Mengajari Ayra bela diri

8 5 0
                                    

"Fokus, jangan memperhatikan wajah musuh!"

"Tapi, Mas sangat tampan, bagaimana ini, aku enggak bisa melawan duluan," keluh Ayra memelas.

Revan mengacak rambut rapinya mulai frustasi, hampir satu jam berada di lingkaran bunga melati berseberangan dengan istrinya yang minta diajarkan bela diri. Tetapi sampai detik ini, Ayra mematung gelisah di tempatnya.

"Maju dan serang, Ay! Latihan akan berlangsung!" intrupsi Revan.

"Aku takut, Mas kena pukulan dariku, bagaimana ini? Aku enggak tega!" balas Ayra sambil menarik rambut panjangnya.

Jengah hanya dipermainkan, Revan memutuskan bergerak maju untuk menyerang.

"Tunggu Mas, aku belum siap!"

Telat!

Revan mengarahkan kepalan tangan ke hadapan Ayra yang spontan berteriak kencang di tempatnya sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan mungilnya.

"Enggak kena!" ketus Revan beralih membuka telapak tangan Ayra memperlihatkan wajah merah ketakutan istrinya.

"Serius dong, Ay, latihan ini enggak bakal selesai kalau kamu menggunakan teriakan sebagai senjatanya!" sambung Revan teramat kesal.

Ayra menelan ludah, mengangguk samar diam-diam merutuki kesalahannya dalam bertindak.

"Kita ulangi," kata Revan seraya melangkah mundur.

Ayra mengangguk ragu, kali ini harus tidak melakukan kekonyolan lagi. Terlihat Revan mengambil ancang-ancang siap menyerang kembali membuat Ayra tanpa sadar berjalan mundur dengan debaran jantungnya.

"Lawan Ay!" perintah Revan seraya lari mendekat.

"AKU TAKUT!" teriak Ayra lantas berlari menerobos bunga-bunga disekitarnya menghindari kejaran Revan.

Pasangan itu kini menjadi pusat perhatian sebagian penghuni hotel yang berada di taman. Kejaran seperti kucing dan tikus tak dapat dielakkan, orang-orang di lokasi tempat latihan Ayra bela diri dibuat tertawa menyaksikan aksi kejar-mengejar antara pemilik hotel dengan istrinya itu.

"Ayra, lawan!" geram Revan tertinggal jauh di belakang muridnya.

"Aku enggak bisa! Takut dosa!" sahut Ayra membawa-bawa hukum perbuatan.

"Ini cuma latihan, argh!"

Revan mempercepat laju lari untuk menangkap istrinya. Sekarang Ayra ke luar dari jalur latihan, dan berlari menuju kolam air mancur.

"Hentikan Mas! Kamu buat aku takut!" pekikan Ayra tak digubris.

Lengan istrinya berhasil diraih oleh Revan mampu mengangetkan perempuan tengah dilanda panik itu.

"Latihan selesai!" putus Revan dengan nafas terengah-engah.

"Enggak mau!" tolak Ayra.

"Kamunya ngeselin malah ngajak kejar-kejaran, jadinya capek!" rutuk Revan membawa langkah Ayra ke hamparan rumput kecil.

"Duduk," suruh Revan.

Ayra menurut dengan wajah tertekuk, kemudian Revan membaringkan diri dengan kepala diletakkan di pangkuan Ayra.

"Kamu niat enggak sih, belajar bela diri?" tanya Revan memandang Ayra dari bawah.

Ayra menundukkan setengah wajah, mengangguk cepat sebagai jawaban.

"Terus kenapa lari?"

"Aku enggak tahu gimana caranya ngelawan," jawab Ayra dengan lirihan.

"Ya iyalah, si cantik lari, orang, dia takut dikejar singa," celetuk Skala sedari tadi diam-diam memperhatikan tingkah mereka berdua dari sekitar sini.

Revan dan Ayra melempar pandangan ke sumber suara, di mana Skala duduk santai di pinggiran kolam.

"Diam kau, aku tidak menggajimu untuk berkomentar," ucap Revan memberi tatapan sinis.

"Kau benar, atasan menyebalkan," sindir Skala dengan senyum lebar.

Revan berdecak lalu memiringkan diri memeluk pinggang Ayra, menenggelamkan wajah dibalik perut rata istrinya.

"Dasar anak kucing," ejek Skala berjalan menghampiri.

Ayra mengelus rambut pekat suaminya, membalas ramah senyuman lelaki yang kini tiduran tidak jauh dari tempatnya duduk.

"Pemula sepertimu lebih aman belajar bela diri denganku, dibanding belajar dengan anak kucing seperti dia," kata Skala menawarkan latihan aman bersama.

"Aku tidak mengizinkan," sela Revan.

"Kau harus, bagaimana juga cara melatih mu sangat mengerikan. Bunga-bunga terinjak mengenaskan kena imbasnya karena kau melatih istrimu tidak sesuai kaidah dasar yang tepat," cemoh Skala.

"Jadi kau menginginkan aku menggajimu untuk berdekatan dengan istriku? Tidak akan," gumam Revan.

"Aku berdekatan dengan istrimu bukan tanpa alasan, kalau kau lupa!" sanggah Skala.

"Tetap saja kau ingin mencari kesempatan dalam melatih,"

"Hah! Terserah kau saja, aku tidak perduli!" tandas Skala menyentak bangun lalu melenggang pergi.

"Mas, dia pergi," beritahu Ayra.

"Siapa perduli."

"Lalu ... Bisakah kita kembali latihan?" pinta Ayra.

"Bisa."

Angin berhembus sejuk mendukung latihan Ayra siang ini. Dibimbing Revan dari belakang bagaimana cara memukul, menendang, menangkis dan menyerang yang baik, dengan konsentrasi tinggi, Ayra dapat memahami perlahan-lahan apa yang Revan katakan dan ajarkan.

"Saat miring kesamping, perhatikan belah kaki saat akan menyikut bagian rusuk lawan, gunakan arah mata angin supaya bisa mendeteksi gerakan lawan yang ingin menyerang. Saat berpeluang kesempatan, jangan pernah mengulur waktu, serang balik dan tumbangkan musuh kamu," jelas Revan disela menggerakkan kedua tangan Ayra.

"Aku baru tahu melawan itu ternyata rumit dan merepotkan," komentar Ayra.

"Repot juga menguntungkan,"

"Apanya?" beo Ayra.

"Enggak."

"Mas, bagian fatal manakah agar musuh dapat tumbang seketika saat kita serang?" tanya Ayra.

"Bawah,"

"Bawah? Maksudnya?" Ayra kebingungan mendapat jawaban ambigu dari gurunya.

"Bagian paling fatal adalah bagian inti manusia, dan cara efektif melumpuhkan lawan dengan cara menendang bagian itu," sambung Revan.

"Inti manusia? Maksud Mas, alat ke---"

"Sssst! Jangan diucapkan segamblang itu," tegur Revan berbisik dalam.

"Kenapa enggak boleh?"

"Ya, jorok ngapain diucapkan bisa-bisa kamu kebayang,"

Ayra terkekeh geli sejurus kemudian berbalik badan seraya mengalungkan kedua tangan di leher Revan.

"Aku capek mau tidur," keluh Ayra.

Karenamu (End) tahap revisiKde žijí příběhy. Začni objevovat