Kembali pulang

7 3 0
                                    

"Siap?" tanya Revan memastikan.

"Maaf ya, aku nolak tawaran kamu," balas Ayra.

"Saya ngerti kok. Berhubung hari ini dokter sudah mengizinkan kamu pulang, saya tetap hargai keputusan kamu yang enggak mau saya gendong. Tadinya saya kasihan saja ke kamu, jalan mendekati mobil itu lumayan jauh jaraknya di tempat parkir. Kamu beneran kuat jalan kaki?"

Ayra termangu menatap ragu suaminya yang jongkok di bawah bangsal.

"A-aku memang belum sepenuhnya kuat buat sekadar jalan, masih lemas juga sebenarnya tapi aku enggak mau ngerepotin kamu terus-menerus setiap saat," ucap Ayra.

"Sama sekali saya enggak keberatan direpotin sama kamu, apalagi kalau disuruh harus ngemut si putih imut dan kenyal itu, enggak akan ada penolakan bagi saya," sahut Revan dengan santai.

"Ngemut si putih, maksudnya?" bingung Ayra.

Bangkit dari jongkok, Revan mencondongkan diri membisikkan sesuatu di sebelah telinga Ayra.

"Mesum banget! Minggir ih, geli tahu dengarnya," ujar Ayra mendorong dada Revan supaya menjauh.

"Boleh ya, sampai rumah, saya ..." pinta Revan ambigu namun sorot matanya tidak dapat menyembunyikan keinginannya menginginkan dua belah gundukan Ayra yang terlihat menggoda dibalik pakaian kemeja biru mudanya.

Ayra menarik selimut menutupi dada yang kini menjadi pusat perhatian lelaki berkaus hitam di depannya--tengah tersenyum nakal.

"Aku mau pulang, di sini kesal, katanya ngajak?" lanjut Ayra.

"Iya, ayok, tapi digendong," kekeh Revan pada keinginan awalnya.

"Asal enggak boleh macam-macam," syarat Ayra.

"Macam-macam kayak gimana?"

"Ya ... gitu deh, pokoknya jangan berbuat aneh-aneh, tangannya harus patuh enggak boleh nakal," jelas Ayra.

"Hmm .. iya."

Disingkapnya selimut baru setelah perjanjian disepakati, Ayra mau digendong Revan.

"Belakang kamu--nya," suruh Ayra.

Revan membalik diri setengah membungkukkan badan menunggu istrinya mengalungkan kedua tangan di leher.

Huff!

Berdiri tegak sambil menahan kedua lutut Ayra begitu sudah dalam gendongan punggung.

"Aku berat enggak?" tanya Ayra menopang dagu di pundak Revan.

"Dikit." Jujur Revan.

"Terus gimana? Aku turun saja?"

"Enggak usah. Sudah nempel saja kayak gini seperti koala," gumam Revan lekas berjalan meninggalkan ruang inap sambil menenteng ransel berisi pakaian Ayra selama berada di sini.

Tidak satu, dua, orang-orang saat berpapasan dengan pasutri itu, senyam-senyum kepada Revan yang nampak keberatan membawa beban di tangan serta di punggung.

"Mereka lihatin kita," risih Ayra menusuk lembut pendengaran kanan Revan.

"Iri kali." Singkat Revan.

Ketika berhenti di depan pintu lift, Revan menyuruh koala cantik di punggungnya untuk menekan tombol di dekat pintu.

Lift terbuka bersama beberapa orang juga masuk ke dalam. Revan berdiri paling depan membuat orang-orang di situ menahan tawa geli.

Tujuannya lantai dasar. Selama menunggu lift turun, Ayra memiringkan wajah untuk mendaratkan kecupan manis di pipi suami hebatnya.

Karenamu (End) tahap revisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang