Bukti CCTV

9 4 0
                                    

"Sakit ... bangun Mas,"

Berulang kali Ayra menepuk pipi tirus Revan coba membangunkan yang lelap tidur di atas tubuhnya.

Semalam suntuk Ayra harus menahan rasa sakit luka lebam di punggungnya karena tertekan, dan menahan tangan bengkaknya yang nyeri turut digenggam tangan Revan.

"Mas bangun!"

Terusik akibat suara isakan, Revan membuka kelopak mata, menatap setengah sadar Ayra yang berada di bawah kendalinya.

"Kenapa nangis? Masih pagi ini," dengan suara serak masih ngantuk berat, Revan melontar kebingungan.

"Tangan sama punggung aku, sakit Mas, sakit banget," keluh Ayra dengan parau.

"Kok bisa?!"

Mata sayu Revan terbuka lebar mendengar keluhan Ayra sampai berlinang air mata. Perempuan jika mengeluarkan air mata melebihi dari takarannya berarti sakit yang dialami tidak main-main, artinya sakit luar biasa.

"Coba mana yang sakit?" tanya Revan dengan cemas, seduduknya di samping Ayra.

Ayra menjulurkan satu tangan bengkaknya, merubah wajah tegang Revan menjadi pucat seputih kertas.

"Kamu bakar tangan atau habis numbuk padi seabad sih, Ay? Bisa separah ini?!" marah Revan.

"Lihat punggungnya!"

Dibantu Revan bangun, Ayra terduduk lemas seakan tubuhnya remuk redam seperti habis jatuh dari ketinggian beratus-ratus meter.

"Pelan-pelan Mas," ucap Ayra lirih, meringis sakit begitu Revan menyingkap baju tidurnya.

"Kita ke rumah sakit?" ajak Revan, namun Ayra menolak.

"Supaya cepat sembuh!"

Isakan Ayra malah mengencang dibentak seperti itu. Jadinya Revan menghembus gusar, perkataan Alesya ada benarnya, istrinya ini terlalu cengeng.

"Ssssst, jangan nangis, aku minta maaf. Seenggaknya kalau diobati sama dokter, perih yang kamu rasa dapat hilang perlahan-lahan Ay," bujuk Revan.

"Aku enggak mau terlihat manja sama penghuni rumah, biarin aku sendiri yang merawat lukaku ... ini sudah pagi. Mas, apa enggak takut terlambat masuk kerja?" Ayra menatap dengan mata berairnya.

"Kemarin aku izin ke papa enggak masuk dulu,"

"Loh, kenapa?"

"Seharian ini aku ingin berada di dekatmu, jagain kamu," jelas Revan, tangannya tergerak mengelus puncak kepala Ayra.

"Tapi, kan, aku baik-baik saja Mas,"

"Istri nakal tega benar nyembunyiin luka sebanyak ini, buktinya kamu babak belur kayak habis dianiaya!" ketus Revan gemas menarik hidung Ayra.

"Aws, sakit Mas!" ringis Ayra mengusap-usap hidungnya yang berubah merah bak tomat.

"Lagi pula kamu itu enggak pandai dalam hal berbohong sayang. Aku sudah tahu semua perbuatan buruk yang mama, Tasya dan Ale lakukan ke kamu di belakangku. Aku juga tahu apa penyebab tangan kamu mengenaskan seperti ini, ulah Tasya yang menginjak kamu tanpa manusiawi?" cerocos Revan mengatakan apa yang selama ini diam-diam diketahuinya.

"I-itu semua enggak benar, me--mereka baik memperlakukan aku," gugup Ayra menepis kebenaran.

"Sayang, percuma kamu menyanggah dan menutupi kebenaran ini. Enggak akan mempan buat aku yang sudah tahu semuanya,"

"D-dari mana Mas tahu segalanya?" tanya Ayra terbata.

"Rumah ini dilengkapi cctv, kecuali kamar mandi dan kamar. Kami sebagai kepala rumah tangga selalu memantau keadaan rumah dari jarak jauh dengan menghubungkannya ke ponsel yang kami bawa ke mana-mana. Aku marah Ay, menyaksikan kamu dibully tanpa ampun oleh mereka bertiga, aku merasa gagal melindungi kamu sebagai istri yang sudah seharusnya dalam keadaan baik-baik justru ditindas keluarga sendiri. Tenang saja Ay, hari ini orang-orang yang sudah buat kamu menderita akanku balas sesuai perbuatan mereka masing-masing," papar Revan satu tangannya mengepal kuat membayangkan lagi perbuatan kasar dari adik serta mamanya.

