Suami?

8 3 0
                                    

"Apa kamu lupa sama kita, Ayra?" tanya Farah menatap berkaca-kaca.

"Kita adalah orangtuamu, yang selalu menyayangimu. Dan, kamu juga memiliki suami yang baik hanya saja dia belum bisa ke sini karena urusannya belum selesai," tambah Adinata mengelus sedih lengan putrinya.

Ayra menyimak dalam diam, sayup-sayup suara tunangannya memberitahu soal keluarganya yang akan datang ke sini terngiang kembali, termasuk tentang satu fakta dirinya sudah menikah.

Pria di sisinya mengatakan suaminya baik, dan menurut pandangan Diego, suaminya jahat. Ayra jadi ragu entah ucapan siapa yang mesti dipercaya.

Tetapi buktinya, suaminya tidak ke sini dengan alasan ada urusan. Perkataan tunangannya lagi terngiang samar-samar di telinganya, kalau suaminya itu seorang egois, ternyata benar.

"Kamu sangat tidak ingat apa pun, Ayra?" lanjut Farah, air matanya menetes.

"M-mama dan Papa, kenapa ... nangis?" ucap Ayra ikut tersentuh hatinya, meski baru bertemu tapi hatinya merasakan kesedihan apa yang dirasakan wanita itu.

Farah menipiskan senyum menahan isakan, berlalu menuju kamar mandi yang ada di ruangan untuk melangsungkan sesi tangisnya.

Adinata membuang nafas kecewa. Tidak ada hal menyakitkan dari apa pun dibanding putri kandung tidak mengenalinya.

"Kamu haus, Nak?" tawar Adinata mengambil gelas berisi air putih dari nakas.

Hanya anggukan kecil Ayra tunjukkan. Hati pria itu teriris perih menghadapi kenyataan pahit ini. Adinata membantu Ayra minum sedikit-sedikit dengan tatapan sedih terkunci pada putrinya.

"Itu teman kamu?" Adinata membelokkan jari telunjuk ke arah sebelah kiri.

Pandangan Ayra mengikuti tunjuk papanya, di mana Skala Anggala masih terlihat pulas di  alam bawah sadarnya.

"Iya, itu ..."

Ayra kebingungan, kabut putih tebal di kepalanya menggulung-gulung menyulitkannya mengingat informasi baru yang diterima. Sedangkan untuk potongan-potongan kata yang Diego katakan, Ayra hanya mampu mengingat sedikitnya saja dengan memaksakan kepalanya berputar keras sehingga denyutan nyeri di kepalanya terasa kembali.

Apa tadi kata papanya? Ayra lupa lagi.

"Teman, kamu?" ulang Adinata semakin pilu dengan gelagat kesusahan putrinya dalam berkata.

Ayra manggut, mimik wajah bingungnya begitu kentara.

Tok!

Tok!

Tok!

Ketukan di daun pintu dari luar sana meluruskan atensi dua orang di dalam. Adinata bangun dari duduknya, melangkah pendek mendekati pintu.

"Siapa, kalian?" tanya Adinata mendapati dua perempuan di depan ruangan.

Sinta menyapa ramah dengan senyuman. Alesya yang masih memakai seragam pasien turut melempar senyuman.

"Ini Alesya, temannya Ayra. Kita dengar-dengar, putri Bapak mengalami musibah di jalan raya, jadi malam ini, kita mengunjungi Ayra," jawab Sinta.

Adinata mengangguk tanpa menaruh curiga, membuka pintu lebar-lebar memberi akses jalan bagi pengunjung yang rela menengok putrinya.

Kesan pertama Alesya rasakan ketika melihat Ayra rebahan dalam kondisi prihatin adalah puas.

"Hai, kabar kamu gimana sekarang? Sudah merasa baik'kan belum?" sapaan Alesya lebih kesindiran.

Lagi-lagi Ayra bingung, dalam hatinya bertanya-tanya, siapa dua wanita ini. Sinta menyadari sesuatu dari reaksi Ayra dapat menyimpulkan bahwa mungkin pembantu ini mengalami amnesia.

Karenamu (End) tahap revisiWhere stories live. Discover now