Lugu

9 3 0
                                    

Hari ke 15.

Menuju pemulihan. Sekarang Ayra dipindahkan ke ruang rawat inap, Adinata dan Farah mulai mempercayakan putrinya kepada sang menantu untuk selalu menjaganya.

"Jaga istrimu baik-baik. Jangan sampai sesuatu buruk menimpa putri kami lagi. Papa lega akhirnya Ayra mampu melewati masa-masa letih dengan sabar dan lapang dada," kata Adinata sangat bangga memiliki putri setegar Ayra.

"Putri kita memang hebat. Ayra, Papa dan Mama tidak bisa selalu di dekatmu, ada pekerjaan numpuk yang harus kita selesaikan, kamu baik-baik di sini sama Revan, ya, Nak," tambah Farah.

"Iya, Ma. Aku sayang kalian berdua," balas Ayra sambil merentangkan kedua tangan.

Farah dan Adinata mencondongkan diri, masuk ke dalam pelukan hangat putrinya. Revan membersit hidung terharu menyaksikan satu inti keluarga berpelukan.

"Si tampan ini enggak diajak gitu? Masa dipajang seperti camera yang fungsinya mengabadikan kenang-kenangan," sindir Revan mengutarakan rasa cemburunya.

Orang tua menoleh barengan termasuk Ayra. Revan membuka tangan, merengek minta gabung berpelukan.

"Sudah gede cemburuan, awas nanti punya anak bermusuhan sama anaknya demi menangin hati mamanya!" ujar Adinata dengan gelengan tak habis pikir.

"Kalau terjadi bakal kayak di novel-novel, dong, Pa, ha-ha-ha ..." tawa Farah mengalun.

"Musuhan sama anak enggak sehat Pa, nanti yang ada hubungan keluargaku renggang enggak harmoni," senyum Revan.

"Baru itu calon ayah. Sini ikutan peluk!"

Adinata membuka satu tangan menyambut menantunya untuk saling merangkul. Revan berjalan mendekat, senyumnya mengembang, lalu merangkul pundak mertuanya.

Empat orang itu berpelukan ala-ala di rumah sakit. Pandangan Ayra dan Revan bertemu tanpa sengaja mengandung makna masing-masing tersimpan dalam dada.

"Ayra, sejauh ini kamu tidak ingat masa lalu?" tanya Farah berhasil memutus kontak mata putrinya dengan menantunya.

"Enggak Ma. Aku enggak mampu ingat kejadian apa pun di masa lalu, kecuali kepingan akhir-akhir ini bersama kalian semua," jawab Ayra dengan wajah menunduk.

"Tidak masalah. Point utama adalah jaga kesehatan dan pikiranmu, Nak. Mengingat usia kamu 21 tahun dan Revan 23 cukup matang untuk kalian melakukan honey moon," sahut Adinata menggoda pasangan muda dalam fase mengarungi kehidupan rumah tangga.

"Ah, Papa ngebet minta cucu, nih, gimana Ay?" lontar Revan.

"Kamu ini, mumpung usia muda, bisa menghabiskan beberapa ronde dalam satu malam. Papa jelaskan kelebihan bikin anak sebelum masuk tiga puluh tahun, pertama, daya tahan dan kuatnya jauh berbeda dari usia tua, kedua, rasanya ----"

"Malu lah, Pa, tak usah dikasih tahu sama mereka berdua. Biarkan nanti mereka yang melakukannya tanpa kita beri bocoran sedikit pun supaya jadi momen istimewa dalam hidup, merasakan nikmat surga pernikahan," Farah menyela ucapan suaminya yang menjurus ke hal tertentu.

Tawa Adinata dan Revan ke luar pada satu detik yang sama. Pikiran dua lelaki berbeda umur itu rupanya terkoneksi satu sama lain sehingga menertawai pembahasan tersebut.

"Mama tenang saja aku sudah tahu bagaimana indahnya menghabiskan malam panjang bersama istriku. Karena Ayra sudah lupa seperti apa indahnya saling menggoda di malam-malam syahdu, kesempatan aku memulai segalanya menciptakan fantasi bermelodi dengan Ayra," balas Revan disisa tawa.

"Tapi awas kalau Ayra digeprek sampai susah jalan, Mama cobek kamu sampai halus," seloroh Farah.

"Ah, Mama, tenang saja itu enggak bakal terlewatkan," balas Revan mendapat sentilan  dahi dari Farah.

Revan meringis pura-pura sakit dan ditanggapi tawaan Adinata serta Farah. Ayra mengulum senyum menahan tawa, suaminya ... pandai mencairkan suasana.

