Persetujuan

9 4 0
                                    

Sepasang kaki Revan lemas tiada tara, ribuan kata dalam kepala mendadak beterbangan hilang, mulut terkatup rapat, wajahnya hampa kosong, gemuruh rasa bersalah mulai mengguncang relung yang rapuh.

Revan menggumam lirih dengan tumpahan air mata membasahi kedua pipi. Tubuhnya bergetar hebat membuat Revan harus berpegangan kedua tangan ke sisi-sisi bangsal yang di tempati istrinya.

Revan terguncang dalam kesedihan. Penyesalannya begitu mendalam akibat kecerobohan meninggalkan Ayra di rumah sendirian.

Klek.

Pintu di belakang terbuka lagi, Revan berbalik memeluk papanya erat-erat sembari menumpahkan air mata di pundak Atmaja.

"Ayra akan selamat, percayalah," bisik Atmaja.

Beberapa detik papanya masuk, kemudian, Farah dan Adinata, merupakan orang tua dari Ayra menghampiri dengan wajah tegang.

"Putriku!" seru Farah menghambur peluk putri kesayangannya.

"Bangun, Nak, ini Mama! Buka matamu, lihat Mama! Ayra, bangun ...!" teriak Farah disela guncangan di bahu Ayra.

Tetapi perempuan nampak damai tertidur itu tak memberikan respon alami apa pun membuat tangisan Farah pecah seketika.

Adinata mendekap istrinya untuk meredam tangisan yang dapat memicu ketidak nyamanan atau terganggunya satu pasien yang bersebelahan dengan putrinya.

"Putri kita, Pa ... kenapa Ayra tidak kunjung bangun?" rintih Farah.

"Apa yang kamu lakukan sama putri saya, Revan? Sudah pernah saya katakan padamu, jaga Ayra baik-baik!" bentak Adinata terlanjur marah.

"Maafkan keteledoran saya, Pa .. jujur, saya tidak tahu kenapa Ayra bisa seperti ini," balas Revan tidak berani menatap balik mata nyalang mertuanya.

"Ke mana saja kamu sampai-sampai ceroboh merhatiin istri sendiri? Lihat! Putri saya mengalami koma!" desis Adinata.

"Kesampingkan dulu emosi kalian, saat ini ada hal jauh penting yang ingin Revan sampaikan," lerai Atmaja tidak membiarkan suasana makin memanas.

"Luka Ayra cukup serius, dokter meminta persetujuan pada kami untuk rujukan Ayra ke ruang ICU. Aku mohon, kerjasama dari Papa dan Mama, bagaimana juga kita menyayangi Ayra," isak Revan.

"Putri kita koma," sedih Farah.

Tak ada sahutan dari Adinata. Dia membawa istrinya ke luar ruangan. Atmaja hanya bisa menghela nafas pasrah, sikap cuek besannya tidak dapat dipertanyakan mengapa, cukup jelas mereka terpukul melihat putri semata wayangnya kena musibah.

"Ayo, kita selesaikan masalah ini," pungkas Atmaja melerai pelukan putranya.

***

Atmaja, Adinata dan Farah sudah menyetujui surat kesepakatan pemindahan Ayra ke ruang ICU. Tinggal Revan yang belum memberikan tanda tangan di bagian kolom secarik kertas.

"Revan, percayalah ini demi kebaikan istrimu," bujuk Atmaja memerhatikan sedari tadi putranya hanya membeku diam menatap kosong kertas di atas meja administrasi.

"Lakukan Revan. Kamu ingin hal buruk menimpa lebih parah putri kami? Kalian belum memiliki anak, Ayra harus segera mendapat penanganan!" desak Farah mengguncang sebelah bahu Revan.

Lelaki itu menyeka air matanya yang mengalir. Isakan kembali terdengar menandakan betapa rapuhnya saat ini.

"Aku takut kehilangan Ayra," cemas Revan.

"Kami juga sama Revan. Ini memang berat, tapi apa boleh buat. Lekas lakukan sekarang juga, jangan egois, Ayra membutuhkan cara ini," tegas Atmaja coba melunakkan hati putranya.

"Sampai putri kami kehilangan nyawanya, jangan harap kamu dapat kata maaf dari saya, Revan!" desis Adinata, mengancam.

Tertekan. Akhirnya dengan tangan gemetaran, Revan membubuhkan tanda tangannya di kolom kosong.

