yang pagi ini kesiangan bangun dan malah enak-enakan duduk di kursi," celetuk Rere semakin menjadi.

"Tante bisa saja," ucap Alesya malu-malu tapi senang.

"Memang benar Alesya, kamu adalah istri idaman bagi kaum lelaki. Tante harap kamu menjadi istri dari Revan, bukannya si pembantu tidak tahu diri ..."

"Cukup!" gertak Revan menggebrak meja sehingga semua orang terlonjak kaget menatapnya.

"Berhenti membanding-bandingkan istriku dengan perempuan lain! Mama pikir aku adem mendengar cibiran dan ejekan setiap hari, setiap waktu untuk Ayra? Aku tidak terima! Dia, istriku yang aku pilih dan Mama tidak seharusnya menjelek-jelekkan Ayra di depan penghuni rumah, apalagi sampai hati Mama ingin aku menjadi suami wanita lain!" marah Revan menatap tajam manik mamanya.

"Re-Revan," sebut Rere.

"Sebagai suami, aku tidak terima istriku dijadikan bahan perolokan siapa pun!" tandas Revan mendorong kursi lekas beranjak mendekati Ayra dan menarik pergelangan tangannya membawanya pergi dari meja panas tersebut.

Tasya, Rere termasuk Alesya dibuat kesal dengan sikap Revan hari ini yang justru membela terus pembantu itu.

Diam-diam Atmaja menyungging senyum mengapresiasi tindakan tepat putranya, membela istrinya dari orang-orang memiliki maksud terselubung dalam hati.

"Lepaskan aku, Mas," ronta Ayra disela ringisan pelan karena Revan terlalu erat mencengkram pergelangan tangan.

"Mas Revan!" ujar Ayra membuat Revan berhenti tepat di kamar mereka.

"Aku mencemaskan kamu, Ay, bisa enggak sekali saja jangan diam tanpa perlawanan saat di pojokan seperti barusan?" kesal Revan, melepaskan cengkraman nya.

Ayra kesakitan mengusap-usap pergelangan bekas cengkraman. "Aku baik-baik saja lagi pula enggak ada salahnya mama bilang kayak gitu. Memang adanya sejak awal aku perempuan tidak berpunya, seharusnya Mas Revan buka mata dan melihat bahwa sangat jelas aku ini terlahir dari keluarga sederhana yang jauh dari kata kaya raya berbeda seperti teman perempuan, Mas itu!" ungkapnya bersikap sadar diri.

"Omong kosong! Mereka sengaja mengatakan hal-hal buruk tentang kamu, Ay. Kasta bukan patokan cinta yang sesungguhnya, bagiku enggak ada perbedaan diantara kita selama kita saling mencintai. Kamu adalah istriku, tolong ... kendalikan diri kamu dan jangan dengarkan ocehan tidak berguna orang-orang yang tengah berusaha menjatuhkan kamu. Aku mencintai kamu, Ayra," balas Revan lalu memeluk istrinya.

Ayra terisak dalam pelukan Revan, menganggap semua perkataan Revan adalah murni penegasan cintanya dari lubuk hati terdalam.

Karenamu (End) tahap revisiWhere stories live. Discover now