Pemilik jejak lipstik

8 4 0
                                    

Sesuai janji temu di Alesya Caffe. Revan duduk santai dengan kedua tangan di atas lutut, menghadapi mantannya yang gagal move on.

"Tidakku sangka kamu meminta kita bertemu di Caffe milikku. Kenangan beberapa tahun ke belakang masih segar diingatanku, apalagi ketika kita saling menautkan jari-jemari---"

"Tidak usah repot-repot mengenang masa lalu Ale." Potong Revan cepat.

Alesya menatap lekat lawan bicaranya, kecewa dan amarah menjadi satu terpancar di bola matanya. Terpaksa mengunci mulut menunggu lanjutan Revan yang ingin menyampaikan sesuatu.

"Kejadian satu malam di rumahku, kamu meninggalkan sesuatu di kemejaku, bukan?" to the point Revan mengutarakan maksud bertemu.

"Jangan main menuduhku, meski pun aku sudah menjadi mantan kamu, menaruh sesuatu yang tidak berguna takkan aku lakukan, buang-buang waktu," sanggah Alesya menepis sesuatu hal yang belum diketahui apa maksud Revan.

"Aku tidak menuduhmu sembarang ucap, tapi hanya memintamu mengaku atas bukti yang ada disatu kemeja hitamku. Ale, musibah yang menimpaku tempo lalu jelas bukan karena kesalahan istriku yang menunjukkan arah kamar berbeda kepadamu. Kepalaku tidak sekosong yang kamu kira mudah dimanipulasi, keadaan malam itu sengaja kamu gunakan dengan mencari celah kesempatan agar misi menyeretku ke dalam lingkaran hina berjalan sesuai rencana bukan? Aku mengenalmu cukup baik selama masih berteman denganmu. Cukup menjawab iya, dan tidak perlu menjelaskan panjang lebar maka aku secepatnya akan pergi dari sini," tutur Revan tetap tenang.

Merasa di skak-mat! Alesya menelan ludah, lalu mengembalikan raut wajah tegangnya menjadi normal.

"Kenapa aku harus menjawab tuduhanmu, Revan? Tuduhan yang tidak berdasar bisa menyeretmu ke ranah hukum atas pencemaran nama baik," sahut Alesya dengan senyuman mengejek.

"Jika kamu menginginkan kasus ini dibawa ke meja hijau, aku siap menghadapi, tapi sebelum membawanya ke jalur hukum, aku menawarkanmu sebuah keringanan. Bagaimana kalau masalah ini kita selesaikan di rumahku? Dengan begitu stigma buruk terhadap istriku akan berubah menjadi baik, tapi seandainya kamu menolak berarti sudah jelas bahwa kamu memang meninggalkan bekas lipstik di kemejaku dan aku akan menuntut kamu untuk langsung meminta maaf pada Ayra atas perbuatan burukmu itu," balas Revan tidak memberi kesempatan pada Alesya untuk menyela ucapan atau sekadar membuka mulut.

Suasana di ruang Caffe beralunkan musik akustik mendadak suram nan tegang bagi Alesya yang mendapat serangan tak kenal ampun dari Revan. Alesya selalu iri kepada Revan karena kepandaiannya dalam berkata dan suka memelintir ucapan orang.

Selain sulit di taklukkan hatinya, Revan juga termasuk orang tipe penyelesai masalah yang cukup baik.

"Aku banyak urusan, sebaiknya tinggalkan pesanan kamu di note kecil itu agar kami, Alesya Caffe dapat melayani tamu dengan baik," ucap Alesya mengganti topik lalu berdiri hendak pergi.

"Jangan alihkan pembicaraan Ale, kamu sendiri menantang masalah ini, aku terima. Jadi mari, selesaikan sampai kelar," cegah Revan  refleks mencondongkan diri meraih pergelangan tangan Alesya.

"Mencegahku untuk pergi sama saja kamu memperlihatkan sisi perduli padaku, Revan. Memperkeruh keadaan bisa saja aku lakukan dengan mengadukan kamu yang menyentuhku seperti ini kepada Ayra. Satu fakta menyedihkan dari istrimu, dia terlalu lemah dan cengeng!"  Alesya tersenyum miring.

Cengkeraman di tangan Alesya mengendur, Revan menarik tangan dan menegakkan tubuh menatap dingin mantannya.

"Istriku tidak selemah itu, dia bisa saja membalas perlakuan kurang menyenangkan dari orang lain dengan caranya sendiri, tapi Ayra berbeda. Dia berhati lembut, penyayang dan tidak pendendam seperti dirimu. Satu yang aku tunggu dari kisahmu, cepat menikah dan jangan lupa undang aku untuk menghadiri acara pesta pernikahanmu," pungkas Revan seraya melenggang pergi meninggalkan Alesya yang seketika bungkam seribu bahasa.

