Tak berdaya

16 5 0
                                    

Alesya menggertakkan gigi, membenci kenyataan jika mantannya telah dimiliki wanita lain.

"Awas saja kamu Ayra akanku buat hidupmu menderita," desis Alesya berjanji membalaskan dendam.

Di samping itu, Ayra sedang memasukkan satu per satu baju bekas pakai dirinya dan Revan ---ke dalam mesin cuci yang terdapat di kamar mandi, namun tiba-tiba matanya menyipit tajam ketika melihat jejak kecupan di salah satu kemeja hitam milik Revan.

"A-apa ini?" monolog Ayra dengan detak jantung tak menentu saat prasangka buruk beterbangan di benak.

Jemari Ayra mengusap lembut jejak merah di kemeja, kelebatan bayangan Revan dan Alesya ketika malam melintas lagi di kepalanya, Ayra refleks menjatuhkan kemeja tersebut.

"M-mas Revan ..." ucap Ayra dengan lirih, tangannya menyentuh dada bagian bawah kiri saat sesak dan sakit menghinggapi.

"Kenapa ... kenapa Mas bohongin aku?" cicit Ayra sampai tak sadar bahwa air matanya sudah tumpah.

Ayra menutup kasar tutup mesin cuci tak jadi meneruskan kegiatan satunya itu.

Semendekatnya ke ranjang, Ayra menjatuhkan diri di atas kasur dengan posisi menelungkup memeluk guling. Di situ, Ayra menangis tersedu tanpa mampu berkata-kata.

Siangnya, Alesya sengaja mampir ke rumah Rere setelah mengontrol keadaan Caffe yang sehari kemarin di tinggalkan.

"Senangnya calon menantu main ke sini lagi," goda Rere dengan senyum merekah menyambut kedatangan perempuan ber dress putih selutut.

"Makasih Tante. Aku juga pengen banget jadi istrinya Revan dan ngasih cucu secepatnya buat Tante, tapi kayaknya anganku itu hanya sebatas khayal," balas Alesya sambil memeluk.

"Jangan ngomong seperti itu jadinya Tante sedih. Tante pastikan kamu akan menikah dengan Revan, tenang saja Alesya, pembantu itu akan secepatnya Tante singkirkan dengan satu syarat kamu bersedia kerja sama dengan Tante," balas Rere.

"Tentu saja aku mau karena tujuan kita sama. Sama-sama ingin menyingkirkan pembantu itu,"

Rere semakin tersenyum lebar mendengar tekad Alesya. Pelukan mereka dilerai.

"Ayok masuk, kita temui pembantu itu dan memberikan pelajaran padanya," ajak Rere.

"Dengan senang hati, Tante."

Baru pagi tadi saling mengungkapkan rasa cinta dan kepercayaan, diam-diam ternyata Revan berselingkuh dengan wanita licin yang dianggap teman biasanya itu. Ayra meremas spray menyalurkan kesedihan berharap keadaan hatinya berubah tenang atau membaik, namun usahanya melawan rasa kecewa justru tak sebanding dengan perihnya luka batin saat ini.

"Ke luar dari kamar, pembantu gatal! Jangan terus bersantai-santai di dalam sana menikmati posisimu sebagai istri di rumah ini! Pembantu tetaplah pembantu! Cepat ke luar!"

Ayra terperanjat kaget mendengar gerutuan pedas mertuanya. Cepat-cepat bangun berlari ke kamar mandi untuk membasuh wajah guna menghilangkan jejak air mata.

"Ini enggak berhasil," keluh Ayra ketika bercermin, wajahnya masih sembap bahkan kedua matanya bengkak merah akibat terlalu berlebihan membuang air mata.

"Ayra sedang apa sebenarnya kamu?! Cepat ke luar!" teriak Rere memanggil-manggil.

Sesudah menglap wajah menggunakan handuk, Ayra membenahi penampilan, menarik nafas panjang menghembus pelan sebelum melangkah menghampiri.

Cklek.

"Dasar kamu ya, mentang-mentang punya gelar sebagai istri jadi malas-malasan begini!" sembur Rere kala pintu terbuka.

"Maaf Nyonya, saya hanya kelelahan seharian mengerjakan ini, itu," jawab Ayra beralasan.

"Revan pasti menyesal sudah menikahi pembantu sepertimu yang sekarang bersikap besar kepala," cerca Rere.

