Peluk aku

9 4 0
                                    

Tiba di kediaman orang tua, tanpa memperdulikan Ayra di sampingnya, Revan bergegas turun dari dalam mobil.

"Tunggu, Mas!" seru Ayra ikut ke luar.

Ketika pintu rumah di buka, Revan disambut suara tangisan mamanya yang menyebut-nyebut nama Alesya. Pemandangan langka itu benar-benar membingungkan bagi pasangan muda baru saja memasuki rumah.

"Akhirnya kalian datang, cepat ke sini!" kata Atmaja melambaikan tangan.

Ayra merapatkan diri, memegang lengan Revan dengan perasaan berubah tak karuan mendengar mertuanya terus-menerus meracaukan nama Alesya.

"Ini kenapa, Pa?" tanya Revan mencari alasan mamanya menangis.

"Mamamu sempat pingsan beberapa menit, sadar-sadar meraung-raung tidak jelas seperti  ini. Papa dan adik kamu sudah mencoba bertanya apa penyebabnya menangis hanya saja mamamu bungkam seribu bahasa. Tolong kamu tanya, siapa tahu dapat menjawab kebingungan kami semua," jawab Atmaja menerangkan.

"Cepat Bang, bujuk Mama biar bicara," mohon Tasya.

Mula-mula Revan mendudukkan diri disisi mamanya dengan Ayra turut duduk di dekatnya.

"Ma ... ada sesuatu yang buat Mama sedih?" tanya Revan penuh kelembutan.

"Antar Mama ke rumah sakit sekarang juga, Mama mohon!" pinta Rere memandang pilu putranya, kedua tangannya mengguncang lengan Revan penuh tidak sabaran.

"Ke rumah sakit mau apa, Ma? Siapa yang sakit?" selidik Revan.

"Alesya ... kita harus menjenguk Alesya. Mama dapat berita buruk dari keluarganya kalau Alesya masuk rumah sakit," jelas Rere dengan parau.

"Mbak Alesya masuk rumah sakit! Astaga, kenapa bisa?!" pekik Tasya membelalak kaget.

"Pa, ke rumah sakitnya mau satu mobil atau gimana?" lontar Revan meminta pendapat.

"Dua mobil saja. Kamu sama Ayra, sisanya semobil sama Papa," putus Atmaja.

"Kira-kira nama rumah sakitnya apa, Pa?" gantian Ayra bertanya.

"Kami belum tahu, tapi akan Papa tanyakan dahulu."

Atmaja mengambil ponsel istrinya lalu menelpon balik nomor keluarga Alesya yang sebelumnya memberi info terkait hal ini.

Obrolan melalui sambungan berlangsung singkat, setelah diberitahu alamat rumah sakit tempat Alesya di rawat, Atmaja menyimpan benda persegi di tangannya ke atas meja.

"Rumah sakit terdekat, Cahaya. Jangan menunda lagi, cepat bangkit!" tegas Atmaja seraya memapah istrinya yang lemah menuju luar.

Tasya menyambar tas sekolahnya yang ada di lantai berencana habis menjenguk Alesya, lanjut pergi ke sekolah. Masa bodoh telat setengah atau lebih dari setengah jam juga yang penting tetap masuk dan mengikuti pembelajaran.

"Aku di sini menjaga rumah," celetuk Ayra menarik tangan yang melingkar manis di lengan Revan.

"Ya sudah," acuh Revan, suaranya terlampau dingin.

Ayra mendongak kaget ketika lelaki itu beranjak pergi tanpa dosa. Keputusan Revan tidak main-main leluasa meninggalkan istrinya di rumah. Ayra menggeleng keras berubah pikiran, bangun dari tempatnya hendak menyusul keluarga di luar sana, malangnya  satu kakinya malah tersandung ke kaki meja sehingga tak dapat mengelakkan dirinya jatuh.

"Mas, tunggu, aku ikut!" teriakan Ayra menggema di ruangan sunyi yang mana para penghuninya telah pada bubar.

Serius takut ditinggalkan sendirian di rumah, Ayra bangun tertatih menyeret pincang sebelah kaki yang kian menjalarkan rasa nyeri.

"Mas!"

Terlambat. Dua mobil itu melaju pergi meninggalkan halaman rumah. Ayra menahan untuk tidak menangis meskipun air mata menggenang hangat di pelupuk.

"Salah aku apa, Mas, kenapa kamu sampai tega ninggalin aku di sini," monolog Ayra.