***

Malam semakin larut, Ayra terus bertahan di posisi duduknya di teras rumah sambil memeluk kedua lutut, mengabaikan kantuk yang datang serta dinginnya hawa menusuk kulit yang ditimbulkan hujan gerimis. Ayra rela menunggu hanya demi untuk menyambut kepulangan Revan yang entah jam berapa.

Cahaya putih terang berasal dari kendaraan roda empat ketika memasuki halaman rumah membuat Ayra bangun berdiri.

"Di jalan baik-baik saja kan, Mas?" tanya Ayra setibanya Revan.

Lelaki baru ke luar dari perut mobil dan berlari menerobos rintik hujan itu mengangguk singkat.

"Aman. Kenapa belum tidur? Di sini dingin cepetan masuk," kata Revan, menggiring Ayra memasuki rumah.

"Tasnya sini aku yang bawa Mas," Ayra mengambil alih tas kerja di tangan Revan.

"Papa mana?" tambah Ayra tidak melihat mertuanya.

"Papa mutusin nginep di hotel, beliau banyak urusan," jelas Revan.

"Oh, begitu. Ya sudah, Mas makan dulu pasti laper,"

"Belum lama makan di luar, mau langsung bersihin diri saja Ay, gerah banget ini, sama itu tolong buatin teh angat," kata Revan.

Sampai di kamar, lelaki itu masuk ke dalam kamar mandi untuk melakukan ritual menyegarkan diri. 

Sementara Ayra meletakkan tas kerja Revan didekat nakas, lalu turun menuju dapur membuat secangkir teh hangat.

Ayra menutup pintu di belakangnya dengan membawa secangkir teh hangat serta semangkuk sup daging bercampur nasi di atas nampan.

"Mau di suapin?" tawar Ayra sambil menaruh nampan di meja rendah yang terdapat di ruangan.

"Boleh, tapi, kamu kayaknya ngantuk, enggak usah,"

Lelaki berkaus putih senada celana pendek hitam selutut itu mendekati Ayra. Mengambil duduk di dekat perempuan berbaju tidur warna kuning selembut satin.

"Sana tidur nanti aku nyusul selesai makan," titah Revan sembari menyeruput teh hangat.

"Katanya enggak lapar?" ejek Ayra sambil bertopang dagu di atas pundak Revan membuat empunya menoleh kikuk.

"Y-ya abisnya kamu bawain, mubazir kalau di buang, hitung-hitung buat ngasih makan cacing di perutku," jawab Revan lalu meluruskan pandangan dan menyantap sajian istrinya.

"Aku suapin?" ulang Ayra menawarkan.

"Enggak,"

"Ish, kenapa?" rengek Ayra, usil mencubit pelan pipi gembul Revan karena sedang mengunyah.

"Enggak usah dicubit, sakit tahu Ay," gumam Revan disela makan.

"Ya, tapi kenapa dulu enggak mau aku suapin?" Ayra menurunkan tangan.

"Seharian ini kamu sangat lelah Ay, sudah waktunya istirahat, sana tidur,"

"Aku enggak capek kok, sudah jadi kewajiban aku sebagai seorang istri untuk selalu melayani," sahut Ayra diam-diam menghirup dalam wangi parfum mengguar dari Revan.

"Iya, tapi kamu butuh istirahat Ay,"

Diturunkan dagu merubah posisi jadi sandaran di bahu Revan.

"Tentang lipstik di kemeja, apa Mas bisa jelaskan sekarang ke aku?" tembak Ayra, tetapi tidak mengejutkan atau membuat Revan tersedak mendengarnya.

"Bisa. Janji enggak boleh ngambek tapi,"

"Iya,"

"Alesya yang ninggalin bekas lipstik di kemejaku. Bertepatan setelah kesalah pahaman yang terjadi diantaraku dan dia. Ale sengaja melakukan itu, demi keuntungan pribadi yang belum terlaluku ketahui. Aku sempat bicara sama dia, memintanya untuk mengaku cuma dia tutup mulut. Kebenaran sudah terungkap, kamu jangan mikir aneh-aneh lagi tentangku. Aku percaya kamu, kamu juga harus percaya padaku," terang Revan menutup makan malam dengan menghabiskan teh hangat.

"Alesya, ya," beo Ayra, tebakannya tidak meleset.

"Sudah ah, stop bahas yang enggak-enggak sekarang kita tidur," putus Revan beranjak menuntun Ayra ke tempat tidur.

Karenamu (End) tahap revisiWhere stories live. Discover now