"Cepat tangani putri kami dan temannya itu," perintah Adinata seraya menyerahkan dua formulir kepada penunggu meja.

"Baik, Pak, terima kasih."

***

Detik-detik Revan menyaksikan brankar Skala dan Ayra di pindahkan dari ruang IGD, oleh empat orang perawat menuju ruangan ICU.

Sepanjang menelusuri lorong lantai 4, isak tangis orang tua Ayra menemani. Wajah Revan yang biasanya tegas sehari-hari kini berubah sembap murung saat istrinya di bawa masuk ke ruangan yang dituju.

"Mohon maaf, sebaiknya kalian tunggu di luar."

Ucapan seorang perawat menyesakkan semua dada yang membuntuti karena dilarang masuk.

Semuanya termundur, mendudukkan diri di kursi tunggu kecuali Revan yang memilih sandaran punggung di dinding tembok.

"Aku di sini menjaga rumah,"

"Ya sudah,"

Mengingat percakapan pendek itu, Revan merasa sangat bersalah dengan sengaja meninggalkan Ayra di rumah. Hingga ia tak menyadari Farah berjalan mendekat.

"Kamu lelah, Revan. Duduklah barangkali memulihkan tenaga yang habis terkuras," suruh Farah, tangannya menyentuh pundak menantunya.

"Aku baik-baik saja Ma. Hanya mencemaskan Ayra dan temanku di dalam sana," keluh Revan berusaha mematri senyum.

"Mereka pasti baik-baik saja."

***

Pergerakan tangan Alesya terbatas membuatnya senang bukan kepalang, sebaik mungkin memanfaatkan kesempatan mencuri waktu berduaan dengan Revan bukanlah keinginan mustahil tidak dapat dipenuhi.

"Tante, Revan sedang sibuk?" tanya Always membuka obrolan.

"Begitulah, tanggung jawabnya terhadap hotel sangat besar," balas Rere mengusap-usap punggung tangan Alesya.

"Aku harap Revan sering-sering berada di sini menemaniku meski sesaat, tidak apa-apa," lanjut Alesya berharap besar.

"Keinginanmu akan Tante kabulkan, Revan akan lebih sering menengok mu, kalian akan punya banyak waktu untuk berduaan, bertukar cerita satu sama lain agar lebih dekat," sahut Rere.

"Sungguh Tante?" Alesya menyorot binar.

"Sungguh."

Gumolo sudah pergi ke kantor, menyisakan Rere dan Sinta menemani Alesya.

"Kapan Alesya menikah dengan Revan, Jeng? Jeng, lihat juga kan, Alesya cuma bisa ditenangkan oleh Revan seorang," timpal Sinta mengulik harapan yang sampai detik ini belum tercapai jua.

Rere jadi meringis tak enak, beberapa rencana yang pernah dicoba tak ada satu pun yang berjalan lancar. Hari ini, janjinya ditagih.

"Sabar Jeng, semua butuh proses, saya jamin Revan pasti menikah dengan Alesya," ucap Rere ada keraguan dalam kalimatnya.

"Paksa pembantu itu untuk minta cerai dari Revan, kalau menolak, kita lenyapkan saja secara paksa dengan menyuruh orang lain. Alesya harus menikah dengan Revan, titik." Tuntut Sinta tak mau diganggu gugat satu  impiannya itu.

Mengenai orang bayaran, Alesya teringat pada Diego yang tidak becus mengatasi Ayra. Kebencian terhadap lelaki itu semakin membukit di hati setiap bergulirnya waktu.

"Diego, sialan! Tidak sudi aku memperkerjakan orang bodoh sepertimu lagi, kelak kalau aku bertemu denganmu, akanku ejek habis-habisan omong kosongmu, kala itu!" batin Alesya menggerutu.

"Memikirkan apa, sayang?" tanya Sinta mengusap lembut kening putrinya.

Alesya menormalkan raut wajah masamnya gara-gara membayangkan sosok Diego yang sekarang entah di mana rimbanya.

Semenjak insiden merenggut mahkota penuh paksaan, Diego pergi tanpa mengatakan akan ke mana. Jejaknya hilang membuat Alesya uring-uringan sendiri.

"Memikirkan Revan, Ma. Aku kangen banget sama dia."

Karenamu (End) tahap revisiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora