Kecelakaan

10 5 0
                                    

"Aku senang kamu di sini," senang Alesya.

Revan merapikan rambut berantakan Alesya, setelah mengabulkan permohonan mantan kekasihnya untuk dipeluk walau sebentar, tidak dapat disangkal bahwa memang Alesya membutuhkan kasih sayang.

"Alesya!"

Seruan bercampur tangis dua wanita ketika membuka pintu ruang inap. Rere dan Sinta berlari memeluk empunya nama.

"Tante sangat mencemaskan, mu," ucap Rere mengecup kening Alesya berkali-kali.

"Kuat ya, sayang, Mama mohon jangan menangis lagi," sambung Sinta mengusap lembut puncak kepala putrinya.

Atmaja dan Gumolo menyusul masuk, bergabung mengerumuni orang tengah sakit yang sukses mencuri perhatian dua keluarga.

"Mbak Alesya, makan dulu, ya?" tawar Tasya mendekati brankar dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur serta air putih yang direbut dari suster.

"Iya, Tasya," angguk Alesya.

"Habis itu selang setengah jam obatnya di minum, ya, Mbak?" tambah Perawat dari ambang pintu.

"Iya, Sus," balas Revan.

Suasana ruang rawat Alesya begitu hangat nan ramai. Disuapi oleh Tasya, Alesya menikmati bubur bertoping sewiran ayam. Merasa tak perlu dicemaskan lagi, Revan beranjak menuju luar hendak menghubungi istrinya yang ditinggal di rumah.

Panggilan pertama tak dijawab, panggilan kedua pun sama, panggilan ketiga tetap. Revan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sayup-sayup kebingungan, istrinya tidak ada angkat telpon padahal jelas-jelas ponsel Aura berdering.

"Bang, anterin aku, sekolah," pinta Tasya.

"Ale sudah makan?" tanya Revan memastikan.

"Sudah. Mbak Alesya tadi nanyain Abang cuma aku bilangin kalau Abang lagi buru-buru mau antar aku sekolah," beritahu Tasya.

"Mau apa?"

"Minta ditemani sama Abang," jawab Tasya.

"Oh."

"Abang lagi coba telpon siapa, sih? Dari ekspresi gelisah gitu," selidik Tasya tidak biasanya gelagat abangnya membingungkan.

"Ipar kamu susah dihubungi," jawab Revan keenam kalinya menghubungi dan hasilnya tetap nihil.

"Kak Ayra?" tebak Tasya membuat Revan tertegun menatap adiknya.

"Ck, kok bengong sih, Bang, ada yang aneh?" decak Tasya.

"Enggak,"

"Ya sudah, buruan antar aku sekolah!" rengek Tasya.

Berat hati sedikit kesal, Revan menatap sebentar layar ponselnya yang menampilkan gambar Ayra, lalu mengantungi benda tersebut ke saku kemeja sebelum melangkah pergi bersama Tasya.

***

"Kamu membawaku ke mana, Kala?" tanya Ayra tak karuan.

"Kabur sejauh mungkin dari kejaran mobil para buaya," jawab Skala sambil menambah laju kendaraan.

"Mobil kita masih di kejar? Tapi, kamu bilang mereka sudah pergi,"

"Jika tidak percaya lihat saja ke belakang," suruh Skala.

Ayra menoleh, tercengang melihat sebuah mobil Jeep berusaha memperpendek jarak dengan mobil yang sedang ditumpanginya.

"Kala lebih cepat! Mereka hampir dekat!" perintah Ayra panik kembali.

"Akanku usahakan,"

Mobil melaju kencang membelah jalan raya menghindari kejaran mobil di belakang. Ponsel milik Ayra dari awal bertemu hingga detik ini berlalu terlupakan oleh Skala sebab terbawa suasana.

"Inilah mengapa kamu enggak putar arah ke rumah mertuaku?" duga Ayra di tengah-tengah kekalutan.

"Benar. Sepertinya kau tidak menyadari ketika mereka mengakhiri percakapan dekat mobil kita, sebenarnya mereka hanya mengelabui. Nyatanya mereka diam-diam menunggu tidak jauh di belakang mobil kita, akhirnya aku memutuskan melanjutkan perjalanan entah ke mana demi melindungimu. Logikanya begini, kalau kita ambil keputusan pulang ke rumah Re, kemungkinan besar mereka juga ikut kembali ke sana dan menangkapmu dengan mudah, aku tidak ingin hal itu terjadi padamu karena kau adalah istri dari atasanku. Aku perduli pada Re, dan otomatis perduli juga padamu," tutur Skala.

"Kalau mereka sebenarnya sudah tahu ini mobil kita, terus kenapa mereka enggak langsung beraksi menangkapku?" terheran Ayra.

"Kau tidak paham juga cantik? Penjahat tidak sebodoh itu, otak mereka brilian, apa yang kau herankan memang patut dipertanyakan bagi sebagian orang awam yang tidak mengerti strategi penculik. Mereka tidak gegabah dalam beraksi meski sasarannya ada di depan mata, mereka tidak berani menyandera di depan banyak orang karena konsekuensi yang mereka terima sudah cukup tinggi, diamuk massa, tentu saja," papar Skala.

"Kalau begitu prinsip mereka, kita juga bisa melarikan diri dengan cara masuk ke dalam keramaian, kan? Mereka akan kesulitan mencari kita saat kita ikut berbaur ke dalam sana," cetus Ayra.

"Keramaian yang kau maksud, apa?"

"Pasar. Kita masuk lingkungan sana," saran Ayra percaya diri.

"Kau pikir aku setuju? Aku bukan lelaki polos kalau kau lupa," sanggah Skala.

"Tapi kenapa enggak mau ke pasar saja Kala? Dengan cara itu, mereka akan berhenti mengejar," Ayra memelas.

"Pasar itu luas cantik, disesaki orang-orang lalu lalang berbelanja, kalau aku menyetujui masukan darimu, aku justru takut kau terpisah denganku, lalu keadaan semakin rumit karena kau hilang dari sisiku, dampak buruknya aku yang akan diinterogasi habis-habisan oleh suamimu, benar saja!" ujar Skala.

"Ya sudah kembali saja ke hotel, itu jauh lebih baik," usul Ayra.

"Tidak segampang itu! Kalau aku membawamu pulang ke hotel, yang ada para pengejar itu menerobos masuk membuat banyak kekacauan di sana-sini karena mereka tahu hotel itu milik Revan. Aku tidak yakin kau akan baik-baik saja jika ke hotel, parahnya lagi isi hotel pasti kena dampaknya juga," tolak Skala.

Kecil hati Ayra mendengar berbagai alasan buruk mengenai masalah ini. Skala benar, kembali ke rumah bukan alasan bagus, kembali ke hotel demikian. Lalu apa yang harus dilakukan. Ayra menundukkan wajah sedihnya.

"Kala ..."

"Apa?"

"Apakah, aku pembawa sial?" tanya Ayra dengan lirihan.

Skala menengok ke samping cukup terkejut atas pertanyaan tak terduga barusan.

"Kenapa kau bicara seperti itu?"

"Semasa hidupku, aku merasa orang-orang yang di dekatku selalu dalam masa---," ucapan Ayra belum selesai saat mengangkat wajah, bola matanya membesar hampir loncat dari bingkainya melihat sebuah mobil putih sama-sama melaju kencang dari arah berlawanan.

"Skala, awas!" pekik Ayra disergap panik, kedua tangannya terulur membanting stir kemudi.

Skala tersadar sepenuhnya dari lamunan pendeknya, seruan panik mendominasi keadaan mobil ketika kendaraannya menyimpang ke pinggir jalan raya mendekati pembatas jalanan.

BRAK!

Dalam sekejap penglihatan Ayra dan Skala jatuh menggelap setelah menabrak keras pembatas tersebut.

Jalan raya otomatis macet seketika, para pengendara berlarian turun meninggalkan kendaraan masing-masing mengerumuni mobil ringsek di pinggir jalan.

"Dua korban! Segera telpon ambulance!" teriak seorang pengendara berhelm hitam saat mengecek ke dalam mobil.

Suasana semakin genting, beberapa orang mencoba mengeluarkan dua korban dari perut mobil yang mesinnya belum mati total.

"Mana ambulance? Korban harus segera dilarikan ke rumah sakit sebelum mereka kehilangan banyak darah!"

"Sebentar lagi!"

"Hubungi nomor keluarga korban, cepat!"

Seorang bapak-bapak mengambil ponsel dari saku celana Skala yang mana merupakan benda persegi milik Ayra.

"Halo, Mas! Orang yang punya ponsel ini kecelakaan di jalan raya, menabrak pembatas jalan!"

Karenamu (End) tahap revisiWhere stories live. Discover now