Ayra diam dengan hati mencelos, saking perihnya luka di dalam sana membuatnya selalu tak mampu menahan air mata.

"Nangis terus bisanya cuma drama dan drama! Kamu takut Revan diambil Alesya, kan? Jadinya keterusan nangis, ngaku!" bentak Rere mendorong kasar sebelah bahu Ayra sehingga perempuan rapuh itu terguncang di tempat.

"Seharusnya aku yang menjadi ratu di hati Revan bukan pembantu sial sepertimu! Kau menggunakan ilmu sihir dan pelet demi memikat hati Revan?!" timpal Alesya menuduh sembarang.

Ayra membelalak saat baru sadar di rumah ini ada perempuan berbisa.

"Mau apa kamu datang ke sini? Kamu enggak malu setelah apa yang kamu lakukan dengan suamiku, masih berani memperlihatkan batang hidung di hadapanku, di mana harga dirimu sebagai perempuan?!" hardik Ayra menyerang Alesya dengan kata-kata berapi.

"Kurang ajar beraninya pembantu sepertimu menghina calon menantuku!" sambar Rere tersulut emosi lalu melayangkan sebuah tamparan keras di sebelah pipi Ayra.

Wajah Ayra terpalingkan, air mata semakin deras mengalir, lukanya yang belum pulih menganga semakin lebar.

Ayra menyentuh pipi yang kian menjalarkan sensasi panas di kulit. Ditatapnya wajah merah padam mertuanya, Ayra tersenyum kecil dalam kegetiran.

"Nyonya menganggap wanita lain sebagai calon menantu lantas saya ini apa bagi Nyonya? Saya, istrinya Mas Revan, kenapa wanita itu yang mendapat pengakuan dari Nyonya, sementara saya selalu dipandang sebelah mata?" sambung Ayra mengutarakan kecemburuannya terhadap Alesya yang dengan sangat mudahnya diakui oleh Rere.

Rere mencengkeram dagu Ayra dengan kuat lalu mengangkatnya tinggi-tinggi sehingga wajah menyedihkan Ayra menengadah secara paksa. Ayra meringis kesakitan berusaha membebaskan diri, akan tetapi pergerakannya segera dihentikan oleh Alesya yang ikut turun tangan mengunci kedua tangan Ayra ke belakang punggung.

"Pembantu sok lugu sepertimu tidak pantas menjadi bagian keluarga saya, kecamkan itu!" tekan Rere penuh benci di permukaan wajah galaknya.

"Dan sebentar lagi, aku yang akan menggantikan posisimu di hati Revan, ingat itu baik-baik!" tambah Alesya tidak main-main.

Kemudian Rere dan Alesya menghempaskan Ayra ke depan membuatnya tersungkur ke lantai. Ayra menggigit dalam bawah bibirnya sampai berdarah, menahan emosi karena ketidak berdayaan melawan dua orang sekaligus tak punya hati yang kini berdiri menang di belakangnya.

"Tanpa Revan, kamu bukan siapa-siapa di rumah ini kecuali sebatas pembantu murahan yang berani menggoda anak saya!" ujar Rere sambil menendang-nendang punggung Ayra sekuat tenaga.

Selama mendapat perlakuan kejam dari mertuanya itu, ringisan dan rintihan ke luar pilu dari mulut Ayra. Niat ingin mengelak barangkali ada kesempatan dari tendangan Rere pun sia-sia karena lagi-lagi Alesya ikut campur kerja sama menganiayanya.

"Sampai berani mengadu pada Revan, saya habisi kamu!" ancam Rere usai bersenang-senang membully.

Alesya tersenyum puas melihat tampilan berantakan Ayra. Selain rambut acak-acakan seperti gembel pasti punggung pembantu yang kini jadi saingannya itu lebam-lebam jua akibat tendangan bertubi-tubi yang diberikan Rere.

"Selamat menangis dan selamat menikmati luka, pembantu miskin," bisik Alesya menyindir keras keadaan Ayra.

Ayra membuang wajah sedihnya, menerima semua luka yang tak terduga hari ini.

"Cepat bersihkan kamar saya!" suruh Rere dengan teganya menoyor kepala Ayra, sebelum akhirnya memutuskan pergi bersama Alesya.

Sejenak Ayra memejamkan mata membiarkan air matanya terus mengalir, luka hatinya teramat dalam sampai-sampai Ayra tidak bisa menghentikan tangis.

Karenamu (End) tahap revisiWhere stories live. Discover now