Tok!

Tok!

Tok!

Kebahagiaan di pagi cerah diganggu suara ketukan pada daun pintu. Pelukan dilerai bersama-sama.

"Aku bukain," putus Revan seraya melangkah.

Cklek.

Papanya ternyata. Revan mendekap singkat Atmaja sebelum mengajaknya masuk.

"Apa kabar, Ayra?" tanya Atmaja melempar senyum.

"Ba--baik, Om." Balas Ayra gugup. Baru melihat pria berwajah hampir mirip dengan rupa suaminya.

Revan garuk-garuk kepala lupa memberitahu papanya tentang kondisi istrinya yang hilang ingatan.

"Revan, jelaskan sama Papa?" pinta Atmaja menoleh tajam ke arah putranya.

"Ah, itu, Pa, dari semua tes dan diagnosa dokter, hasilnya berupa retrograde," jawab Revan, ambigu.

"Bicara apa kamu? Rincinya bagaimana? Ini ambigu," protes Atmaja.

"Mmm, aku jelaskan semuanya ke Papa, tapi bukan di sini, di luar ruangan," ajak Revan menghentikan garukan tak gatalnya.

Atmaja mengangguk mengerti, meminta izin kepada besannya ke luar sebentar dengan putranya, karena tidak enak jika langsung main pergi.

Senyuman manis di wajah putrinya kembali terbit. Adinata dan Farah saling bertukar pandang, kemudian sama-sama senyum mensyukuri bahwasanya Ayra tidak risih atas kehadiran Revan.

***

"Jalan-jalan, yuk, Ay? Kamu jenuh, butuh kesegaran oksigen dan cuci mata," ajak Revan setelah tinggal berdua di ruangan.

Ayra yang sibuk melihat-lihat gallery di ponsel suaminya mendongak polos. Ketahuilah, Ayra berani mengintip isi ponsel Revan karena pemiliknya yang meminta.

"Mau apa?" tanya Ayra.

"Jalan-jalan. Kita keliling koridor rumah sakit, kamu enggak usah khawatir soal perut, saya sudah membeli banyak camilan buat kamu makan di sepanjang perjalanan. Saya juga siapin lima botol mineral kalau kamu haus. Tugas kamu tinggal duduk manis di kursi roda menikmati pemandangan alami rumah sakit, gimana Ay?" jelas Revan memandang gemas istrinya yang kelewat lucu.

"Boleh. Cuma kan, aku belum selesai lihat-lihat foto kamu yang sebanyak lima ratus ini," gumam Ayra.

Revan terkekeh gemas, tidak menyangka sebelumnya akan dihadapkan dengan Ayra versi lugu.

"Itu bisa dilanjut sehabis kita jalan-jalan. Ah, ya, ada album kenangan lebih indah dan bagus dari foto-foto itu, lho, Ay," ucap Revan.

"Iya? Mana? Boleh aku lihat?" sahut Ayra antusias.

"Albumnya ada di rumah. Pulang dari rumah sakit, saya janji kasih lihat kamu foto-foto itu. Terus gimana jadi enggak nih, keliling rumah sakit?"

Ayra mengangguk mau. Revan mencubit gemas pipi chubby putih itu membuat empunya mengaduh kesakitan.

"Lepasin sakit tahu," rengek Ayra menepuk-nepuk lengan kekar Revan.

"Gigit saja ya? Nanggung gemas," bisik Revan.

"Enggak mau,"

Tawa serak Revan menyembur terbang ke udara bersamaan tangannya berubah mengusap-usap pipi memerah Ayra bekas cubitan disengaja.

"Merah, mirip lobster rebus," komentar Revan disela tawa.

"Gara-gara kamu, pipi aku merah," lirih Ayra mencubit perut Revan.

"Cie ngambek," goda Revan menepis-nepis tangan mungil Ayra.

"Sini, aku cubit sampai merah, kamu juga sudah nyubit bikin kulit aku kayak gini,"

Ayra berusaha mencubit perut Revan lagi, namun selalu mudah ditepis tangan berhias jam silver bernilai mahal itu.

Revan sengaja memundurkan duduk memancing Ayra semakin maju mendesak, begitu jarak terkikis dan Ayra hampir menyubit, Revan lebih dulu mengambil kesempatan menarik pelan tengkuk Ayra---menempelkan wajah istrinya ke dada bidangnya hingga Ayra tak bergerak di tempatnya.

"Kalah nih?"

Blush!

Rona merah tercetak di kedua pipi Ayra.

Karenamu (End) tahap revisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang