Angkat ya, Ay

9 5 0
                                    

"Mbak Alesya!" pekik Tasya mengguncang satu lengan Alesya yang jatuh terkapar.

"Revan, tolong Alesya!" teriak Rere sama paniknya seperti Tasya.

Ayra sudah turun sekarang berdiri canggung di hadapan Revan. Malu ditonton penghuni rumah saat Revan mengecupnya barusan. Percayalah ada kebanggaan tersendiri di lubuk hati Ayra karena Revan berani menciumnya tepat ada Alesya.

"Ale pingsan?" tanya Revan sambil menengok.

"Sudah tahu pingsan masih nanya buruan ke sini, Bang!" ujar Tasya greget.

"Mama mohon cepat bawa Alesya masuk ke rumah!" pinta Rere nampak sangat khawatir.

"Ayo sayang, kita lihat seberapa parah perempuan itu mengalami syok, setelah nonton kita bercumbu," ajak Revan, menggenggam tangan Ayra.

"Tapi Mas ..."

"Salah dia sendiri siapa suruh kepoin kita di sini," sela Revan memotong cepat protesan Ayra.

"Cepat Revan bawa Alesya," suruh Rere.

"Sayang, kamu enggak keberatan kalau aku gendong Ale?" tanya Revan meminta izin kepada Ayra yang mematung.

Rere berdecak keras, menolong orang saja Revan perlu drama segala, mana minta persetujuan pembantu itu lagi, sangat menyebalkan.

"Ingat Ayra kalau sampai terjadi apa-apa sama Alesya, kamu harus bertanggung jawab!" ujar Rere mendelik sinis.

"Ma, cukup bersikap berlebihan memperlakukan Ale, lagi pula orang dia hanya pingsan atau mungkin pura-pura pingsan?" sahut Revan jengah akan mamanya.

"Aku enggak apa-apa, kok, Mas. Bawa saja Alesya ke dalam rumah," kata Ayra agak berat hati.

"Heh, panggil Alesya dengan sebutan Mbak, enak saja dipanggil hanya nama, itu tidak sopan!" kritik Rere.

"Cukup Ma! Kalau terus debat, aku enggak bakal bantuin Ale biarkan saja dia siuman di sini," lerai Revan menengahi.

Rere memberenggut kesal kepada Ayra, memilih mengunci mulut takut Revan bersikeras tak mau membawa Alesya.

"Hati-hati Mas," ucap Ayra.

Revan mengangguk singkat lalu jalan lebih dahulu meninggalkan pelataran dengan Alesya digendongan. Munafik kalau Ayra tidak cemburu melihat Alesya berada dalam rengkuhan Revan. Rere yang menyadari perubahan wajah murung Ayra kembali membuka suara.

"Panas lihat calon istri, Revan, menang hari ini?" sindir Rere.

Tak ingin meladeni mertua bermulut mercon, Ayra berbalik arah untuk mengambil keranjang yang sempat di tinggalkan namun sebelah kakinya justru disandung oleh Rere.

Bruk!

"Aws," ringis Ayra beruntung jatuhnya sampai tidak tengkurap.

"Eh, barusan disengaja. Makanya jadi pembantu sadar diri," sinis Rere mengolok-olok.

Tasya menyungging senyum, bangkit dari jongkok, maju mendekati Ayra dan menginjak kuat satu punggung tangan Ayra menggunakan sepatu mahalnya sehingga Ayra berteriak kesakitan.

"Pelajaran buat Lo udah berani ngerayu Abang, gue!" desis Tasya sambil memutar kaki menginjak tangan Ayra dengan sangat gemas.

"Hentikan Non Tasya, ini sakit!" rintih Ayra berusaha melepaskan tangan dari bawah injakan sepatu Tasya.

"Enak bukan? Rasain!" puas Tasya lalu mengangkat kaki membiarkan Ayra bangun terduduk memegangi tangan merahnya dengan deraian air mata.

Ibu dan anak itu tertawa renyah di atas penderitaan Ayra. Kemudian beranjak pergi menyisakan Ayra di situ.

"Sa--sakit," keluh Ayra terisak, meratapi tangannya terasa remuk.

Jemarinya sangat sakit untuk digerakkan bahkan Ayra merasa tangannya mati rasa sebelum sensasi panas dan tangannya berubah bengkak merah.

"Bagaimana kondisi Mbak Alesya, Bang?" tembak Tasya.

"Gegar otak,"

"Ck!"

"Mana Abang tahu. Abang bukan dokter," jelas Revan lalu menegakkan diri mundur selangkah membiarkan Rere duduk di sisi badan Alesya.