Ayra menarik nafas panjang menghembus gusar, kali ini tidak boleh cengeng. Dengan lapang dada, ditutupnya pintu rapat-rapat. Ini keinginan awalnya enggan menjenguk perempuan licin di rumah sakit, bukan tanpa alasan melainkan menghindari percekcokan diantaranya dengan ibu mertua yang jelas pasti akan menyudutkannya kembali jika Ayra ikut ke sana.

***

Rumah sakit Cahaya.

"Jeng, bagaimana kadan Alesya?" tembak Rere, khawatir.

Sinta mengangkat wajah sembabnya lalu berdiri dari kursi tunggu dan memeluk teman arisannya itu.

"Ka--kadan Alesya ... semakin bu--buruk," beritahu Sinta terputus-putus.

"Buruk bagaimana, Jeng? Tolong jelaskan lebih detail," tuntut Rere sama-sama mengabaikan lelehan air mata membasahi pipi.

Ya, dua wanita itu menangis.

Atmaja mendekati papanya Alesya yang terlihat menundukkan kepala sangat dalam. Ditepuknya pundak Gumolo mampu mengalihkan kesedihan pria itu untuk sesaat.

"Apa yang dikatakan dokter mengenai Alesya?" to the point Atmaja.

Mata dan hidung Gumolo makin memerah menandakan kesedihan yang menimpa putrinya sungguh mendalam di hati.

"Ini tidak seperti biasanya. Semenjak pulang dari Caffe, ke'esokan paginya, putri kami langsung mengurung diri di dalam kamar selama dua hari tanpa makan dan minum. Mulanya saya pikir mood Alesya sedang menurun atau apalah pusing karena mengurus kerjaan Caffe, tapi anehnya dia sama sekali tidak melakukan komunikasi dengan kami. Baik pagi hingga malam, tidak ada, tidak ada komunikasi. Pagi tadi karena Alesya menjerit-jerit dari kamarnya, barulah kami menyadari ada sesuatu tidak beres dengannya. Alesya ditemukan tak sadarkan diri di kamarnya dengan melukai lengannya menggunakan benda tajam. Dokter yang menangani Alesya, mengatakan jika putri kami mengalami depresi. Saat sadar pun, Alesya teriak-teriak sampai nekat mencabut infusan di punggung tangan sampai dokter dibuat kelelahan menenangkan Alesya. Namun, bagian terburuknya adalah ... Putri kami hendak melakukan bunuh diri dengan cara hendak loncat dari jendela ruang rawat," cerita Gumolo dengan suara gemetar menahan isakan tertahan.

Tak dapat dibayangkan lagi sesedih apa orang tua Alesya saat ini. Perasaan kesal terhadap Ayra karena satu alasan dekat-dekat dengan Skala membangkitkan emosi di dalam dada, untuk kali ini Revan mengesampingkan perihal istrinya, memilih fokus menghadapi situasi jauh penting di depan mata.

"Om, saya izin menjenguk," ucap Revan diangguki Tasya yang berdiri di sampingnya.

Gumolo mengangguk pelan. Revan dan Tasya melangkah masuk ke dalam ruang rawat Alesya, meninggalkan para sepuh.

Rintihan Alesya menyambut berisik. Dua orang bersaudara itu dibuat tercengang melihat kondisi perempuan berpakaian serba biru terbaring menyatu dengan brankar yang di tempatinya.

"Bang, itu bukan Mbak Alesya 'kan?" cicit Tasya sembunyi di balik lengan kekar abangnya.

Revan tidak bersuara, seberkas rasa kasihan merambat relungnya. Ia melangkah terus hingga kakinya berhenti setengah meter dari brankar Alesya. Tatapan Revan berubah nanar melihat kedua pergelangan tangan Alesya diikatkan ke sisi-sisi besi brankar menggunakan tali kain berwarna putih.

Perempuan terbelenggu tali itu memandang sayu sosok lelaki dicintainya.

"Revan ..." panggil Alesya dengan serak, menatap penuh rindu dan luka.

"Ale ..." balas Revan tersenyum pahit.

"Kamu ke sini mencemaskan, aku ...?" tebak Alesya, matanya mulai menguap panas.

"Iya."

Alesya terisak kesekian puluh kalinya, dadanya menyesak sakit mengingat kembali kebejatan Diego sudah merusak masa depannya  penuh paksaan.

"Tolong ... peluk aku ... Revan."

Karenamu (End) tahap revisiWhere stories live. Discover now