Menerima kehadiran Ayra

10 5 0
                                    

Dagh!

Daun pintu baru saja ditendang keras sebelah kaki Revan hingga pintu kamar tersebut nyaris lepas dari engselnya.

Bunyi yang dihasilkan tendangan Revan menggaum nyaring memenuhi penjuru  kamar sukses membangunkan gadis manis yang  tidur pulas di atas kasur bermotif spray hello Kitty di seberang sana, terperanjat kaget.

"Bangun!" bentak Revan menarik selimut adiknya dengan kasar dan melemparnya asal.

Kesadaran belum terkumpul sepenuhnya ke raga Tasya membuat gadis itu mati kutu di tempat sembari menautkan antara alisnya, bingung melihat tindakan abangnya yang seenak jidat melempar selimut ke lantai.

Revan membungkuk badan, menatap tajam, kemarahan begitu kental di permukaan wajah tegasnya membuat Tasya detik itu menelan ludah tersadar. Abangnya tidak akan bersikap kasar seperti ini kalau bukan adanya suatu sebab yang mengusik ketenangannya.

"Abang, sakit!" ringis Tasya, sebelah bahunya dicengkeram kuat.

Revan menariknya kesamping mengubah posisi rebahan Tasya jadi miring.

"Sengaja tuli atau mau ditenggelamin lagi kepala kecil ini, ke bak mandi, hah?!" sentak Revan meneriaki wajah adiknya yang seketika nampak ketakutan.

"A-ampun Bang! A-aku enggak mau! Enggak mau ditenggelamin lagi!"

"Terus kenapa bully ipar sendiri di belakang Abang! Biar apa?!" hardik Revan semakin mencengkeram erat bahu adiknya.

"Aws, sakit, Bang!" ringis Tasya menggerak-gerakkan bahu berusaha melepaskan cengkeraman Revan yang menyakiti.

"Jawab, kenapa kamu tega nyakitin Ayra?!" desak Revan melampiaskan kemarahannya yang terpendam, walaupun tahu luka yang istrinya terima tak sepadan dengan caranya menginterogasi sang pelaku bully.

Tasya geleng-geleng kepala sangat ketakutan, mendadak lidahnya beku kehilangan kata-kata.

"Sya ... jawab sebelum Abang tega nyakitin kamu," bisik Revan mempertajam kontak mata dengan adiknya.

"Aku enggak mau punya kakak ipar seorang pembantu, makanya aku terpaksa bully istri Abang biar dia kapok ninggalin Abang terus minggat dari rumah kita! Itu alasannya, aku minta maaf ..." jujur Tasya.

"Kamu benci Ayra karena kasta kita berbeda?  Mulai sekarang, Abang minta ke kamu, berhenti nyakitin Ayra, bertemanlah dengan baik dengan iparmu kalau tidak ingin  kehilangan kasih sayang dari Abang untuk selama-lamanya," pinta Revan menekan tiap per kata yang ke luar dari mulut.

Tasya mengangguk cepat, terpaksa. Terlalu mentakuti sisi impulsif abangnya.

"Abang pegang janji kamu."

   

      Ayra memikirkan baik-baik ajakan Revan tempo lalu untuk pindah rumah, tetapi hasilnya hanya kebimbangan mengusik hati.

"Kekencengan Ay!" protes Revan saat Ayra mengencangkan dasi di lehernya.

Ayra tersentak membulatkan mata cepat-cepat melonggarkan dasi hasil simpulannya.

"Maaf Mas, beneran aku enggak sengaja," ucap Ayra meringis-ringis.

"Kamu lagi mikirin apa, sih, Ay? Dari kemarin, aku perhatiin serius banget bengongnya," ujar Revan agak ketus usai menegur adiknya beberapa jam lalu. Dan sekarang efeknya belum hilang.

Ayra berkedip, cara bicara Revan yang cukup tidak santai sungguh berbeda dari hari-hari lainnya. Itu membuatnya kaget. Revan mengusap wajah sedikit kasar menyadari emosinya belum stabil kembali, pantas istrinya diam.

"Kenapa, Ay? Kok, lihatnya aneh gitu," lanjut Revan pura-pura tidak sadar.

"Enggak, bukan apa-apa, kok, Mas," elak Ayra beralih merapikan kerah kemeja cokelat Revan.

Karenamu (End) tahap revisiWhere stories live. Discover now