"Lekas sadar Alesya. Tante mencemaskan kamu," ucap Rere meraih tangan Alesya, mengelusnya.

"Iya, Mbak Alesya pasti kuat. Cepat siuman Mbak, aku sedih lihatnya," tambah Tasya.

Revan celingak-celinguk mencari keberadaan istrinya yang tidak ikut masuk bersama mama dan adiknya.

"Ayra masih di luar?" tanya Revan pada keluarganya.

Rere dan Tasya saling pandang, memberi isyarat melalui kedipan mata masing-masing untuk jangan menjawab pertanyaan Revan. Dan memilih mengkhawatirkan kadan Alesya saja.

"Ngasih jawaban susah," kesal Revan.

Sesampainya di pelataran, Revan mengedarkan sepasang mata hitamnya mencari sosok Ayra yang tak ada.

"Sayang, kamu di mana?" panggil Revan.

Semilir angin menerpa lembut, Revan menyugar rambut, raut kebingungan naik kepermukaan wajahnya yang kini mencemaskan di mana keberadaan istrinya padahal belum lama Ayra di tinggalkan di sini.

"Mana sudah sore lagi, papa bisa marah kalau aku terlalu lama di sini," monolog Revan, melirik jam tangannya sudah menunjukkan jam 14:15.

"Apa mungkin Ayra sudah masuk ke rumah tanpa disadari? Ah, sudahlah mendingan langsung pergi," monolog Revan sekali lagi menyapu sekitaran, sebelum berputar arah menuju mobil.

"Lihat apa yang kamu lakukan pembantu kampungan! Alesya jadi pingsan gara-gara kamu!" sembur Rere tatkala Ayra muncul dari dapur masuk ke rumah melalui jalan belakang hanya karena takut Revan melihat tangannya yang bengkak.

"Nyonya menyalahkan saya?" mata Ayra menanar.

"Tentu saja kamu salah! Siapa lagi kalau bukan kamu yang semestinya di salahkan!" tekan Rere.

"Terserah Nyonya mau menyalahkan saya seburuk apa pun, saya enggak perduli," acuh Ayra menegarkan diri lalu berbelok menaiki tangga.

"Mulai berani kamu menyahut, pembantu kurang ajar! Awas kamu!" teriak Rere menggelegar.

"Lama-lama aku gedek lihat muka murungnya Ma! Demi apa, aku enggak sudi punya kakak ipar sejelek dan selemah kayak pembantu itu! Ih, nanti dikata apa aku sama teman-teman punya ipar orang seperti dia, pokoknya Abang harus segera menikahi Mbak Alesya dan secepatnya harus pisah dari pembantu itu!" dumel Tasya mengungkapkan kebenciannya.

"Mama juga sudah tidak tahan satu rumah dengan pembantu jelek itu, kamu benar Tasya, Revan harus segera menikahi Alesya agar pembantu itu sadar diri kalau dirinya bukan siapa-siapa di rumah ini!" setuju Rere.

Isakan keras memenuhi ruangan kamar. Selama mengompres tangannya yang bengkak menggunakan air hangat, Ayra terus merintih kesakitan.

Dering ponsel miliknya di atas kasur menginterupsi, Ayra menyeka sudut mata basahnya, beringsut menggapai benda persegi silver yang Revan belikan belum lama ini. Nama Revan tertera di layar.

"Iya, hallo, Mas?" sapa Ayra menahan isakan di mulut agar tidak ke luar terdengar sampai sana.

"Ay, barusan aku nyari kamu sebelum berangkat lagi, kamu ke mana?"

"O-ooh i-itu Mas, a-aku lagi di dapur," jawab Ayra terputus-putus.

"Kapan masuk rumah? Aku enggak lihat kamu, tuh,"

"Aku masuk lewat pintu belakang sekalian naruh keranjang di sana," jujur Ayra.

"Kirain ke mana,"

"Maaf ya, Mas, aku bikin cemas," Ayra sesekali menghapus air matanya.

"Enggak perlu minta maaf. Aku yang minta maaf sudah ninggalin kamu di pelataran, tapi kamu enggak apa-apa, kan, Ay?"

"Aku baik-baik saja Mas," Ayra tersenyum.

"Buat memastikan apa kamu benar-benar baik atau enggak, aku mau kamu angkat video call dariku, angkat ya, Ay?"

Degh!

Ayra langsung lemas mendengar permintaan Revan yang meragukan ucapannya.

Karenamu (End) tahap revisiWhere stories live. Discover now