"Enggak Mas, jangan balas mereka dengan dendam, aku mohon. Mereka melakukannya karena gelap hati, mereka enggak sadar lakuin itu semua ke aku,"

"Bukan hanya mata hati yang tertutup, mereka sadar melakukan penindasan itu, Ay! Buka mata kamu, sabar dan sadar beda di satu huruf tapi berbeda makna. Selama ini yang aku lihat kamu selalu sabar menerima kekejaman dari mereka, tapi sayangnya, kamu melupakan kesadaran kamu sendiri. Sikap kasar mereka bukan untuk di sabari tapi perlu di sadari! Sabar ada batasnya tapi mau sampai kapan kamu bertahan dalam siksaan mereka? Kamu rela dikendalikan mereka sesuka hati?" ketus Revan menampik permintaan mulia istrinya.

"Mereka keluarga kita, Mas, membalaskan dendam hanya akan memberikan kepuasan sebentar, tapi memaafkan perbuatan mereka jauh lebih menenangkan dan mendamaikan hati. Aku enggak mau masalah ini memperparah hubungan kekeluargaan dan tali persaudaraan diantara kalian, karena Mas menikahi aku, Tasya jarang akur lagi dengan Mas, mama lebih suka marah-marah setiap hari, aku takut tensi darah mama jadi naik dan beliau mengidap hipertensi, aku enggak pantas dampingin hidup Mas Revan," rintihan Ayra, pagi ini, menyesakkan dada.

"Kamu berlebihan memandang diri sendiri Ay. Kamu yang aku pilih, aku selalu damai bersama kamu. Berhenti mengatakan tidak pantas buat hidupku. Di dunia ini, aku merasa paling beruntung mendapat istri selembut dan secantik kamu, wanita lain belum tentu memiliki sifat persis seperti kamu kecuali sedikitnya, jika kamu ingin apakah kita pindah saja dari sini? Kita mulai lembaran baru, tinggalkan lingkungan menyakitkan ini dan hidup lebih bahagia, bagaimana?" tutur Revan kini membelai lembut pipi basah kemerahan Ayra.

"Aku belum siap pindah," tolak Ayra memiliki suatu alasan.

"Aku mengerti. Ah, ya, Ay, apa kamu tahu mama dan Ale masuk ke kamar kita?" sambung Revan mengganti pembahasan.

"Enggak tahu," Ayra menelengkan kepala, tangisnya mereda.

"Aku curiga mereka merencanakan sesuatu," was-was Revan beranjak turun menggeledah semua laci, lemari, kolong ranjang dan terakhir kamar mandi.

Nihil kecurigaannya tidak membuahkan hasil. Revan berkacak pinggang dengan mata tajam menyapu ruangan mencari sesuatu.

"Nyari apa, Mas?" tanya Ayra.

"Aku pun bingung enggak tahu nyari apa, cuma feelingku ada benda tersembunyi di kamar kita," sahut Revan dalam kebingungan.

"Enggak ada Mas. Dari pada bingung nyari yang enggak jelas, kita diskusi beberapa hal penting saja ... misalnya, bahas tentang apa saja yang di butuhkan nanti saat aku mengandung?" ajakan Ayra berhasil membuat Revan menyudahi pencarian tak jelasnya.

"Sesuatu yang selaluku tunggu-tunggu. Kapan baby kecil kita ada ya, Ay, di perut ini? Aku sangat menantikan kelahiran anak pertama kita, akhir-akhir ini kamu merasa mual atau apa gitu?"

Kini Revan naik ke kasur, duduk menyilangkan kaki, berhadapan dengan Ayra, sebelah tangan Revan mengusap lembut perut rata Ayra.

"Belum ada tanda-tanda aku hamil, Mas. Padahal aku juga sangat menantikan gimana rasanya ngidam pertama kali di fase mengandung," gumam Ayra dengan lesu.

"Sabar ya, Ay. Mungkin belum saatnya,"

Revan merundukkan mata tatkala istrinya berbaring, meletakkan kepala di atas pangkuan, wajah sembapnya begitu menggemaskan.

Untuk sesaat mereka berdua beradu pandang, saling membalas senyuman manis sebelum Revan memiringkan kepala mengecup bentuk mungil merah alami milik Ayra.

"Cepat sembuh."

Karenamu (End) tahap revisiWhere stories live. Discover now